Langit sore dengan kemilau jingga. Dalam sebuah gang kecil dengan cahaya kuning dari lampu yang redup. Wanita itu berjalan untuk menuju kontrakannya. Sebuah rumah kecil yang ia sewa untuknya tinggal di ujung gang ini.
Miauw miauw
“Hai, Dydy,” sapanya pada kucing yang berada di tepi jalan.
Dia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. “Aku sengaja menyisakan dagingnya untukmu, Dydy.”
Kucing yang dipanggil Dydy itu sama sekali tidak menyentuh makanan yang diberikan olehnya.
“Anyelir, kau selalu memberi makan untuk Dydy,” ujar seorang wanita tua yang tinggal di samping rumahnya. Wanita ini merupakan sang pemilik kucing.
“Ah, tidak apa. Aku menyukainya. Ya, aku menyukai Dydy.” Anyelir menahan rona pipinya seakan ada maksud lain dari ucapan itu.
“Dia tidak akan langsung memakan daging pemberianmu sebelum kau pergi. Kucing ini memang benar-benar menunjukkan peribahasa malu-malu kucing.” Wanita tua itu terkekeh lalu pergi.
“Dydy, jika kau sudah makan, ayo masuk ke rumah!” titahnya sambil melangkah.
Sementara itu Anyelir melihat kucing gembul berkelamin jantan yang masih belum menyentuh makanannya. “Baiklah, baik! Kalau begitu aku akan pergi dulu, selamat menikmati makanannya.”
Benar sekali, ketika Anyelir telah pergi, si kucing bernama Dydy itu menghabiskan daging miliknya.
Sepatu pun disimpan dalam rak. Lalu Anyelir segera mencari kunci dari tasnya. Dengan tergesa, dirinya mengeluarkan kunci tersebut dan membuka pintu.
Suara derit pintu diikuti suara langkah kaki pun terdengar.
Ctak!
Dia menekan saklar untuk menyalakan lampu. Cahaya jingga yang masuk melalui jendela, tak bisa membuat penglihatannya sempurna dalam ruangan.
Anyelir berjalan kembali menutup pintu, ia mendengar suara mobil dari belokan menuju ke arah gangnya. Namun dia tak seperti tetangga lain yang selalu penasaran bila mendengar suara mobil.
Wanita itu tak tertarik dan memutuskan untuk mengganti baju.
Sebelum itu, mahasiswi kedokteran tersebut mengambil baju ganti dari lemari. Ia membuka daun pintu lemari miliknya, namun bersamaan dengan suara pintu lemari yang dibuka, dia juga mendengar derit pintu rumahnya terbuka.
“Haa ...!” Menjeritlah wanita itu begitu ia sadar ada seseorang masuk ke dalam kontrakannya tanpa izin.
Seorang pria dengan tinggi melebihi pintu rumahnya masuk begitu saja. Dia membungkukkan badan karena langit-langit itu hampir menyentuh kepalanya.
“Dylan ...?”
Mata Anyelir terpaku dan tubuhnya membeku. Wanita itu terkejut melihat kedatangan pria yang tak diduga akan menginjakkan kaki di rumahnya.
“Apa yang kaulakukan pada ibu dan anakku?” Dengan suara yang dingin dan tatapan mata tajam, dia memberi pertanyaan pada Anyelir.
Itu hanya sebuah pertanyaan, namun seakan ada sebuah paku yang menancap begitu dalam mengiringi pertanyaan tersebut.
“Kau pasti mempengaruhi dokter agar mengatakan hal tersebut, kan?” tuduh pria itu secara langsung.
Anyelir menggelengkan kepalanya. “Aku tidak melakukan apa-apa,” jawabnya yang tentu saja tak memuaskan Dylan.
“Aku tadi melihatmu di rumah sakit, kau pasti bekerja sama dengan dokter itu.”
Lagi-lagi, Anyelir menggeleng. “Aku sama sekali tidak menemui mereka. Aku juga tidak mengerti maksudmu,” elaknya.
“Jangan berbohong! Kau pasti mendengar ucapan dokter tadi, kan?” tuduh Dylan. Pria tersebut pun mendorong Anyelir hingga tersudut ke dinding. Kemudian, dirinya meletakkan sebelah tangan tepat di sisi telinga kanan wanita tersebut.
“Kau merencanakan hal ini, bukan?” tuduhnya lagi dengan suara berbisik tepat di samping telinga Anyelir. Suara Dylan yang sudah lama tak ia dengar itu kembali menggetarkan kalbu.
Ketika dulu, pria ini sempat mengisi hatinya. Namun semuanya hanya angan semata. Ia sudah tahu jika Dylan telah menikah, tapi ia tetap mau mengandung anaknya dan menerima benih pria tersebut melalui bayi tabung.
Anyelir spontan menggeleng. Apa pun tentang tuduhan Dylan padanya, wanita ini sama sekali tidak seperti yang pria itu bayangkan.
Tapi sakit hati Anyelir tak sampai hanya pada tuduhan tersebut.
“Baiklah!” Dylan pun berdiri menjauh dari Anyelir. “Selama ibu dan seluruh keluargaku tak tahu tentang Rio dan kelahirannya, aku kini memaafkanmu!”
Anyelir masih menunduk. Matanya berkaca-kaca menahan air mata.
Apa yang diucapkan Dylan?
Memaafkan Anyelir?
Memang apa yang dilakukan oleh wanita itu?
Dylan hanya seorang makhluk egois yang selalu menganggap orang lain salah di matanya. Dan sayangnya, Anyelir terlanjur jatuh cinta padanya, meski ia tahu luasnya samudra dan tinggi gunung, membentang dan menghadang perasaan wanita itu pada Dylan.
“Jika itu memang satu-satunya yang bisa menyembuhkan Rio, maka aku setuju melakukannya. Kita buatkan adik untuk Rio! Kau, kan, mahasiswi kedokteran. Kau pasti lebih paham akan hal itu,” ujar Dylan padanya.
Anyelir masih diam tak menjawab. Hanya karena dirinya adalah mahasiswi kedokteran, dia dituduh menyusun rencana ini untuk penyembuhan Rio.
“Berapa uang yang kau butuh?” tanya Dylan padanya.
Kemudian dia mengeluarkan selembar cek dan melemparnya pada Anyelir.
“Kau isi sesuka hatimu saja. Kali ini, mau kau isi dua kali lipat atau bahkan lima kali lipat dari yang kau minta kemarin pun tak apa. Akan kuberikan untuk ibu yang telah mengandung anak-anakku,” pungkasnya dengan senyum tampan dan lesung di pipi kanannya. Namun itu bukan senyum yang meluluhkan hati, melainkan senyum licik dari seorang pria yang tak pernah memikirkan perasaannya.
“Ah iya, kita mulai programnya dengan konsultasi terlebih dahulu pada dokter kita sebelumnya. Aku pikir kita tidak perlu menikah siri seperti dulu. Kau mau, kan, jika kita langsung saja membuat program bayi tabung anak kedua?” ujar Dylan tanpa seakan beban dan dosa.
Anyelir masih diam dan tak mengambil cek itu sama sekali. Ia biarkan lembaran itu tergeletak di atas lantai menyentuh ibu jari kakinya.
“Kenapa? Kau tidak tertarik?” Dylan mengerutkan kedua alisnya. Ia pun berjongkok dan mengambil cek itu. “Mau aku yang mengisi?”
“Aku tidak sudi!” jawab Anyelir dengan lantang tanpa menatap pria tersebut.
Dylan langsung menatap pada Anyelir yang sedang menunduk. Pria itu pun langsung berdiri dan melepas jasnya. “Apa ini yang kau inginkan?” tanyanya sambil tersenyum miring.
Ia berjalan ke arah pintu untuk menutup dan menguncinya. Kemudian ia longgarkan dasi dan melepasnya.
“Anyelir, apa tujuanmu mengajukan ide tersebut selain uang? Aku sungguh bodoh tak bisa mengiranya.” Pria itu pun menyentuh kedua pundak Anyelir dan menekannya semakin ke dinding.
“Apa yang kau lakukan?” tolak Anyelir sambil meronta.
Dylan tak mendengar apa yang dikatakan Anyelir. Ia terus mencoba menyerang pipi wanita itu dengan ciuman. Namun Anyelir menghadang hal itu dengan kedua tangannya. “Hentikan!” jeritnya.
“Kalau bukan ini lalu apa lagi yang kau inginkan?” Tangan Dylan berusaha menurunkan bahu Anyelir untuk menyentuh lehernya.
Namun yang terjadi, malah sebuah tamparan keras mendarat ke pipinya.
Plak!
Rasa panas menjalar dari pipinya. Matanya menatap nanar pada gadis yang baru saja menampar dirinya.
“Pergi!” usir Anyelir pada Dylan. Meski ia tak percaya dengan kedua tangan yang baru saja menampar pipi pria tersebut, namun kali ini ia masih berani mengusirnya.
Dia memang pria yang ia suka. Namun terlalu banyak duri yang telah ditancapkan dalam hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Samiyah
Baru baca langsung sukaaaaa
2023-09-03
1
Linda.w
hxjxjxj
2022-11-01
0
Dewi Susanti
kok bisa-bisanya sih Dylan langsung nuduh begitu baru 2 bab kok sudah bikin emosi
2022-10-19
2