Menikahi Mantan Istri
Transfusi darah itu hampir usai. Cairan berwarna merah itu mengalir pada tubuh pria kecil yang pipinya mulai berwarna merah. Dia tampak lebih hidup dibanding sebelum menerima transfusi darah.
Tangannya tidak bergetar, ia diam saja kala sang perawat memasangkan jarum untuk melakukan transfusi tadi. Dia tidak takut lagi, baginya tusukan jarum sudah menjadi hal biasa bagi seorang pria sepertinya.
Sementara itu, wanita tua di sampingnya berdiri dengan wajah keriputnya yang semakin terlihat cemas dari waktu ke waktu.
“Nenek, apa ini masih lama?”
Sang nenek hanya tersenyum. “Bersabarlah.” Setelah itu dia keluar dari ruangan tempat transfusi darah dan menemui dua orang yang sedang menungguinya.
“Bagaimana dengan Dylan? Apakah dia bersedia untuk pulang?” tanya wanita tua tersebut pada kedua orang di sana.
“Kami belum berhasil menghubungi Pak Dylan, Bu,” ucap salah satu dari mereka.
“Kalau begitu istrinya, bagaimana?”
Keduanya pun menggeleng menunjukkan jawaban ‘tidak’ atas pertanyaan tersebut.
“Keterlaluan!” umpat sang nenek sambil melirik kondisi cucunya yang berada di dalam.
*
Sementara itu, masih di rumah sakit yang sama. Dari kejauhan, seorang mahasiswi menatap mereka bertiga. Tumpukan buku dalam pelukannya, disertai dengan sebuah tas bahu yang tersangkut di pundak.
Gadis itu cukup cantik, dengan bibir merah yang ranum tanpa perona. Pipi pucat tanpa perias dan bulu mata yang lentik tanpa alis. Wajahnya sangat sempurna bila dilihat.
Dia memberanikan diri untuk berjalan mendekat.
Tentu saja ketiga orang itu mengabaikan karena mereka tak saling mengenal.
Mencoba mencuri pandang, berharap bisa melihat kondisi seorang anak kecil yang berbaring di sana.
Pluk!
Sengaja ia jatuhkan buku. Dengan membungkuk, ia bisa melihat raut wajah nenek tua yang sedang menunduk itu.
Setelah ia mengambil buku tersebut, barulah ia menyadari. Jika sang nenek tak baik-baik saja. Segera ia membenarkan kacamata lalu berlalu dari tempat itu.
Gadis tersebut kemudian bersandar di dinding yang terdekat dari belokan lorong rumah sakit. Dia menepuk dadanya yang terasa sakit karena menahan rasa sedih.
“Jika nenek bersedih, itu artinya Rio tidak baik-baik saja,” gumamnya dengan khawatir.
Kemudian perlahan ia menunduk dan akhirnya berjongkok. Seandainya tak merasa malu, ia sudah menangis tersedu-sedu atau mungkin berlari dan masuk ke dalam kamar tersebut.
Namun apa mau dikata. Perjanjian adalah perjanjian. Dia sudah menandatangani kontrak tersebut saat tiga tahun yang lalu usai ia melahirkan Rio. Uang yang dijanjikan oleh ayah sang anak pun telah ia terima dan ia gunakan. Kini ia bisa berkuliah sambil memiliki pekerjaan yang mapan berkat uang dan juga koneksi yang diberikan oleh pria itu.
Akan tetapi, melepas anak yang telah dikandung dan dilahirkan tidak semudah itu. Ia harus mengendap-endap untuk melihat bagaimana kondisi Rio. Meski terkadang ia harus menyamar menjadi penjual susu kotak atau rela berganti shift dengan pengasuh day care tanpa digaji. Semuanya ia luangkan untuk bertemu dengan Rio, sang buah hati.
“Hubungi Dylan sekali lagi!” terdengar suara sang nenek yang sedang kesal.
Mendengar nama itu, ada yang berdesir dalam hatinya. Namun ia mencoba melupakan semua perasaan yang memang seharusnya tak ada. Pria itu sudah berbahagia bersama wanita yang menjadi istrinya. Sementara itu, dirinya hanyalah seorang wanita yang dipinjam rahimnya untuk dibuahi dan melahirkan anak untuk pasangan itu.
Bahkan ibu mertuanya sendiri yang kini sedang gelisah menunggui sang cucu, tak pernah tahu jika dirinya pernah menjadi menantu.
“Masih tak ada jawaban, Bu,” jawab seorang wanita dengan pakaian putih di sana.
“Apa dia sama sekali tak peduli pada anaknya?” gerutu sang nenek. “Aku benar-benar merasa sakit hati. Entah kenapa rasanya seakan aku dikhianati oleh anak sendiri,” lanjut wanita tua itu.
Pelayan perempuan yang ada di samping sang nenek pun mencoba membantu menenangkan kondisi hati wanita tua itu.
Seorang dokter pun keluar dari ruangan tempat Rio menerima transfusi darah. Dokter tersebut diikuti oleh seorang perawat dan mereka mencoba untuk berbicara dengan wali pasien.
Tentu saja, mahasiswi yang merupakan ibu dari sang anak ini ikut menguping apa yang dikatakan oleh dokter.
“Bu, sebenarnya ada cara untuk menyembuhkan Rio. Cara yang aman dan tidak berisiko, tapi mungkin membutuhkan waktu untuk melakukannya.” Dokter seakan memberikan kabar bahagia pada keluarga tersebut.
“Benarkah?” Wanita tua tersebut langsung menunjukkan antusiasnya. “Katakan, Dok! Saya akan mengikuti prosedurnya. Berapa pun biayanya, akan saya sanggupi. Tolong sembuhkan satu-satunya cucu saya! Saya mohon!” ucap sang nenek sambil memegang tangan sang dokter.
Dokter itu menepuk tangan nenek dengan hangat. “Bukan masalah biaya, Bu. Akan tetapi yang dibutuhkan untuk pengobatan Rio adalah darah dari tali pusat adiknya. Kita akan melakukan terapi sel punca untuk Rio.”
Wanita tua dengan kedua pelayannya itu sedikit melongo dengan ucapan sang dokter.
Kemudian dokter itu menyederhanakan ucapannya lagi agar ketiga orang ini mengerti. “Dengan kata lain, Rio harus memiliki seorang adik dari ayah dan ibu kandungnya, lalu kita menggunakan darah dari tali pusat sang adik untuk dijadikan obat bagi Rio.”
Sang nenek langsung mengangguk. Seakan mengeluarkan sinar dari matanya. Wanita itu benar-benar bahagia dengan kabar yang didengar.
“Cepat hubungi Dylan dan istrinya, mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus memberi adik untuk Rio.” Sang nenek menggebu-gebu.
Sementara itu, gadis yang menguping hal tersebut tiba-tiba langsung gemetar sendiri. Seakan ia sedang bersembunyi dan seseorang akan menemukannya.
“Bagaimana ini?” Gadis itu tanpa sadar berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit. Seorang ibu mana yang tak ingin anaknya sembuh? Namun bagaimana mungkin ia memberikan obat yang dibutuhkan oleh Rio? Sementara dirinya sendiri sama sekali tak akur dengan ayah dari anak itu.
Tak lama kemudian, seorang pria datang dengan langkah yang sangat mencuri perhatian. Tubuhnya yang tegap, dadanya yang bidang, wajahnya yang tampan dan aura kesempurnaan yang ia pancarkan.
Wanita itu menoleh dan tatapan mereka bertabrakan.
Pria tersebut menatapnya dengan tajam sambil berlalu dan berpura-pura tak mengenal.
Sementara itu, sang wanita langsung menunduk dan membuang muka berharap pria itu tak kenal dirinya.
“Dylan! Akhirnya kau datang!” Wanita tua di depan ruangan tersebut langsung memanggil putranya yang baru saja datang.
“Kebetulan kau datang di saat yang tepat. Kenapa ponselmu tak bisa kami hubungi? Mana istrimu? Di mana wanita itu?” tanya sang nenek yang menyebut menantunya dengan sebutan ‘wanita itu’. Sebuah panggilan yang menunjukkan hubungan tidak harmonis di antara mereka.
“Ada apa dengan Rio?” tanya Dylan tanpa menjawab satu pun ucapan sang nenek. Wajahnya menatap pada sang ibu dengan begitu dingin. Dia hanya melirik pada anak kecil yang sedang terbaring dalam ruangan.
“Rio bisa disembuhkan!” ujar sang nenek mengatakan hal tersebut dengan antusias.
“Benarkah itu, Dok?” Pria itu kembali bertanya dengan nada yang datar.
“Benar, Pak Dylan! Rio bisa disembuhkan dengan obat yang diperoleh dari darah tali pusat adiknya. Dengan kata lain, Pak Dylan dan istri harus memiliki seorang bayi lagi demi menyembuhkan Rio,” papa sang dokter yang membuat air muka Dylan berubah.
“Bagaimana, Dylan? Kau dan istrimu masih bisa memberikan adik untuk Rio, kan?” tanya sang nenek penuh harap. Dia sangat menyayangi cucunya yang akan menjadi pewaris keluarga.
Otomatis jika dengan cara ini, maka baginya ibarat sekali dayung dua pulau terlampaui. Ia mendapat cucu baru dari anaknya sekaligus kesembuhan untuk cucu pertamanya.
“Pak Dylan, Anda tidak keberatan, kan?” tanya dokter menunggu jawaban dari pria tampan tersebut.
Bukannya menjawab dengan ya atau tidak, pria tersebut malah menyebutkan satu nama. “Anyelir!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
pas ni ceritanya...
2023-02-13
0
NO NAME
.
2022-12-22
0
Gina
susah aku baca namanya
menurut kelean gimna bcanya
2022-11-04
1