Part 7

“Kau mengikutiku?” tuduh Deavenny. Ia menatap ke arah luar, memastikan kalau bodyguardnya masih ada di dekat sana.

“Ini mall, tempat umum, siapa saja boleh ke sini,” kilah Lewis, menarik cup berisi es krim gelato yang dibeli oleh Deavenny. “Tapi memang benar, aku mengikutimu.” Menyentakkan kedua alis ke atas, ia melahap makanan yang bukan miliknya.

Deavenny membulatkan mata hingga bibir ikut melongo dengan jawaban jujur pria di hadapannya. “Untuk apa?”

“Aku hanya tak tahu ingin melakukan apa, maka menjadi penguntitmu saja,” jelas Lewis diiringi wajahnya yang menyebalkan. “Kebetulan kau sedang sendiri, lebih baik ku temani saja karena aku pun tak ada teman.”

Deavenny menatap tak suka pada Lewis, datang tak diundang, menghabiskan es krim gelatonya pula. “Aku tak mau berteman denganmu,” tolaknya secara tegas.

Lewis tidak memberikan tanggapan, tapi mendadak langsung berdiri meninggalkan tempat duduk itu. Deavenny menaikkan sebelah alis menatap pria itu yang pergi begitu saja. “Mudah sekali mengusir dia.”

Syukurlah, Deavenny tak perlu pusing untuk meminta Lewis pergi. Akhirnya dia sendiri lagi, mengeluarkan ponsel untuk berselancar di aplikasi instagram ataupun tiktok.

“Aku tak meminta persetujuan kau mau berteman denganku atau tidak, tapi aku mengajukan diri sebagai teman yang harus kau terima.”

Suara Lewis kembali terdengar di telinga Deavenny. Ternyata pria itu tak menanggapi karena membelikan es krim gelato sebagai ganti yang sudah dimakan.

Deavenny menatap aneh ketika Lewis meletakkan dua cup di atas meja, satu berada di depannya.

“Untukmu,” ucap Lewis memberi tahu.

“Aku tak mau memakan pemberianmu,” tolak Deavenny.

“Kau takut ku beri racun, obat tidur, atau semacamnya?” tebak Lewis.

“Jelas, aku tak bisa mempercayaimu lagi.”

Lewis menghela napas pelan. “Akan ku buktikan kalau gelato itu aman.” Ia mengambil sendoknya sendiri, mencicipi es krim milik Deavenny. “Lihatlah, tidak terjadi apa pun denganku.”

“Siapa tahu efeknya baru bekerja beberapa menit atau jam kemudian.”

“Aku sadar jika masa lalu kita tak baik, kau pernah ku culik. Tapi, setiap orang bisa berubah kapan saja, ‘kan?”

“Aku tak yakin kalau kau sudah berubah.” Deavenny kembali memainkan ponsel, mengabaikan Lewis. Ia merasa aman karena ada dua bodyguard yang terus mengawasi, jadi tak takut kalau pria di depannya akan macam-macam.

Lewis mengepalkan tangan mendengar balasan Deavenny yang terkesan sombong. “Aku tahu kenapa kau keluar dan menangis pada malam itu.”

“Tidak percaya.” Deavenny tetap tak peduli, bahkan enggan menatap Lewis.

“Kau ingin memiliki anak, sedangkan suamimu tidak, ‘kan?”

Ucapan yang terlontar dari bibir Lewis berhasil membuat Deavenny berhenti memainkan ponsel. Beralih menatap pria itu dengan sorot terkejut. “Kau tahu dari siapa?”

Ulasan senyum tercetak di bibir Lewis, menunjukkan kalau ia juga bisa menyombongkan kemampuan dirinya. “Informan rahasia.”

“Katakan padaku, siapa yang memberi tahu? Bukankah katamu kita berteman? Seharusnya tak ada rahasia diantara teman.” Deavenny mencoba membujuk. Pasalnya, tak banyak orang yang tahu tentang hal itu, hanya kerabat dan orang-orang yang bekerja dengan keluarga Dominique maupun Giorgio.

“Bukankah kau tak ingin berteman denganku?” Lewis tersenyum mengejek.

“Aku bisa mencari tahu sendiri.” Juluran lidah Deavenny berikan sebagai balasan ejekan.

Tidak pernah berubah, tingkah Deavenny masih sama, lucu dan menggemaskan. “Aku bisa membantumu mencari cara untuk memiliki anak.”

...*****...

...Woiiii bini orang lu godain! Gapapa sih, lanjutkan masehhh...

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***