Sebelum rombongan kakek Ilyas meninggalkan pesantren, daddy Rehan memberikan sebuah amplop kepada kyai Abdullah. "Kang yai, saya nitip ini untuk pembangunan pesantren di sini," ucap daddy Rehan dengan tulus.
Kyai Abdullah menerima nya namun kemudian meletakkan amplop tersebut di atas meja, "tunggu sebentar mas Rehan, biar pengurus pesantren yang menerima ini. Karena semua urusan pembangunan pesantren, sudah ada yang meng-handle. Lagi pula, saya takut khilaf dan menggunakan uang yang bukan hak saya," terang kyai Abdullah.
"Gus, tolong panggilkan kang Bukhori." Titah kyai Abdullah pada putra nya.
"Nggih abah," balas gus Umar patuh, dan kemudian segera beranjak setelah menepuk pundak sang istri. Gus Umar berjalan dengan cepat menuju kantor pengurus, untuk memanggil kang Bukhori.
Tak berapa lama, gus Umar telah kembali bersama santri senior yang sekaligus menjadi bendahara dalam kepengurusan pesantren Nurul Ulum tersebut.
"Wonten dawuh yai?" Tanya kang Bukhori dengan membungkuk sopan.
"Kemari lah kang, duduk disini," titah kyai Abdullah seraya menepuk bangku kosong di sebelah nya.
Kang Bukhori menurut patuh, dan kemudian duduk di sebelah kyai Abdullah.
"Ini kang," kyai Abdullah mengambil amplop yang tergeletak di atas meja dan memberikan kepada kang Bukhori, "ini shodaqoh jariah dari mas Rehan untuk pembangunan pesantren kita," tutur kyai Abdullah seraya menunjuk daddy Rehan dengan dagu nya.
Kang Bukhori kemudian menatap daddy Rehan dan mengangguk hormat, "terimakasih pak Rehan, kami terima ini sebagai shodaqoh jariah dari pak Rehan. Semoga berkah bagi kita semua dan Allah mengganti nya dengan berkali-kali lipat," ucap kang Bukhori mendo'akan kebaikan daddy Rehan.
Yang kemudian diaminkan oleh semua nya, termasuk daddy Rehan yang terharu.
"Maaf yai, seperti biasa nggih. Mohon ijin untuk membuka nya disini selagi masih ada banyak saksi, agar saya bisa tetap menjaga amanah yang telah diberikan tanpa ada nya fitnah dikemudian hari," lanjut kang Bukhori seraya menatap kyai Abdullah.
Ya, seperti sudah menjadi kesepakatan bersama di pesantren Nurul Ulum tersebut... bahwa setiap ada sumbangan yang masuk atau pun dari kotak amal di Masjid yang dibuka setiap sebulan sekali, selalu di buka di depan banyak orang agar ada saksi dan untuk menghindari ada nya fitnah.
"Mas Rehan tidak keberatan kan, dibuka sekarang?" Tanya kyai Abdullah, meminta persetujuan pemberi shodaqoh.
Daddy Rehan menggeleng, "silahkan kang," balas daddy Rehan singkat.
Kang Bukhori kemudian membuka amplop tersebut, dan santri senior itu sampai melebarkan netra nya untuk mengamati angka yang tertera pada lembaran cek sebuah bank ternama. Di Sana tertera sembilan digit angka, yang tercetak dengan sangat jelas.
"Maaf yai, apa ini tidak keliru?" Tanya kang Bukhori dengan menunjukkan cek tersebut kepada kyai Abdullah.
Kyai Abdullah tersenyum dan kemudian mengangguk, "ini benar kang, uang segini bagi mas Rehan itu ibarat nya recehan." Balas kyai Abdullah.
"Terimakasih mas Rehan,,, semoga bermanfaat untuk para santri di sini, dan berkah berlimpah untuk mas Rehan dan keluarga." Do'a kyai Abdullah dengan tulus, yang kembali diaminkan oleh semua nya.
"Simpan dulu dengan baik kang, dan besok bisa sampean cairkan dengan mengajak kang Musthofa," titah kyai Abdullah, yang diiyakan oleh kang Bukhori dengan mengangguk patuh.
"Oh ya kang, nanti tolong sampean siapkan kamar untuk nak Zaki," lanjut kyai Abdullah memberi perintah.
"Nggih yai," balas kang Bukhori mengangguk sopan.
"Gus, tolong jangan diistimewakan. Tempatkan saja nak Zaki bersama santri lain," pinta kakek Ilyas.
"Tidak mengapa kan nak Zaki? Sekamar dengan banyak orang?" Tanya kakek Ilyas memastikan kesungguhan Zaki untuk tinggal di pesantren.
Zaki mengangguk pasti, "iya kek, Zaki malah lebih senang jika banyak teman," balas Zaki sungguh-sungguh.
Kyai Abdullah mengangguk, "baik kang Bukhori, tempat kan Zaki bersama santri senior. Agar nak Zaki bisa banyak belajar dari mereka," titah kyai Abdullah.
"Nanti biar saya yang mengantarkan dik Zaki ke kamar nya kang, kang Bukhori kalau mau kembali ke kantor silahkan," ucap gus Umar.
"Nggih gus," balas kang Bukhori.
"Yai, mohon undur diri," pamit kang Bukhori dengan mengangguk hormat, dan kemudian segera berlalu meninggalkan ruangan tersebut.
Kakek Ilyas pun segera beranjak yang diikuti oleh yang lain, "kami mohon pamit kang Zar, gus Ab," tutur kakek Ilyas dengan berat hati.
Dan mereka semua kemudian saling menyalami dan saling berpelukan.
"Son, jaga diri mu." Ucap daddy Rehan singkat, daddy tampan itu tak dapat berkata banyak karena dada nya telah sesak.
"Makasih dad," balas Zaki juga dengan singkat, karena pemuda itupun merasakan apa yang daddy Rehan rasakan. Hanya pelukan erat kedua nya yang mewakili perasaan mereka masing-masing, perasaan berat karena perpisahan.
"Dad, udah," bisik mommy Billa yang menyudahi pelukan antara om dan keponakan itu.
Daddy Rehan dan mommy Billa segera menuju ke mobil, menyusul kakek Ilyas dan nenek Lin yang sudah masuk terlebih dahulu. Dan lambaian tangan Zaki, mengiringi kepergian keluarga nya tersebut.
Setelah mobil yang membawa kakek Ilyas, nenek Lin, daddy Rehan dan mommy Billa tak lagi terlihat, Zaki kemudian diantarkan oleh gus Umar menuju kamar nya yang bergabung dengan santri lain sesuai pesan kakek Ilyas tadi agar tidak mengistimewakan Zaki.
Hanya belajar nya Zaki saja yang dibedakan sesuai kesepakatan yang telah dibicarakan bersama tadi, khusus nya untuk pelajaran ilmu nahwu dan shorof serta bahasa Arab. Zaki akan diajari secara privat oleh gus Umar, dan selebihnya untuk pelajaran atau kajian ilmu agama yang lain nya,, Zaki tetap mengikuti jadwal pengajian para santri dan belajar bersama-sama dengan mereka.
"Ini kamar kamu dik," gus Umar mengajak Zaki untuk masuk kedalam sebuah kamar yang cukup luas, yang berada tepat di samping kantor santri. Dan di dalam kamar, kang Bukhori beserta seorang santri lain menyambut kedatangan Zaki.
"Kang Mus, perkenalkan.. dia dik Zaki, dari Singapura. Tolong di bimbing ya?" Pinta gus Umar pada santri senior yang bernama Musthofa, yang sekaligus lurah pondok.
"Siap gus," balas kang Musthofa, dan kemudian menyalami Zaki.
"Saya Musthofa," Musthofa memperkenalkan diri nya.
"Saya Zaki kang, mohon bimbingan dari kang Mus," pinta Zaki, yang mengulang permintaan gus Umar tadi.
"InsyaAllah mas Zaki, kita sama-sama belajar," balas kang Musthofa merendah.
"Panggil Zaki saja ya kang, biar lebih akrab," pinta Zaki, yang disetujui oleh kang Musthofa dengan mengangguk.
Kang Bukhori pun mengulur kan tangan nya menyalami Zaki, "maaf, tadi belum sempat salaman," ucap nya seraya tersenyum, "saya Bukhori, tadi sudah tahu ya," lanjut nya dengan menepuk punggung tangan Zaki dengan hangat.
"Kita sama-sama belajar di sini Zak, yang senior belum tentu lebih pandai. Tapi yang benar, senior pasti sudah lebih dulu nyantri nya daripada yang junior," lanjut kang Bukhori seraya terkekeh yang disambut tawa oleh kang Musthofa dan gus Umar.
Sedangkan Zaki hanya tersenyum.
"Sampean kuwi lho Ri, kok yo aneh-aneh wae ukoro ne. Lak yo mesthi tho, yen senior iku mesti luwih suwe neng kene ne tinimbang sing junior. Ngono wae kok ndadak di omongke," balas kang Musthofa masih dengan terkekeh.
Zaki mengernyit kan kening nya dengan dalam dan gus Umar yang melihat hal itu langsung teringat bahwa Zaki tidak tahu bahasa Jawa.
"Hush kang, jangan ngomong Jawa. Dik Zaki ndak ngerti bahasa Jawa," tutur gus Umar.
"Oh iyo, supe kulo gus. Zaki kan dari Singapura ya?" Ucap kang Musthofa seraya menepuk jidat nya sendiri.
Zaki mengangguk, "sebenarnya, nenek Zaki dari pihak ibu dari Jawa sih kang, tepat nya dari Yogyakarta. Tapi karena kami tinggal di Singapura, dan ayah, bunda, bahkan opa enggak ngerti bahasa Jawa,,, ya akhirnya, oma enggak pernah ngomong Jawa," balas Zaki.
"Kalau boleh tahu, apa ayah dik Zaki asli orang sana? Sehingga kalian tinggal di negeri Singa itu?" Tanya gus Umar.
Zaki menggeleng, "ayah asli Brunei kak, sedangkan bunda, campuran Jawa dan Brunei serta Prancis," balas Zaki.
"Kalau oma kamu dari Yogyakarta, kemungkinan berdarah biru. Apa benar dugaan ku Zak?" Tanya kang Musthofa, seraya menatap Zaki dengan intens. Santri senior itu bisa melihat, bahwa Zaki bukan berasal dari keluarga biasa. Hanya dengan melihat sekilas fisik Zaki yang hampir sempurna dibanding kebanyakan pemuda yang sering dijumpai nya, maka kang Musthofa dapat mengambil kesimpulan demikian.
Zaki mengangguk, "iya kang," balas Zaki dengan mengangguk.
"Lha darah mu berarti abu-abu yo Zak? Lha campur-campur gitu lho ya? Ada Indonesia Jawa campur Brunei Prancis, dipadukan dengan Brunei asli? Lha sirah ku malah dadi mumet, lek ngurutke silsilah mu Zak, Zak," ucap kang Bukhori nyleneh, yang membuat semua nya tertawa. Kecuali Zaki yang kembali mengernyit kan kening nya.
"Seperti nya, beban ku akan semakin bertambah. Yaitu harus belajar bahasa Jawa," gumam Zaki dalam hati. "Tapi tak mengapa, dik Delia pasti akan senang kalau aku juga bisa bahasa Jawa," Zaki tersenyum simpul.
"Kang, kalau bahasa Jawa nya 'aku suka kamu' apa ya kang?" Tanya Zaki, yang langsung membuat semua nya terdiam.
"Aku tresno seliramu."
"Aku seneng karo kowe."
Balas kang Bukhori dan kang Musthofa bersamaan, tapi dengan bahasa yang berbeda, hingga membuat Zaki garuk-garuk kepala.
🌸🌸🌸🌸🌸 bersambung 🌸🌸🌸🌸🌸
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Ita rahmawati
hadeuh zaki² jgn kn kmu lah ak yg org jawa aj byk yg gk tau sm kt² ny 😁 maklum biasany ngomong jawany yg kasar bkn yg halus gitu 😅
2023-06-06
1
Eka Widya
rene dek zaky tak privat boso jowo kanggo sampean gratis tis😃
2023-02-13
1
Rapa Rasha
pr mu Zaki uakeh tenan tpi Ojo ngelu yo
2023-02-02
1