Cinta Mr. Alter Ego

Cinta Mr. Alter Ego

Safitri

Derasnya bunyi aliran sungai Cijulang yang membelah beberapa dusun kecil di bawah lereng gunung Honje daerah Pandeglang menjadi alunan musik tersendiri yang begitu melekat di telinga seorang gadis desa bernama Safitri.

Safitri adalah seorang gadis yang baru menginjak usia 19 tahun saat ini dan dia masih duduk di bangku kelas 12 MAN yang ada di kota kecamatan dengan jarak sekitar hampir 10 km dari rumahnya. Dusun Safitri yang terletak di area terpencil dan sulit dijangkau menjadi kendala untuk Safitri menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah dengan mengendarai sepeda..

Terkadang hidup memang terasa tidak adil. Orang yang bergelimang harta bisa memoles penampilannya sedemikian rupa tanpa khawatir meski harus mengeluarkan banyak uang. Sementara di salah satu tempat di belahan bumi lain, kedua orang tua Safitri harus berjuang keras mati-matian hanya untuk makan sekeluarga dan menyekolahkan anaknya.

Mirah sang ibu adalah seorang buruh tani yang selalu berangkat kerja ke sawah milik seorang juragan tanah dari habis sholat subuh dan kembali saat matahari sudah mulai condong ke barat. Begitu juga dengan sang suami Bahrul, dia melakukan pekerjaan yang sama sebagai buruh tani.

Safitri bukan lah gadis kembang desa nan cantik molek seperti gadis-gadis di cerita novel atau drama berseri tapi dia gadis desa yang polos dan lugu tapi berjiwa tenang dan pemberani. Safitri yang berperawakan standar gadis lokal dengan rambut panjang bergelombang dan berkulit kuning langsat ciri khas wanita Indonesia.

Wajahnya tampak cantik alami tanpa polesan make up bahkan bedak sekalipun, alisnya yang tebal dan rapi ditambah hidung yang lumayan mancung membuatnya tampak ayu manis tak membosankan untuk di pandang.

Langit tampak gelap berarak jelang waktu memasuki ashar, sayup-sayup terdengar suara shalawat dari masjid kampung yang tidak jauh dari sungai tempat Safitri biasa mencuci baju saat ini.

"Dengarkan lah di sepanjang malam aku berdoa ..." dendang syair lagu kekinian mengalun merdu dari bibir tak simetris milik Fitri sambil tangannya lincah menggilas baju di atas sebuah batu besar dengan tubuh sebatas lutut terendam di air sungai.

Gerimis mulai turun begitu juga gemuruh aliran sungai Cijulang tampak makin deras pertanda di hulu sungai yang ada di puncak gunung honje sudah turun hujan hingga menimbulkan aliran sungai yang makin deras. Beberapa batang kayu terlihat mengalir membentur bebatuan besar yang ada di tengah sungai, Safitri buru-buru membereskan pakaian dan perlengkapan mencucinya ke dalam sebuah ember bak yang berukuran sedang.

Tubuh padat berisi yang dibungkus oleh kaos oblong warna hitam dipadu dengan celana kulot 3/4 zaman dulu benar-benar menutup ke ayu an wajah Safitri dalam tampilan yang sangat jadul bukan seperti gadis zaman now tapi lebih seperti gadis zaman old.

"Wah! Ageung pisan arusnya mani loba jeram Oge. mending urang enggesan wae." pikir Fitri saat melihat arus sungai Cijulang makin deras dari arah hulu-.

Saat Fitri sedang merapikan cuciannya untuk dimasukkan ke dalam tiba-tiba.

DUARRRRRR

"Subhan Allahu Akbar Astaghfirullah!" seru Safitri sambil menutup telinganya saat bunyi petir yang sangat keras memekakkan telinga dan mengguncang dadanya.

"Allahu Akbar, Ya Allah lindungi hamba sampai rumah." gumam Safitri setengah berlari menuju rumahmu yang lumayan agak jauh.

Sambaran kilat dan bunyi petir saling bersahutan membuat Safitri sesekali bergidik mengangkat pundaknya sambil melantunkan lafadz tahmid dan takbir berulang kali.

"Assalamualaikum!" teriak Safitri membuka pintu memasuki sebuah rumah berukuran sedang yang separuh dindingnya masih terbuat dari bilik bambu.

"Waalaikumsalam, teteh takut!" teriak si bungsu Indah langsung mendekapnya.

Safitri meletakkan bak berisi cucian di atas kursi kayu lalu berjalan duduk sambil memeluk Indah dan mengusap lembut punggung nya agar si bungsu tenang.

"Baca Subhanallah dek, jangan takut itu mereka sedang bertasbih juga." ucap Safitri menenangkan indah.

"Iya teh tapi tetap aja Ndah takut." balas si bungsu tak mau melepaskan pelukan nya bahkan sekarang duduk di pangkuan Safitri

"Manja, kolokan maneh mah," suara Ayu adik kedua Safitri yang baru keluar dari kamarnya.

"Ayy, mamah tos uwih encan?" tanya Safitri tiba-tiba teringat mamanya.

"Aya di Pawon teh."saut Ayu tanpa melihat Safitri dan asik dengan hp android jadul milik nya.

"Udah Ayy jangan main hp dulu, banyak petir." tegur Safitri mengingatkan Ayu agar berhenti memainkan HP-nya saat hujan deras turun seperti ini.

"Gak ngaruh meren teh." saut Ayu cuek dengan teguran Safitri.

Safitri hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Ayu yang masih saja tak mau mendengar nasehatnya.

DUARRRRRR

"AAHHH!" teriak Indah dan Ayu bersama karena bunyi petir yang sangat keras.

Bahkan hp milik Ayu jatuh ke lantai karena kaget luar biasa

"Subhanallah Allahu Akbar!" beberapa kali Safitri mengumandangkan lafaz takbir dan tasbih dari bibirnya.

"Kak fit, kasihan bapak belum pulang." indah menengadahkan wajahnya ke atas menatap Safitri sambil merenggangkan pelukannya.

"Astaghfirullah! iya bapak belum pulang masih di sawah. Ya Allah semoga tidak terjadi apa-apa sama bapak." nada kecemasan jelas terdengar dari kata-kata yang meluncur lewat mulut Safitri.

Setelah hampir setengah jam hujan deras yang disertai dengan angin dan Guntur serta kilat berhenti perlahan langit berubah menjadi cerah. Udara terasa segar ditambah lagi dengan bunyi tetesan air hujan yang jatuh beku banget air hujan membuat suasana pedesaan yang nyaman dan menenangkan.

"WAAKK BAHDRULLl!" teriak histeris seorang pemuda jangkung dengan caping di kepalanya berlari ke tengah sawah.

"astagfirullahaladzim innalillahi wa innalillahi roji'un Uwaa! Hiks hiks hiks." suara tangis pemuda itu terdengar sangat syok melihat tubuh hangus yang ada di depannya.

Tangan kekarnya bergetar ingin menjamah tubuh hangus itu matanya tampak merah dengan berlinang tetes air mata mengalir begitu saja di wajah yang tampak terlihat jelas rasa takut bercampur dengan kesedihan.

"Uwaaa, Huuuuuaaaaa!" pecah sudah isak tangis itu menjadi tangisi bersama memilukan.

Pemuda itu merangkul tubuh hangus yang ada di depannya sambil terus terisak.

"Ya Allah, kenapa ini semua terjadi pada pakdee hiks hiks hiks." rintik pemuda itu sambil terus memeluk tubuh lelaki paruh baya yang sudah tak bernyawa dengan tak bisa dikenalin wajahnya kecuali warna hitam seperti arang.

Dari kejauhan tampak beberapa orang pria dengan cangkul dipanggul berlari menghampiri mereka dengan wajah-wajah panik karena kaget dengan kejadian salah satu rekan petani mereka yang tersambar petir siang jalan sore itu.

"Astaghfirullah Bahrul!!" teriak beberapa orang hampir bersamaan saat melihat tubuh yang sudah bisa dikenal di wajah dan ada dalam pelukan pemuda itu.

"Nanan! Cepat angkat Bahrul jangan kelamaan di sini takut ada petir lagi." perintah salah satu pria paruh baya yang seusia dengan Badrun memperingatkan.

Pemuda yang dipanggil Nanan langsung mengangkat tubuh Badrul dibantu oleh beberapa orang petani untuk menjauh dari tempat kejadian.

"Dit, cepat laporkan kejadian ini sama juragan Teten sama Pak kades." perintah Samsul sambil ikut membantu Bahrul yang sudah terjulur kaku

...Kematian tak dapat dihindari sekalipun manusia itu bersembunyi di dalam benteng yang kokoh....

Terpopuler

Comments

💜⃞⃟𝓛☠️⃝⃟ⱽᴬ 🇲𝗔𝗠𝗜ᴰᵉʷᶦ🌀🖌:

💜⃞⃟𝓛☠️⃝⃟ⱽᴬ 🇲𝗔𝗠𝗜ᴰᵉʷᶦ🌀🖌:

karena malaikat tak membutuhkan benteng untuk mencabut nyawa

2024-05-28

1

💜⃞⃟𝓛☠️⃝⃟ⱽᴬ 🇲𝗔𝗠𝗜ᴰᵉʷᶦ🌀🖌:

💜⃞⃟𝓛☠️⃝⃟ⱽᴬ 🇲𝗔𝗠𝗜ᴰᵉʷᶦ🌀🖌:

bukan tidak adil tapi sudah menjadi ketentuan dari Alloh seperti itu

2024-05-28

0

ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠Hana Nurul Azizah🍩ᴬ∙ᴴ࿐

ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠Hana Nurul Azizah🍩ᴬ∙ᴴ࿐

Bener banget takutnya kejadian ngga mengenakan loh

2023-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!