Marigold (Kasih Yang Berujung)

Marigold (Kasih Yang Berujung)

Kenangan

Di sebuah kamar dengan nuansa merah muda yang hanya terdiri dari kasur ukuran 160x200 cm, meja belajar dan lemari baju. Kamar yang sederhana namun rapih, seorang gadis termenung sembari menatap langit-langit kamarnya. Kamar yang ditinggalinya selama setahun ini menjadi teman kisah renungan masa lalu yang sampai saat ini belum dapat dilupakan.

“Tidak salah, berharap pada manusia memang harus siap untuk dikecewakan. Tapi, kenapa harus kamu?” Begitulah monolog lirih dari gadis mungil berusia 18 tahun. Usia yang cukup muda bagi mahasiswa semester 3.

Gadis itu adalah Nadira Arsyakayla atau yang sering disapa Dira. Saat ini, Dira sedang pulang kampung setelah selama setahun ini dia mondok dan meneruskan pendidikannya di Universitas Negeri di Kota Satria. Kekecewaan, kesedihan, rasa bersalah dari kisah masa lalu membuat Dira berkali-kali mengucap istighfar.

Nadira paham, bahwa belum saatnya dia memikirkan tentang cinta dari lawan jenis. Yang harus dipikirkan sekarang adalah pendidikan dan fokus membahagiakan keluarga. Namun, Dira adalah gadis biasa yang punya rasa cinta terhadap lawan jenis, normal. Bagi sebagian orang menyebutkan bahwa cinta yang Dira rasakan saat ini hanyalah cinta monyet, tapi tidak bagi Dira. Dia merasa cintanya nyata, walaupun dia tahu betul hal itu tidak diperbolehkan, sebelum menjadi mahramnya.

“Astaghfirullah, kenapa aku harus membuang waktu untuk memikirkannya. Ayolah Dira, lupakan! lupakan! move on move on, kamu pasti bisa! Bukan kamu banget.” ucap Dira berusaha menyemangati dirinya.

Cukup sulit, karena biar bagaimanapun masa lalunyalah yang membuat Dira memiliki semangat lebih. Mengenangnya saja membuatnya tersenyum bodoh yang ujung-ujungnya kembali merasa terluka akan keadaan.

Karena rasa lelahnya membuat gadis itu tertidur. Cukup lama dia tertidur, hingga suara keras dan ketukan pintu dari sang ibu membuat Dira terbangun.

Tok

Tok

Tok

“Dira, bangun! Sudah Ashar. Pamali! sudah sore masih tidur, bisa bikin gila! Emang mau jadi orang gila, hah. Bangunnnn!”, seru Ibu Yasi-Mamanya Dira setelah berkali-kali menggedor kamar anak gadis keduanya itu.

“Ck, bocah kie masih pada bae. Angel tenan nek kon tangi (Anak ini masih sama saja. Susah banget kalau disuruh bangun).” Ibu Yasi berdecak kesal dengan Dira yang masih saja sulit untuk dibangunkan.

Sejak dulu Dira memang anak yang sedikit badung, namun masih tetap dibatas wajar. Selain susah dibangunkan, Dira juga anak yang cukup keras kepala. Selain itu, sering kali melanggar aturan orang tua, seperti pacaran misalnya. Beruntung, Dira anak yang cerdas dan mudah bergaul, sehingga tidak menghalangi pendidikannya.

Dira adalah anak ke dua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Kakaknya sendiri sudah menikah, memiliki 2 putri dan sudah punya rumah sendiri. Sedangkan adik Dira masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar.

Dira yang sempat kaget langsung terbangun dan terduduk.

"Mama ya ampun, kenapa harus teriak-teriak sii, huh Astaghfirullah, tenang-tenang,"

“Huamm, sudah ashar rupanya. Pantas saja Mama berteriak, pasti beliau akan jengkel dengan kebiasanku ini. Tapi biarlah hehe itung-itung nyaur turu, jarang-jarang bisa tidur siang. Maafkan anakmu Mama.” Gumamnya, sambil mengikat rambutnya.

Dira bangun dan berjalan ke luar kamarnya. Jika di dalam rumah, Dira memang tidak memakai jilbabnya, terkecuali jika ada tamu. Karena bagi Dira, semua penghuni rumahnya saat ini adalah mahramnya, jadi tidak masalah kalau tidak menggunakan hijab.

Dira sudah menggunakan hijab sejak dirinya memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama. Dimana waktu itu Bapak Dira menyarankan Dira untuk masuk Madrasah Tsanawiyah yang mewajibkan untuk menggunakan hijab. Awalnya, dia hanya akan memakai hijab ketika sekolah dan mengaji saja. Namun, karena merasa nyaman dan sering kali mendapat tausiah mauoin pelajaran dari guru ngajinya tentang kewajiban menggunakan hijab, maka sejak saat itu Dira selalu memakainnya kemanapun Dira pergi, kecuali di dalam rumah.

Selepas lulus MTs (Madrasah Tsanawiyah), Bapak dan Mama Dira ingin Dira masuk pesantren sekaligus melanjutkan Madrasah Aliyah. Namun karena keterbatasan ekonomi dan kebetulan Syifa, adik Dira masuk SD membuat Dira harus masuk SMA Negeri. Dimanapun Dira sekolah, bagi Dira sama saja, yang terpenting belajar dan dapat meraih cita-cita.

Setelah nyawanya dirasa terkumpul, Dira bergegas pergi ke Kamar Mandi untuk membersihkan diri sekaligus mengambil wudhu. Kamar mandi di rumah Dira memang sebelahan dengan dapur. Hal tersebut membuat Dira yang ingin ke kamar mandi menghentikan langkahnya sejenak, kala melihat ibunya sedang melakukan sesuatu di dapur.

“Mama lagi apa? Ada yang bisa Dira bantu?” tanya Dira pada mamanya yang terkesan basa basi. Kalau boleh jujur, Dira memang kurang pandai memasak. Membuat kopi saja, Dira belum bisa dengan takaran yang pas.

“Mama mau masaklah Dir, bukannya kamu lihat kalau Mama sedang mengiris bawang. Kamu ini kuliah ya mondok, bukannya nambah pinter malah jadi aneh gini, terus kebiasaan lamamu juga belum berubah. Ck.” omel Mama Yasi sedikit kesal dengan Dira.

“Hehe, ya kan hanya basa-basi Mamaku. Mama ini kenapa, bukannya sudah panen? kenapa sensi mulu sama Dira? Padahal Dira baru pulang lho Ma, setahun ngga ketemu malah Mama kaya ngga suka Dira pulang, hu hu hu Dira sedih nih.” ucap Dira mendramastis suasana memasang wajah sedih yang hanya ditanggapi dengan dengusan nafas kasar oleh mamanya

Sebenarnya Dira tahu kalau Mamanya hanya mencandainnya, walau sedikit kesal padanya. Nadira berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan dan membasuh wajahnya, setelah itu mendekati Mama Yasi.

“Mama itu jangan marah-marah terus, nanti darah tinggi mama kumat lho. Nanti kalau Dira sudah nikah-...“ Dira menghentikan ucapannya, kembali teringat tentangnya.

"Ah ya ampun keceplosan, mama Ngeh ngga ya? Duh." panik Dira salam hati.

“Em, ada yang bisa Dira bantu ngga Ma? kalau tidak ada, Dira mau mandi terus asharan dulu. Ingat ya Mama ngga boleh marah-marah lagi,” sambung Dira mengalihkan pembicaraan dan langsung masuk ke kamar mandi.

Mama Dira yang mendengar, sedikit bingung. Namun ketika melihat raut wajah panik dan tindakan Dira, Mama Yasi curiga jika ada yang tengah mengganggu pikiran anaknya itu. Sebagai seorang Ibu, Mama Yasi yakin jika putrinya sedang ada masalah. Biasanya feeling seorang ibu memang tidak pernah salah, dan apa yang dipikirkan Mama Yasi memang benar adanya.

Sepandai-pandainya Dira ataupun anak yang lainnya menyembunyikan sesuatu, Mama Dira adalah orang yang paling peka. Walaupun Dira lebih dekat dengan Bapaknya, namun tetap saja dia tidak bisa bohong pada mamanya.

Sedangkan di kamar mandi, Dira tengah mengumpat kebodohannya yang hampir saja keceplosan.

“Untung saja mulutku masih bisa ku rem. Kalau sampai licin, aduh bisa kena introgasi 7 hari 7 malam. Huh aman-aman, semoga Mama yang super peka itu ngga curiga denganku tadi.” gerutu Dira yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Setelah selesai mandi dan bersiap, Dira langsung menjalankan ibadah salat ashar karena waktunya yang hampir habis. Sambil menunggu waktu maghrib, Dira menyempatkan diri untuk membaca kitab suci Al-qur’an.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!