"Ah, terima ka..." aku bengong, sebab dia malah pergi membawa buku itu.
Tunggu dulu. Mataku menyipit meyakinkan apa yang kulihat. Bukankah itu anak laki-laki yang duduk disebelahku tadi?
Bagaimana bisa dia pura-pura tidak mengenalku? Lalu, lihatlah attitude-nya itu. Padahal aku yang susah payah meraihnya, dia malah dengan enteng mengambilnya.
Hah, pada akhirnya aku memanggil karyawan toko untuk mengambil buku yang lain.
Setelah berbelanja kebutuhan kuliah, aku pulang ke rumah dan mendapati pintu rumah terbuka. Aku mendengar suara nenek terbatuk dari dalam kamarnya.
"Nenek.." Aku masuk ke kamar nenek. Kulihat dia terbaring di tempat tidur sambil memegang dadanya.
"Astaga, Nek." Badan nenek panas dan dia ternyata sesak napas.
Aku segera menelepon kak Wicak, memintanya membantuku membawa nenek ke rumah sakit. Pada awalnya nenek menolak, tetapi karena paksaanku, akhirnya mau tidak mau nenek ikut saja.
Kak Wicak menemaniku saat nenek diperiksa. Ternyata butuh beberapa langkah untuk mengetahui penyakit nenek.
Aku tidak tenang, aku menangis sejak tadi. Karena cuma nenek yang aku punya. Jika nenek tidak ada, aku harus bagaimana.
Kak Wicak terus menenangkanku, dia terus mengatakan bahwa nenek akan hidup sampai aku selesai kuliah. Aku malah semakin menangis, bagaimana jika nenek meninggal dunia? Aku tidak bisa memikirkan itu.
Setelah beberapa jam menunggu, hasilnya pun keluar. Dokter menjelaskan sesuatu yang aku tidak begitu paham. Yang paling kumengerti adalah nenek mengalami dua permasalahan di dalam organ tubuhnya, yaitu paru-paru dan yang membuat aku menangis adalah kanker stadium 3 di ginjal nenek.
Aku terduduk setelah mendengar itu. Nampaknya nenek selama ini tahu dan dia pasti menyembunyikannya dariku, supaya aku tidak khawatir.
Butuh biaya yang banyak untuk perawatan nenek kali ini. Aku tidak peduli, pokok nenek harus sembuh.
"Kita pulang saja, ya. Uangnya jangan dipakai untuk berobat. Sayang, lebih bagus untuk kuliahmu." Tukas nenek.
"Untuk apa aku kuliah kalau nenek meninggal??" Pekikku sambil meneteskan air mata. Nenek hanya diam sementara kak Wicak terus menenangkanku.
Aku langsung mengurus administrasi nenek dan terkejut, biaya awal yang harus kubayar adalah 50 juta untuk operasi pengangkatan ginjal yang terkena kanker. Aku bisa membayarnya dengan uang hasil jual rumah nenek. Walau tidak sisa banyak, tapi kurasa ini akan cukup untuk biaya perawatan nenek selama beberapa minggu di rumah sakit.
Tapi, itu masih untuk ginjalnya saja. Belum paru-paru yang bermasalah.
Ah, sepertinya aku takkan bilang untuk biayanya supaya nenek tidak cemas. Aku akan mencari uang dengan bekerja paruh waktu.
"Kenapa?" Tanya kak Wicak saat aku menariknya keluar ruangan.
"Kak, aku mau bekerja. Apa ada lowongan supaya aku bisa bekerja sambil kuliah?"
"Bekerja? Untuk apa?" Tanya kak Wicak kaget.
"Kok untuk apa, sih, kak? Nenek akan tinggal di rumah sakit sampai sembuh dan menurut dokter, itu membutuhkan waktu yang lama karena daya tahan tubuh nenek yang lemah. Jadi, aku harus mencari uang untuk itu, kan?"
Kak Wicak menunduk, dia juga tahu itu.
"Kamu yakin?" Tanyanya lagi dan aku mengangguk cepat. Aku yakin dan sangat yakin.
"Ya sudah, nanti aku kabari." Kak Wicak memegang kedua bahuku. "Aku yakin kamu kuat, Syahdu. Aku akan selalu disampingmu. Hubungi aku jika ingin sesuatu, ya. Aku harus pulang dulu."
Aku mengangguk dan memeluk kak Wicak. Untunglah ada dia, aku sedikit lebih tenang.
Kak Wicak pulang sementara aku menatapi wajah nenek yang terlelap. Sepertinya menyewa rumah adalah pilihan yang salah karena kini ternyata kami akan tinggal di rumah sakit ini.
Aku memilih untuk mencari tempat menangis. Aku ingin meluapkan emosi dalam diriku dan aku akhirnya naik ke lantai paling atas dari rumah sakit itu.
Aku berdiri menatap ke bangunan di bawahnya. Lampu-lampu malam berderetan di pinggir jalan, juga lampu kendaraan yang amat ramai membuatku merasa sesak. Hidup di kota yang kuharapkan sebuah ketenangan nyatanya malah sebaliknya. Belum ada dua minggu sampai di kota, harus menerima kenyataan pahit bahwa nenek mengidap penyakit yang akan menghabiskan simpanannya selama bertahun-tahun, yang seharusnya ia hadiahkan untuk kuliahku.
Aku mulai menitikkan air mata. Rasanya ingin protes kepada si pembuat takdir. Dia merancang hidup yang tidak pernah tenang untukku.
"Aaaaaaaaah!!" Teriakku di atas. Napasku naik turun dan sepertinya tangisku akan pecah. Aku tidak kuat dan akhirnya aku nangis sesegukan.
"AKU LELAAAH! AKU LELAAAHH!!" Teriakku lagi sambil menangis. Kubiarkan air mata mengalir dengan deras, mataku perih dan ingin terus mengeluarkan air mata.
"Aaaaaaa.." Aku menangis terisak, hatiku sangat sakit. Bagaimana tidak, aku dan nenek lari dari kampung ke kota untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Lalu apa yang kudapat? Nenek sakit! Apa yang lebih baik? Kehidupan ku gak pernah Baikkkkkk!!
"BAGAIMANA CARANYA AKU MENDAPATKAN UANG UNTUK BEROBAT NENEKKK!! AKU TAKUT DIA MATII AAAAAA..." aku menangis sampai terjongkok, aku memeluk lutut dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku gak kuat.. aku gak sanggup kalau harus kehilangan nenek.." lirihku.
"Ambil kami berdua.. jangan biarkan aku hidup tanpa nenek.. huuu..." dadaku terasa sangat sesak, aku terus berpikir bagaimana kalau nenek benar-benar akan meninggal.
Aku membiarkan diriku terus menangis di atas. Aku mau melapangkan pikiranku, aku perlu meluapkannya supaya terlihat baik-baik saja di hadapan nenek. Aku mencintai nenek, aku sangat ingin dia hidup bersamaku seperti dulu. Kami hanya ingin sedikit ketenangan.. sedikit saja. Itupun sulit sekali kami dapatkan.
Aku terus menangis sampai kedinginan karena angin yang menerpa tubuhku.
SRUK!
Kepalaku tertutupi sebuah kain yang harum.
"Pakai itu. Cuaca sangat dingin."
Aku diam, ternyata ada orang lain di atas tanpa kusadari. Aku.. malu.
Aku mengangkat kepalaku perlahan saat suara laki-laki itu sudah tidak ada.
"Hah.. siapa.." aku menoleh kesana kemari tetapi tidak ada orang. Ternyata orang itu sudah pergi.
Aku menghapus air mataku dan buru-buru mengejarnya ke bawah sambil menenteng jeket yang tadi ia bentangkan ke kepalaku.
Aku mencari seseorang yang mungkin belum jauh. Tetapi aku tidak juga menemukan laki-laki. Ada, seorang laki-laki paruh baya. Tentu bukan, dia mengingat jenis suara laki-laki itu sepertinya masih muda.
Tidak ketemu, akhirnya aku masuk ke dalam kamar dengan membawa jeket maroon navy itu. Jeket itu sangat lembut dan wangi, sepertinya jeket mahal. Wanginya sangat enak dan membangkitkan mood-ku. Tanpa sadar aku terus menciumi baunya. Hah, entah siapa orang yang malah memberikan jeketnya pada orang yang tak dikenal, batinku sambil membaringkan tubuh di sofa sebelah ranjang nenek.
...🍁...
Hari ini mau tidak mau aku ikut perkuliahan. Awalnya aku hanya ingin menemani nenek, tetapi nenek memaksaku kuliah saja. Hah.. untuk apa kuliah, lebih baik aku bekerja untuk menghasilkan uang. Aku sempat berpikir untuk diam-diam berhenti kuliah saja dan bekerja tanpa sepengetahuan nenek. Tapi lagi-lagi kak Wicak menceramahiku panjang lebar.
Hatiku masih terasa sedih. Tadi pagi dokter sempat cek keadaan nenek dan ternyata butuh 150 juta lagi untuk biaya paru-parunya.
Aku memijit dahiku yang mulai pusing. Sisa uang nenek hanya 80 juta lagi. Selebihnya sudah aku pakai untuk persiapan kuliah beberapa hari lalu. Dari mana aku dapat sisanya?
Aku menangkup wajah dengan kedua tanganku saat menyadari teman-teman sudah keluar kelas. Aku menangis di bangkuku paling belakang. Rasanya teramat sedih, apa yang harus kulakukan?
"Gue akan bantu lo."
Aku membuka wajahku, melihat ke sumber suara yang seperti tahu permasalahanku.
Aku membulatkan mata. Bukankah itu Arga Alexander? Lelaki yang mengambil bukuku di toko buku.
"A-apa maksudmu.."
"Butuh biaya, kan? Gue akan bantu perawatan nenek lo."
Aku menganga, apa dia bisa membaca isi pikiran?
"K-kau tahu.. dari mana.."
"Gak penting gue dari mana. Gue cuma nawarin bantuan buat lo. Gue akan bantu biaya rumah sakitnya, asal lo juga bantu gue."
Membantu katanya? Aku harus membantu apa sampai balasannya biaya rumah sakit yang ratusan juta?
"Lo harus jadi teman tidur gue."
BRAK! Kursi yang ku duduki terjungkal kebelakang. Aku berdiri dengan mata terbelalak sementara dia tetap tenang memandang ke arah depan.
"Kau pikir aku perempuan apa!!" Pekikku padanya.
"Gue tahu kok, Lo dari perkampungan, pindah karena cemooh orang-orang tentang nyokap Lo yang dulunya pelacur."
Aku menganga. Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu itu??
"Lo gak perlu terkejut. Gue nawarin bantuan yang sepadan. Lo gak perlu khawatir lagi tentang nenek Lo, kalo lo setuju."
Ahh.. ingin sekali aku menampar wajahnya. Dia sangat kurang ajar, dia bahkan menyamakanku dengan Ibuku. Dia pikir aku juga sama dengan Ibuku dan itu sangat menyakiti perasaanku.
"Aku tidak butuh bantuan orang sepertimu, sialan!!"
Aku pergi meninggalkan dia dengan darah yang mendidih. Sangat disayangkan, laki-laki sepertinya yang dikagumi banyak orang ternyata brengsek. Sangat tidak pantas dijadikan idola. Aku membencinya, sangat membencinya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
may
Wow, daebak🙄
2023-12-06
0
Ay Ay Aynaaa
baca untuk yg ke 2 kali 🤭
minggu kmaren bru baca yg prtama hehee,, seru ehh❤
2023-11-07
1
Wirda Wati
👍👍👍
2023-10-25
0