Di ruang depan, mereka melewati sebuah cermin besar. Ainsley melirik bayangannya dan kaget sendiri melihat penampilannya yang kusut. Memangnya apa yang ia lakukan sampai penampilannya cepat sekali berubah. Padahal mereka bahkan belum sampai sehari keluar dari rumah. Ralat, hotel.
"Kenapa kau tidak bilang tadi kalau gayaku kusut begini?" celoteh Ainsley yang kini duduk di sebuah sofa besar ruangan tengah sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
Austin terkekeh. Ia memberikan segelas air yang di ambilnya dari dapur tadi ke Ainsley. Gadis itu mengambil dan meminumnya sambil terus menatap Austin yang sekarang duduk di depannya.
"Kau tetap cantik di mataku." kata pria itu. Tangannya lalu terangkat merapikan rambut Ainsley.
Ainsley mendengus pelan. Ciri-ciri pria playboy di matanya yah seperti Austin ini.
"Berapa banyak wanita yang sudah kau rayu?" entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ia ingin tahu.
Austin menghentikan kegiatannya dan menatap sang istri.
"Aku tidak pernah merayu wanita lain selain dirimu." sahut pria itu. Memang itu kenyataannya. Selama ini Austin terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tidak ada waktu merayu perempuan. Malah dia yang sering didatangi oleh para wanita. Namun ia tidak tertarik.
"Harusnya kau senang aku memilihmu di antara semua wanita." kata Austin lagi.
Ainsley mencebik.
"Aku akan lebih senang kalau kau tidak memilihku." balasnya. Lagi-lagi Austin terkekeh.
"Kau akan sadar nanti kalau aku adalah pria yang tepat untukmu Ainsley."
Ainsley tidak lagi membalas perkataan lelaki itu. Ia capek. Austin tidak akan pernah mengalah berdebat dengannya. Pria itu selalu punya banyak cara untuk membuatnya terdiam tidak berkutik. Ainsley lalu berdiri.
"Di mana kamarku?" tanyanya menatap Austin.
"Bukan kamarku, tapi kamar kita sayang." ralat Austin. Ainsley berdecak pelan. Haruskah ia meminta Austin mengijinkannya tidur di kamar terpisah sampai ia siap menerima status mereka sekarang? Apakah Austin akan setuju dengan pendapatnya?
"Kau tahu aku masih kuliah bukan?" ia mencoba mencari alasan. Austin bersedekap dada menunggunya bicara lagi.
"T..terkadang aku butuh sendiri untuk fokus pada tugas-tugas kampusku." tambah Ainsley.
"Aku bisa menyiapkan tempat belajarmu saat kau mau sendiri."
"Aku tidak mau merepotkanmu."
"Aku sama sekali tidak merasa di repotkan."
Ainsley membuang nafas lelah. Ok dia menyerah. Ingin sekali ia menjambak rambut Austin tapi tidak bisa. Ia takut aksinya hanya akan berakhir dengan lelaki itu menciumnya lagi. Tidak, ia tidak mau.
"Sudahlah, aku lelah berdebat denganmu." katanya akhirnya. Austin tersenyum menang.
"Ayo ku antar ke kamar kita." ujar lelaki itu seraya bangkit dari sofa.
\*\*\*
Ainsley mengikuti Austin menuju kamar yang terletak di lantai atas. Di atas hanya ada satu kamar tidur. Kamar itu menghadap kebun belakang rumah. Menambah nuansa perkebunan rumah yang nyaman. Pemandangan dari balkon kamar terasa sejuk dan menyenangkan. Apalagi di sore hari menjelang malam ini.
Ainsley mengamati sekeliling kamar. Kamar itu memiliki desain industrial dengan warna-warna yang netral yaitu gabungan dari warna hitam, putih, dan abu-abu.
Dindingnya terpampang lukisan abstrak yang sengaja dipasang dengan berantakan. Namun bagian yang lain disusun dengan sangat rapi. Sangat maskulin dan cocok untuk pria seperti Austin.
Ainsley merebahkan diri di kasur. Rasanya sangat empuk. Tempat tidurnya saja tidak seempuk ini. Memang benar kata orang, yang mahal memang beda. Ia hanya tidak menyangka bisa menikmati barang-barang mahal seperti ini.
"Sepertinya kau sangat menyukai kamar ini," celetuk Austin.
Ainsley langsung duduk dan menatap Austin.
"Barang-barangku masih di hotel." katanya baru mengingat barang-barangnya.
"Aku tahu. Aku sudah menyuruh Narrel mengambilnya. Tenang saja."
"Apa rumah ini ada pembantu?" tanya Ainsley lagi mengubah pembicaraan.
Setelah di pikir-pikir, sejak masuk rumah ini ia memang tidak melihat satu pun pembantu pun selain satpam yang berjaga digerbang depan. Tidak mungkin kan Austin sendiri yang membersihkan rumah sebesar ini. Pria sibuk seperti Austin tidak akan punya waktu untuk hal-hal seperti itu. Apalagi ia punya banyak uang. Gampang sekali baginya untuk mempekerjakan pembantu.
"Mereka hanya datang di jam-jam kerja. Setelah itu pulang. Sebentar nanti ada yang akan datang menyiapkan makan malam." jelas Austin. Ainsley mengangguk mengerti. Ternyata begitu.
"Kenapa mereka tidak tinggal disini saja? Bukankah rumah ini terlalu besar untuk kau tinggali sendirian?"
Austin menatap Ainsley. Gadis ini banyak tanya juga ternyata.
"Jangan terlalu banyak tanya. Lagipula sekarang ada kau, aku tidak akan merasa kesepian lagi." ucapnya. Giliran Ainsley yang terdiam.
"Aku mau tidur sebentar. Jangan ganggu aku." kata Ainsley, kembali merebahkan dirinya ke kasur. Austin tersenyum tipis menatap gadis itu.
"Ya sudah. Kalau kau butuh sesuatu, cari aku di ruangan kerjaku di sebelah." katanya. Ainsley menganggukkan kepala sambil menutup mata.
\*\*\*
Di ruang kerjanya, Narrel masih tidak menyangka Austin akhirnya menikah. Padahal dirinyalah yang paling banyak berhubungan dengan wanita. Sampai sekarang ia masih heran dan berpikir apa yang membuat bos sekaligus sahabatnya itu mau menikahi Ainsley. Sih gadis biasa-biasa saja itu.
Austin bahkan tidak marah sama sekali saat ditinggalkan sendirian oleh gadis itu di pesta kemarin. Padahal Austin tidak pernah terima jika direndahkan seperti itu.
Hari ini, Austin juga membatalkan rapat mereka demi istri barunya itu.
Bukannya dia membenci Ainsley, Narrel heran saja kekuatan apa yang di miliki gadis itu sampai-sampai sahabatnya yang tidak tersentuh itu bisa berubah drastis. Kali ini Narrel makin yakin kalau Austin mulai ada rasa pada Ainsley. Kalau tidak, mana mungkin Austin akan melakukan apapun demi gadis itu. Semogavsajs Ainsley akan membalas rasa cinta dari sahabatnya itu yang mulai tumbuh.
"Tuan Narrel," Narrel menghadap ke depan. Menatap asisten perempuannya yang berdiri di ambang pintu ruangannya.
"Ada apa?"
"Bagaimana dengan meeting besok? Di batalkan lagi?" tanya asisten wanita bernama Iren itu. Ini sudah yang ketiga kalinya Austin membatalkan meeting lewat Narrel. Jadi Iren sebagai penanggung jawab yang menghubungi klien harus memastikan.
"Tidak. Kau hubungi klien dan bilang meeting besok tetap jadi." kata Narrel tegas. Ia sudah memastikan pada Austin tadi.
"Baik." ucap Iren. Ia sudah bersiap-siap mau kembali namun terhenti karena suara Narrel.
"Iren,"
Iren berbalik.
"Iya, ada lagi?" tanyanya menatap Narrel.
"Aku akan mengirim alamat hotel padamu lalu kau ke sana ambil barang-barang milik istri baru Austin dan langsung antarkan ke rumahnya." jelas Narrel panjang lebar.
"Rumah tuan Austin?" tanya Iren biar lebih jelas. Narrel mengangguk.
"Baik. Kalau begitu saya permisi." ujarnya.
Narrel menyandarkan diri di kursi kerjanya lagi. Dari sekian karyawan kantor yang heboh mendengar pernikahan mendadak bos mereka, pria itu baru sadar hanya Iren yang biasa-biasa saja bahkan terkesan tidak peduli. Iren memang terkenal gadis robot di kantor mereka karena gayanya yang selalu datar seperti tidak ada jiwanya. Narrel merasa lucu sendiri tiap kali mengingat gaya bicara Iren, asisten yang sudah cukup lama bekerja dibawahnya itu.
Meski sangat kaku, Iren sudah punya pacar. Narrel jadi heran bagaimana caranya berkomunikasi dengan pacarnya. Apakah sekaku itu juga?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Edah J
Kapan ya kelakuannya Ain itu berubah hargai dengan perkataan dulu sebelum perbuatan
2024-09-17
0
Chen Chen
ini sikapnya ainsley sok banget yaa jd cew udah biasa g cakep pula miskin pula mana ada sih wanita seperti ini nolak laki2 tampan & kaya? karakter nya jutek & kasar pula..
10 miliar lu jual perawan pun siapa yg mau beli? gak tau diri amat..
2024-01-23
2
Rita
banyakin stock sabar Austin buat hadapin Ainsley
2023-03-28
0