Selesai bicara dengan orangtuanya Ainsley masuk ke kamar. Gadis itu terus berjalan mondar-mandir seperti cacing kepanasan sambil meremas ponselnya kuat-kuat. Aduh bagaimana ini. Ia ingin menelpon Austin tapi ia takut pria itu akan besar kepala kalau dia menelpon lebih dulu dan meminta bertemu.
Disisi lain, memang ia perlu bicara dengan Austin untuk meminta bantuan. Bagaimana ini? Ia malu dan merasa berat hati harus meminta bantuan lelaki itu namun tidak ada nama lain yang terpikir di otaknya.
Para sahabatnya mana ada uang sebanyak itu. Ayolah, satu milyar saja ia yakin sekali mereka tidak ada. Kalau ada sudah dari lama Ainsley meminjam uang pada sahabat-sahabatnya dan diberikan ke Austin untuk memutuskan perjodohan mereka.
Ainsley menghentikan gerakan mondar mandirnya, dan mengangguk kuat. Tekadnya sudah bulat. Ia harus segera menelpon Austin sekarang juga. Lalu diangkatnya ponselnya dan mencari nomor Austin di daftar panggilan.
Austin yang tengah sibuk berkutat dengan berkas-berkas di mejanya menghentikan kegiatannya sebentar saat mendengar dering ponselnya. Pandangannya berpindah ke ponsel yang terletak di bagian kiri meja kerjanya, di atas tumpukan kertas.
Pria itu mengerutkan kening lalu tersenyum simpul ketika membaca nama sih penelpon. Ainsley menelponnya? Tumben sekali. Ia menunggu beberapa detik baru mengangkat.
"Jangan bilang kau sudah kangen padaku," goda Austin langsung. Ia sekilas mendengar suara ingin muntah yang dibuat oleh Ainsley di seberang sana. Bukannya kesal, pria itu malah tertawa. Sudah lama sekali ia tidak sesenang ini.
"Kau dimana?"
"Dimana lagi, di hatimu sayang," lelaki itu masih ingin terus menggoda. Sesaat ia lupa kalau masih ada beberapa berkas yang belum ia periksa. Habisnya menggoda Ainsley lebih menyenangkan.
"Aku serius Austin," suara Ainsley memang terdengar serius, Austin bisa merasakannya. Apa gadis itu ada masalah?
"Kau ada masalah?" kali ini nada suara Austin berubah. Tak ada jawaban dari Ainsley.
"Kau sibuk?" gadis itu malah balas bertanya. Kalau orang lain yang memperlakukannya begitu mungkin sudah sejak tadi Austin menutup pembicaraan itu, namun ini Ainsley. Gadis yang ingin ia nikahi. Ia tidak boleh kasar pada gadis itu.
Austin mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Ia masih berpikir sebelum menjawab pertanyaan Ainsley. Ia ingat satu jam lagi ia masih ada rapat.
"Kalau kau sibuk kita bicara besok sa ...
"Tidak, sekarang saja. Aku tidak sibuk." potong Austin cepat. Ia bisa menunda rapat karena dia pemilik kantor itu.
"Kau mau aku ke kantormu atau?"
"Kita ketemu di restoran saja. Sekalian makan malam. Kau di rumah? Aku jemput sekarang,"
"Tidak, tidak. Kirim saja alamat restorannya padaku. Kita bertemu di sana saja," setelah mengatakan itu Ainsley cepat-cepat menutup telpon sepihak.
Austin tercenung,
"Dia menutup telpon duluan?" ucapnya sambil menatap ponselnya dongkol. Selama ini kan tidak ada yang berani menutup telponnya lebih dulu.
"Ada sesuatu di ponselmu?" tanya Narrel yang telah berada dalam ruangan itu. Sudah berkali-kali ia mengetuk pintu namun tak ada balasan dari sih pemilik ruangannya. Karena itu ia memutuskan masuk sendiri.
Setelah masuk, ternyata Austin sibuk menatap ponselnya sendiri bahkan tidak menyadari keberadaannya kalau dirinya tidak bersuara.
"Sejak kapan kau disitu?" tanya Austin melirik Narrel.
"Sejak kau terus-terusan menatap benda mati itu." sahut Narrel. Menyadari itu Austin berdeham pelan lalu meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Raut wajahnya kembali datar.
"Bagaimana, kau sudah periksa semua berkasnya? Kalau sudah aku akan segera menyiapkan rapat," kata Narrel lagi. Austin menatapnya lurus.
"Batalkan rapat hari ini sampai besok pagi. Ada sesuatu yang mendesak aku harus pergi," ucapnya.
Narrel menatap pria itu dengan heran. Tidak biasanya Austin akan membatalkan rapat tiba-tiba begini.
"Kau ada urusan mendadak?" tanyanya ingin tahu.
"Ya, aku punya janji makan malam dengan Ainsley," sahut Austin mulai mengatur semua berkas yang berserakan di atas meja. Ia tidak lihat tatapan Narrel yang keheranan menatapnya.
"Kau yakin akan membatalkan rapat penting kita demi seorang wanita?" lelaki itu bertanya lagi dan mendapatkan jawaban yang sama dari sang bos.
"Aku pergi dulu," pamit Austin lalu berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Narrel yang mematung saking takjubnya.
***
Ainsley menatap lama restoran mewah didepannya. Salah satu restoran French yang terletak di kawasan Kebayoran . Ia berdecak pelan. Restoran ini terlalu mewah untuk dirinya. Ia merasa tidak cocok. Apalagi dengan gaya pakaiannya yang sangat kasual dan sederhana. Ia datang hanya memakai kaos berwarna mustard lengan pendek dan jins hitam.
Lihat saja orang-orang yang bergantian memasuki restoran itu. Rata-rata yang perempuan pakai pakaian rapi dan berkelas, sedang laki-laki kebanyakan dari mereka memakai jas. Pasti mereka semua berasal dari kalangan atas.
Tahu-tahu begitu dia saja yang mencari tempat makanan untuknya dan Austin. Selera pria itu terlalu tinggi, sangat berbeda dengannya. Ainsley menghela nafas lalu berjalan masuk.
Benarkan, bahkan pelayan yang berdiri di segala sisi menatapnya aneh. Malah ada yang terang-terangan memperlihatkan ekspresi merendahkan mereka padanya.
"Maaf nona, anda mau melamar kerja?" seorang pelayan wanita menahan langkah Ainsley dan malah menanyakan pertanyaan yang tidak dia duga. Meski begitu pertanyaan itu membuatnya tertarik.
"Kalian masih punya lowongan?" ia balas bertanya. Sesaat dirinya lupa kalau maksud awal kedatangannya ke tempat ini adalah bertemu dengan Austin.
"Nona membawa CV no ..." pelayan itu menggantung pertanyaannya karena seseorang tiba-tiba muncul dan berhenti di belakang Ainsley.
"Ada yang bisa saya bantu tuan?" tanya pelayan itu. Sementara lelaki yang ditanyanya dengan cepat menarik pelan lengan Ainsley membuat Ainsley dan sih pelayan sama-sama kaget. Ketika Ainsley berbalik, rasa kagetnya berganti dengan perasaan gondok yang tertahan. Kalau saja ia tidak ada perlu dengan pria itu, ia sudah pergi sejak tadi dari tempat ini.
"Tunangan saya tidak datang ke sini untuk melamar kerja," Ainsley memutar bola matanya malas, sementara pelayan yang bertanya padanya tadi tampak kaget. Sesaat kemudian ia membungkuk sambil memohon maaf berkali-kali. Ia pikir Ainsley datang untuk melamar kerja karena pakaian yang dikenakan gadis itu sangat simpel. Tidak terlihat seperti wanita kaya.
Pelayan itu jadi sangat malu dan merasa tidak enak. Ia kenal betul siapa pria yang sedang berbicara itu. Pria yang terkenal kejam apalagi kalau diganggu.
Austin mengibaskan tangannya ke udara seolah memberikan instruksi supaya pelayan itu pergi dari situ. Setelah sih pelayan berbalik pergi, barulah ia menarik pelan tangan Ainsley berjalan ke meja yang sudah dipesannya tadi.
"Kenapa kau lama sekali? Aku sudah menunggumu hampir tiga puluh menit," ucap Austin pelan sambil menarik kursi untuk Ainsley duduk. Setelah itu kembali ke kursinya yang berhadapan dengan gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Susanty
Ainsley: sambil menyelam minum air🤭🤣🤣🤣 disambi cari² pekerjaan
2024-11-08
1
Edah J
Semoga saja papa dan ibu tirinya Ain tidak mengecewakan Ain ya
apalagi memanfaatkan kekayaan Austin
2024-09-17
0
Patrish
sapa tahu bisa sekalian dapat kerjaan🤭🤭😃😃
2024-01-09
1