Kania berlarian mengejar bus antar kota yang berhenti di halte. Banyak sekali orang yang naik, sehingga bus terlihat penuh.
Kania naik. Untung saja masih ada waktu karena pintu bus hampir tertutup.
"Terima kasih." Kania menganggukkan badan ke arah pak Supir karena bersedia menunggu.
Suasana bus padat sekali. Banyak yang berdiri. Terpaksa Kania pun melakukan hal yang sama. Dengan berpegangan pada tempat yang disediakan, Kania memulai perjalanannya.
Transportasi yang ia tumpangi memang baru ada di kota ini. Hal ini bertujuan memudahkan para pekerja dalam beraktivitas serta untuk mengurangi kemacetan.
Kania berdiri dengan tenang. Kendaraan beroda empat itu berhenti kembali di halte berikutnya. Ada yang turun, adapula yang naik. Kebanyakan dari mereka justru yang naik, hingga menyebabkan keadaan di bus semakin padat.
Di belakang Kania terlihat lelaki tua. Kira-kira usianya sekitar empat puluh lebih. Lelaki itu sengaja mendekatkan badan ke Kania, membuat risih.
Kania menoleh ke belakang. Sulit untuknya bergerak ke kanan dan ke kiri karena penuh. Lelaki tua itu tersenyum kecil dengan tatapan buas. Bagi Kania itu menakutkan.
"Maaf, Pak, apa Anda bisa sedikit bergeser ke belakang?" Tak di sangka seorang lelaki muda dengan ransel di belakangnya menegur. Ia berada di samping kanan Kania. "Mbaknya, kurang nyaman."
"Mau nyaman atau tidak, ini risiko. Namanya juga di kendaraan umum. Penuh lagi. Wajar saja kalau saling berdempetan," jawab si Lelaki tua tidak terima.
"Itu memang benar. Tapi, saya lihat Anda justru sengaja menempelkan badan ke Mbak ini."
Semua perhatian penumpang tertuju pada dua lelaki yang berbeda generasi tersebut.
"Hei, maksud kamu apa?" Lelaki tua itu menujuk wajah lelaki muda. "Jadi, anak muda itu harus tau etika kalau bicara dengan yang tua!"
Kania diam. Perjalanan berubah menjadi menegangkan. Tanpa diduga lelaki muda itu menarik ujung kemeja putih Kania, menggeser tubuh Kania sedikit. Posisi saat ini Kania berada di depan si lelaki muda tersebut, tetapi masih berjarak sedikit. "Anda memang lebih tua dari saya, tapi etika Anda justru kurang baik. Saya bisa melaporkan Anda ke polisi atas tuntutan pelecehan di tempat umum!"
Kania tersentak. Ia mendadak menurut dan diam di bawah lindungan si lelaki muda tersebut.
"Apa buktinya kalau saya melakukan pelecehan?" tanya si Lelaki tua dengan emosi tinggi.
"Lihat ini." Lelaki muda memperlihatkan rekaman video diambilnya beberapa detik lalu. "Apa ini masih kurang?"
"Sialan!" Lelaki tua itu kesal. Semua orang menatapnya dengan sinis, hingga bus pun berhenti di halte lagi. Dan, lelaki itu pun keluar dengan segala sumpah serapahnya.
Bus kembali berjalan. Kania masih di posisinya.
"Ah, maaf." Lelaki muda itu melepaskan pegangannya di ujung kemeja Kania. "Saya tidak bermaksud menyentuhmu."
Kania tersadar. Bergeser kembali ke tempatnya. Mengingat keadaan bus mulai longgar, tempatnya itu masih kosong.
"Nggak pa-pa, Mas. Terima kasih sudah bantu saya," jawab Kania pelan.
"Sama-sama. Kamu harus hati-hati di tempat keramaian seperti ini."
Kania mengangguk pelan. Ia tidak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah si lelaki. "Iya, Mas."
Suasana bus aman terkendali kembali. Kania bernapas lega karena selamat dari hal yang tidak bisa dibayangkannya.
Tak berapa lama suara ponsel Kania berbunyi. Dengan cepat tangan perempuan itu merogoh benda canggih itu ke tas.
Ada nama Radit di sana. Sejenak Kania diam, menatap layar ponsel. Berpikir beberapa kali, lalu memutuskan menjawab panggilan suara tersebut.
"Assalamualaikum," ujar Kania.
"Wa'alaikum salam." Suara Radit langsung terdengar menyapa telinga Kania. "Kamu udah berangkat kerja?"
"Iya. Kenapa?" tanya Kania.
"Nggak. Maaf, tadi aku nggak sempat pamit lagi. Buru-buru."
"Enggak pa-pa." Hati Kania teringat kembali tentang Radit. "Kamu sudah sampai? Bukannya baru berangkat?"
"Belum. Lagi sarapan dulu sebentar. Tadi nggak sempat sarapan juga."
"Oh …." Kania bingung bertanya apa lagi.
"Ya udah, aku mau teruskan perjalanan. Jaga diri baik-baik. Assalamualaikum."
"Iya. Waalaikum salam." Kania menutup telepon. Pandangannya lurus ke depan, mengamati kendaraan lain yang melintas di jalur lain.
Lelaki muda di sampingnya mengamati, lalu kembali fokus ke depan lagi. Jalanan memang seringnya macet di pagi hari. Maklum, waktu itulah yang digunakan banyak orang untuk berangkat kerja, sekolah, kuliah atau mencari nafkah.
Bus terus berjalan, hingga berhenti lagi di halte selanjutnya. Di sini banyak penumpang yang turun termasuk Kania dan lelaki muda itu.
Kania merapikan jilbabnya yang sempat rusak. Memastikan tak ada rambut satu pun yang terlihat keluar.
Lelaki muda itu berada di samping kanan Kania. Memperhatikan setiap gerak-gerik wanita dengan hijab menutup dada berwarna merah muda itu. Angin berhembus, hingga menerbangkan bagian belakang jilbab Kania yang menjuntai. Menyentuh wajah si lelaki dengan lembut.
Memang belakangan ini angin kencang sedang melanda kota tersebut. Terkadang angin datang disertai hujan dan petir. Menakutkan.
Tangan si lelaki mengambil untaian jilbab itu. Kelembutan dari serat kain jilbab tersebut menyentuh sampai kalbu, terlebih pergerakkan Kania yang langsung berbalik badan setelah menyadari hal tersebut.
"Astagfirullah, maaf, Mas." Lagi-lagi Kania mengangguk cepat. Ia merapikan pashmina berwarna merah muda itu agar tidak terserang angin kembali.
Lelaki itu hanya diam. Manik-manik cantik Kania menghipnotis dirinya. Membuat tubuh lelaki itu mematung dengan pikiran terbang mengudara tanpa tujuan.
"Sekali lagi maaf, Mas," lanjut Kania.
Lelaki itu tersadar. "Tidak masalah. Jilbabmu cuma terbang sedikit karena angin." Ia mengembangkan senyum.
"Iya."
"Akhir-akhir ini anginnya memang ekstrim. Sebaiknya kamu pakai jilbab dengan kain yang tidak licin."
Kania tertegun. Di antara ribuan manusia yang ia temui, baru kali ini ada spesies lelaki yang memperhatikan jilbab yang ia pakai. Bahkan Radit saja tidak pernah berkomentar.
Bukan marah. Kania justru bersyukur. Itu artinya orang tersebut sangat menghormati wanita dengan baik.
"Iya, Mas. Sepertinya cuaca memang sedang tidak bersahabat," sahut Kania.
Sebelum melangkah, lelaki itu kembali menyuguhkan senyuman manis. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum." Ia bergerak ke arah depan, melewati Kania. Harum parfum menusuk hidung Kania. Segar dan menenangkan.
"Wa'alaikum salam," jawab Kania diam di tempat.
Di antara perjalan kaki, punggung lelaki itu terlihar lebih lebar dan punya ciri khas. Kania sebentar memandangi, hingga ia pun menarik diri ke dunia nyata kembali.
"Astagfirullah, udah mau telat." Gadis itu berlarian ke arah kanan. Gedung perusahaannya tak berapa jauh dari halte bus. Maka dari itu, banyak sekali pegawai yang memilih menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Tentu alasannya satu, menghindari kemacetan yang terkadang membuat kesal.
"Untung belum telat." Kania menekan tanda pengenal di tempatnya sebagai jejak ia hadir di kantor. "Absen selesai. Mari, kerja." Gadis manis itu masuk ke area gedung terdalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Enies Amtan
kenalan dong kania
2022-10-07
0
Tatiastarie
ish... kania siapa itu..
2022-10-03
0