Nasihat Ayah

Esok pun tiba. Kania sudah mulai sehat dan bisa bekerja. Sekitar jam enam pagi terdengar Radit pamit pada kedua orang tuanya. Namun, lelaki itu tidak menemui Kania dengan alasan sudah pamit semalam.

Kania turun ke bawah tepat jam enam lewat tiga puluh menit. Harum masakan menyapa hidungnya. Terdengar juga ocehan Adit dengan ciri khasnya.

"Bu, aku izin pulang agak telat, ya," kata Adit.

Bu Lala yang tengah membuat nasi goreng pun seketika menoleh ke belakang. "Kamu mau ke mana, Nak?"

Pak kemal sendiri sedang menikmati secangkir kopi dengan beberapa roti tawar berselaikan coklat. Nasi goreng sendiri adalah permintaan Adit.

"Mau ngerjain tugas, Bu," jawab Adit.

Kania datang. Menarik kursi di samping Adit tanpa berbicara. Adit melirik pada Kania, memperhatikan raut wajah kakaknya yang pastinya menyembunyikan kesedihan atas kepergian Radit.

"Bu, aku mau sarapan susu sama roti aja," ujar Kania.

"Yakin?" tanya Bu Lala. Nasi goreng siap. Bu Lala membawa dua piring nasi ke meja makan. "Hari ini kamu enggak lembur, kab, Sayang?"

Kania memberi selai di lembaran roti. "Enggak, Bu. Aku belum sehat betul."

Adit mengambil sarapannya. "Padahal cuma demam doang." Bukan Adit namanya jika tidak suka meledek. 

Kania malas. Ia menutup telinga rapat-rapat dari apa pun perkataan Adit.

Bu Lala duduk di samping sang Suami. Mengambil sendok untuk bersiap sarapan nasi goreng yang tadinya untuk Kania. "Memang sebaiknya jangan dulu lembur. Takutnya kamu sakit lagi."

"Benar itu, Nak," tambah Pak Kemal ikut berbicara.

Kania hanya mengangguk. 

Mulai hari ini ia tak akan melihat sosok Radit lagi. Entah itu di rumah ataupun kantor. Berusaha membiaskan diri dan berdamai keadaan juga melupakan rasa yang seharusnya tidak sampai membelengu diri.

Sarapan selesai. Adit lebih dahulu pamit, sedangkan Kania membantu ibunya lebih dahulu mencuci piring kotor.

Rumah sebesar ini memang tidak memiliki pembantu. Ini permintaan sang Ibu yang ingn mengerjakan semuanya sendiri. Menghandle sebisanya dan menyibukkan diri karena anak-anak sudah dewasa.

"Kamu enggak bakal telat, Sayang?" tanya Bu Lala. Kania sedang mencuci piring.

"Enggak, Bu. Lagian Kania mau naik bus hari ini," jawab Kania.

"Tumben." Kening Bu Lala mengernyit. 

Kania tersenyum kecil. "Lagi pengen aja, Bu."

"Biasanya kamu enggak suka desak-desakkan. Makanya, beli mobil sendiri."

"Sekali-kali kalau lagi pengen naik bus, ya naik. Kalau enggak, naik mobil sendiri."

Bu Lala terkekeh geli. Kania pun sudah selesai mencuci. Berbalik badan menatap sang Ibu. "Kok, Ibu, malah ketawa? Ada yang aneh?"

Bu Lala yang tengah merapikan piring bersih itu pun menoleh pada Kania. "Engggak. Cuma Ibu heran aja."

"Heran gimana, Bu?" Kening Kania mengerut. Untung saja waktu masih ada untuk berbicara dengan sang Ibu. "Kan, ini wajar."

"Kamu yang dari kecil enggak suka banyak orang, sekarang mendadak bisa kerja di tempat ramai dan mau pakai fasilitas umum. Ibu, masih ingat kamu nangis hanya gara-gara ada anak laki-laki datang waktu di taman. Padahal anak itu cuma mau kenalan aja." Bu Lala teringat kisah masa lalu.

Kania diam. Malu sendiri jika teringat akan hal itu.

"Kamu itu kebiasaan ke mana-mana sama Radit. Berdua aja. Jadi … kalau ada yang lain, mungkin kurang nyaman," sambung Bu Lala.

Perkataan ibunya membuat Kania mengingat banyak hari yang sudah ia lewati dengan Radit. Segala rasa sudah dilewati. Baik itu suka, duka, tawa, tangis bahkan kesal. Semua berlalu tanpa terasa..

"Sekarang Kania ngerasa kehilangan Radit, Bu." Wajah Kania berubah sendu.

Bu Lala bisa merasakan kesedihan itu. Sedih dari seseorang yang kehilangan sementara sahabatnya. Tidak bisa melarang karena setiap manusia punya pilihan masing-masing.

Bu Lala mendekap Kania. Memberikan rasa hangat serta ketenangan pada jiwa anaknya. "Jangan sedih. Setiap manusia pasti bertemu juga berpisah. Itu udah wajar."

Kania memejamkan mata. "Ya, Bu."

"Kalau ada rasa lain, serahkan semua pada Allah. Kita cuma manusia biasa," sambung Bu Lala.

Cukup lama mereka saling mendekap. Lalu, Kania pun segera berangkat. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, sedangkan masuk kerja pukul delapan pagi.

"Hati-hati di jalan, ya," kata Bu Lala.

"Iya, Bu. Assalamualaikum." Kania mencium telapak tangan sang Ibu, membawa tas di dekat kursi makan, dan bergegas berangkat kerja.

Pak Kemal ternyata masih ada di depan. Duduk di bangku sembari menatap langit yang cerah. 

"Loh, Ayah, belum berangkat? tanya Kania yanh mengira sang Ayah sudah pergi bersama Adit. "Bukannya tadi bareng sama Adit?"

Pak Kemal mengalihkan pandangannya pada Kania. "Tadi cuma anter Adit aja, Nak."

Kania mencium tangan sang Ayah juga. "Kania berangkat dulu. Assalamualaikum." Gadis itu memberikan senyuman kecil lebih dahulu. Kakinya baru saja mengayun ke depan, tetapi tertahan karena perkataan ayahnya.

"Nak, jangan tertipu daya sama perasaan. Kamu perempuan. Harus bisa jaga diri dan hati. Lelaki sejati itu bukan membuat perempuannya menunggu, tetapi memberi kepastian dengan datang ke rumah orang tuanya," ujar Pak Kemal.

Kania diam.

"Bukan artinya Ayah melarang kamu suka sama seseorang. Bukan, Nak." Pak Kemal berusaha untuk tidak menekan. "Tapi, terlalu berharap dan mengagumi seseorang pun itu tidak baik. Sewajarnya saja."

Kania menarik nafas dalam. Mengembuskannya perlahan. "Ya, Ayah."

"Ayah, berdoa yang terbaik buat kamu, Nak."

Mendengar itu Kania berbalik kembali. Bergerak memeluk ayahnya dengan erat seperti pelukan sang Ibu padanya tadi di dapur. "Semoga aku bisa dapat jodoh seperti Ayah. Lelaki tanggung jawab yang selalu memberikan ketenangan di keluarga."

Pak Kemal menyambut hangat tubuh Kania di pelukannya. Anak perempuan yang dahulu sering ia baa bermain ke taman, kini sudah tumbuh dewasa. Saat ini bukan mainan yang diinginkan Kania, tetapi support terbaik dari keluarga.

Kedua tangan Pak Kemal memeluk erat Kania. Memberikan sisa tenaga yang ia miliki. "Nak, jadilah perempuan yang bisa menjaga diri. Jadilah wanita yang tangguh dan bisa berdiri di kaki sendiri. Bahagiakan dirimu sebelum bertemu pasangan agar saat kamu terluka karenya, kamu bisa bangkit dengan caramu sendiri.

Dua nasihat dari orang tuanya menyertai langkah Kania pagi ini. Ia cukup bersyukur dengan segala hal yang dimilikinya. Baik itu keluarga ataupun hal kecil sekali pun.

Kania menarik diri. Kembali mengukir senyum di bibir. "Doa Ayah sama Ibu selalu jadi senjata terbaik buat Kania dan Adit. In syaa Allah, semua bisa berjalan dengan baik."

"Aamiin. Cepat berangkat. Hati-hati di jalan," kata Pak Kemal.

"Ya, Ayah." 

Kania kali ini benar-benar berangkat. Meninggalkan sementara rumah itu untuk mencari nafkah dan pengalaman di dunia luar. 

Terpopuler

Comments

Enies Amtan

Enies Amtan

adem

2022-10-07

0

Tatiastarie

Tatiastarie

ya kania kamu harus kuat apapun yg terjadi kalo memang jodoh Radyt milikmu tapi kalo ga pasti ada seseorang yg akan menemani mu nanti...

2022-10-03

2

lihat semua
Episodes
1 Bolos yuk!
2 Tawaran Pak Joni
3 Berbicara dengan Desi
4 Seutas berita dari divisi sebelah
5 Radit bimbang
6 Konyolnya Adit
7 mengantarkan makanan
8 Saling menghargai
9 Menerima tawaran
10 Makan bertiga
11 Liburan keluarga
12 melihat kepergian
13 Hari liburan
14 Kania sakit
15 Baru tahu Kania sakit
16 Desi datang
17 Radit menjenguk Kania
18 Nasihat Ayah
19 Bertemu lelaki asing
20 karyawan baru
21 Rangga
22 wanita baru
23 Jangan resah soal jodoh
24 nonton bersama
25 Gendis
26 memenuhi keinginan Gendis
27 Kania jujur
28 Segelas teh manis misterius
29 Ada yang janggal dari Rangga
30 Gamis hijau
31 Tentang Rangga
32 Radit bersama Gendis
33 Radit pulang
34 Adit merajuk
35 Siapa Rangga?
36 Rangga kesal
37 Jalan bersama
38 Bertemu Rangga
39 debat
40 Memasak nasi goreng
41 Jangan bayar pakai uang
42 Terciduk Pak Gani
43 Rangga geram
44 Dua bola mata
45 Kania dipanggil Pak Gani
46 Jatuh cinta pandangan pertama
47 Rendang
48 Kedatangan Pak Kemal
49 Makan bersama dengan tim
50 Datanglah ke rumah
51 Keputusan Kania cepat
52 Radit gelisah
53 Masa lalu Gendis
54 Kania membuat resah orang tua
55 Rangga menunggu
56 Kania ke klinik perusahaan
57 meeting
58 Soal keturunan
59 Jawaban Radit
60 Tak sengaja
61 Mendapatkan izin
62 Radit pulang
63 Malam sebelum lamaran
64 Tamu tiba
65 Niat yang sama
66 Keputusan Kania
67 Radit dan Kania
68 Kania datang ke butik
69 Kedatangan Radit
70 Kembali ke rutinitas
71 Satu ruangan
72 Berdebat lagi
73 Jangan mundur
74 Membeli cincin pernikahan
75 Hujan
76 Nasi goreng
77 Adit mengkhawatirkan Kania
78 Hari tiba
79 Radit memberi salam
80 Malam pertama
81 Tendangan maut
82 Mengikat dasi
83 Makan siang
84 Cup kopi.
85 Rangga pergi duluan
86 Kabar baik
87 Kotak susu
88 Pengangkatan Rangga
89 Dia datang
90 Menemui Rangga
91 Selamat bergabung
92 Kenapa tidak resign?
93 Salah atau tidak?
94 Lebih sulit mengikhlaskan.
95 Perintah Rangga
96 Dua paket ayam.
97 Sewa rumah
98 Terima kasih
99 Ridho Rangga.
100 Menangis.
101 Pulang
102 Jangan ikut campur.
103 Cerita Rangga.
104 Saksi.
105 hapal ruangan.
106 Rangga khawatir.
107 UKS
108 Jangan khawatir.
109 Menginap
110 Jawaban
111 Pergi Bekerja
112 Angin Malam
113 Niat
114 Berdua
115 Pulang
116 Janji.
117 Mengulang Masa Lalu
118 Anak Dan Ayah
119 Tes
120 Ayah, Ibu.
Episodes

Updated 120 Episodes

1
Bolos yuk!
2
Tawaran Pak Joni
3
Berbicara dengan Desi
4
Seutas berita dari divisi sebelah
5
Radit bimbang
6
Konyolnya Adit
7
mengantarkan makanan
8
Saling menghargai
9
Menerima tawaran
10
Makan bertiga
11
Liburan keluarga
12
melihat kepergian
13
Hari liburan
14
Kania sakit
15
Baru tahu Kania sakit
16
Desi datang
17
Radit menjenguk Kania
18
Nasihat Ayah
19
Bertemu lelaki asing
20
karyawan baru
21
Rangga
22
wanita baru
23
Jangan resah soal jodoh
24
nonton bersama
25
Gendis
26
memenuhi keinginan Gendis
27
Kania jujur
28
Segelas teh manis misterius
29
Ada yang janggal dari Rangga
30
Gamis hijau
31
Tentang Rangga
32
Radit bersama Gendis
33
Radit pulang
34
Adit merajuk
35
Siapa Rangga?
36
Rangga kesal
37
Jalan bersama
38
Bertemu Rangga
39
debat
40
Memasak nasi goreng
41
Jangan bayar pakai uang
42
Terciduk Pak Gani
43
Rangga geram
44
Dua bola mata
45
Kania dipanggil Pak Gani
46
Jatuh cinta pandangan pertama
47
Rendang
48
Kedatangan Pak Kemal
49
Makan bersama dengan tim
50
Datanglah ke rumah
51
Keputusan Kania cepat
52
Radit gelisah
53
Masa lalu Gendis
54
Kania membuat resah orang tua
55
Rangga menunggu
56
Kania ke klinik perusahaan
57
meeting
58
Soal keturunan
59
Jawaban Radit
60
Tak sengaja
61
Mendapatkan izin
62
Radit pulang
63
Malam sebelum lamaran
64
Tamu tiba
65
Niat yang sama
66
Keputusan Kania
67
Radit dan Kania
68
Kania datang ke butik
69
Kedatangan Radit
70
Kembali ke rutinitas
71
Satu ruangan
72
Berdebat lagi
73
Jangan mundur
74
Membeli cincin pernikahan
75
Hujan
76
Nasi goreng
77
Adit mengkhawatirkan Kania
78
Hari tiba
79
Radit memberi salam
80
Malam pertama
81
Tendangan maut
82
Mengikat dasi
83
Makan siang
84
Cup kopi.
85
Rangga pergi duluan
86
Kabar baik
87
Kotak susu
88
Pengangkatan Rangga
89
Dia datang
90
Menemui Rangga
91
Selamat bergabung
92
Kenapa tidak resign?
93
Salah atau tidak?
94
Lebih sulit mengikhlaskan.
95
Perintah Rangga
96
Dua paket ayam.
97
Sewa rumah
98
Terima kasih
99
Ridho Rangga.
100
Menangis.
101
Pulang
102
Jangan ikut campur.
103
Cerita Rangga.
104
Saksi.
105
hapal ruangan.
106
Rangga khawatir.
107
UKS
108
Jangan khawatir.
109
Menginap
110
Jawaban
111
Pergi Bekerja
112
Angin Malam
113
Niat
114
Berdua
115
Pulang
116
Janji.
117
Mengulang Masa Lalu
118
Anak Dan Ayah
119
Tes
120
Ayah, Ibu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!