Kania sakit

Selama ditinggal libur akhir pekan oleh Kania, Radit sendiri lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Lelaki itu jarang sekali keluar tanpa alasan.

Hari Senin pun tiba, waktu di mana ia akan segera berangkat ke Bandung. Sebelum itu, ia harus menyelesaikan dahulu sisa pekerjaannya di sini.

Pagi hari seperti biasa Radit sarapan di rumah, lalu berangkat ke kantor dengan mobilnya. Sejak kejadian kemarin, ia sama sekali tidak pernah menghubungi Kania. Gadis itu pun melakukan hal demikian. Mungkin dengan mengurangi komunikasi di antara keduanya bisa sedikit tidak terlalu menyakitkan saat berpisah.

Radit sampai di kantor. Ia langsung disambut Desi yang ternyata sudah menunggunya di sana. 

"Dit." Desi melambaikan tangan ke arah Radit yang berjalan ke deka pintu utama.

Radit berjalan lebih cepat dengan tas jinjing yang selalu dibawanya. "Ada apa?" Lelaki itu bertanya langsung ketika sudah berada di depan Desi.

"Kamu enggak bareng sama Kania?" tanya Desi.

"Enggak. Emang kenapa?"

"Aku jadi khawatir." Raut wajah Desi terlihat tidak sedang baik-baik saja.

Radit heran. "Ada masalah sama dia?" 

Mendengar itu wajah Desi seketika terkejut. Biasanya, jika terjadi hal kecil sekali pun pada Kania, Raditlah yang pertama tau.

Mereka berdiri di samping pintu masuk. Banyak karyawan yang menyapa keduanya di sela-sela kesibukan pembicaraan mereka.

"Kamu enggak tau?" Desi begitu kaget.

"Tau apa?" Radit semakin bingung.

"Astagfirullah, Dit." Desi menggelengkan kepala. Entah apa yang terjadi pada keduanya. Yang jelas, ini tidak seperti biasa. "Kania sakit dari pulang liburan, katanya."

Radit terkejut. Pasalnya, ia belum melihat sosok perempuan itu. Hanya terdengar mobil Kania saja yang baru pulang tadi malam. 

"Dia sebenarnya berangkat itu kurang enak badan. Eh, taunya pas mau pulang malah drop. Jadi, hari ini ambil cuti," jelas Desi.

"Yang bener?" tanya Radit tak percaya.

Desi mengangguk cepat. "Ya." Gadis itu menatap Radit lekat. "Kamu beneran enggak tau?"

Lagi-lagi Radit berkata 'ya' sebab, memang benar adanya. Kania pun tidak mengabari tentang keadaannya sekarang.

"Aku cuti juga," kata Radit.

"Eh, jangan, Dit!" Secepat mungkin Desi menghadang.

"Kania sakit."

"Kamu itu mau berangkat. Harus beres hari ini sisa pekerjaaan," ingat Desi.

Radit mengela nafas. Ia tak ingat ke arah sana. Rasanya ingin sekali memutar waktu lebih cepat dan segera pulang.

"Nanti sore kita sama-sama ke rumah Kania. Kamu selesaikan dulu pekerjaan, takutnya Pak Joni enggak percaya sama kamu lagi," ujar Desi.

Radit paham. Dengan sangat terpaksa lelaki itu pun melangkah masuk ke area kantor. Hari ini ia akan bekerja sangat keras agar pekerjaannya bisa selesai tepat waktu.

Cici mengikuti jejak Radit dari belakang, lalu menyejajarkan langkahnya dengan lelaki itu.

"Kamu lagi ada masalah, ya, sama Kania?" tanya Desi tanpa sungkan.

Radit diam. Ia tersenyum ketika seseorang menyapanya dengan lembut.

Desi terus membuntuti. Mungkin lebih tepatnya berjalan di samping lelaki itu, hingga mereka berdiri di dekat lift dengan karyawan lainnya.

"Kalian enggak lagi marahan, kan?" Desi bertanya lagi.

Dua karyawati di samping mereka menatap lekat. Desi acuh. Begitu pun dengan Radit yang lebih acuh.

"Enggak. Kita baik-baik aja," sangkal Radit. Padahal ia sama sekali tidak berkomunikasi sejak hari terakhir bertemu.

Kening Desi mengerut. Sedikit kurang percaya. Namun, mengingat saat ini jam kerja, ia bisa menahan diri untuk bertanya lebih lanjut.

Lift terbuka, semua karyawan masuk ke sana. Ada yang pergi ke lantai dua, tiga, bahkan enam tergantung di mana tempat kerja masing-masing.

***

"Makanya, kalau kerja jangan keterlaluan,, Kak," ujar Adit sembari membawa teh hangat ke kamar kakaknya. 

Hari ini anak remaja itu tidak masuk sekolah dengan alasan masih lelah. Untung saja hari ini pun semua gurunya rapat, sehingga sekolah diliburkan.

Kania yang terbaring lemas di ranjang pun tidak mempedulikan kata-kata Adit. Menutup kuping adalah jalan ninja terbaik agar bisa terhindar dari omelan sang Adik.

"Tiap sakit, ngerepotin orang aja!" keluh Adit yang kini sudah berdiri di depan Kania. "Kak, ayo, bangun. Minum teh-nya dulu."

Kania malas. Apalagi jika harus berdebat dengan Adit. Padahal mereka hanya dua bersaudara, tetapi sering sekali berantem. Penyebabnya tentu Adit yang sering meledek Kania. 

"Kakak, mau tidur. Kamu mending keluar aja," usir Kania dengan nada rendah.

Adit tidak mendengar. Ia tetap berdiri. "Ayo, bangun. Minum dulu tehnya."

"Mata Kakak, sepet."

"Paksain."

"Aduh, nih, anak!" Kania berusaha sabar. Akan tetapi, sulit. Sebab, Adit terus saja memancing emosinya keluar.

Pada akhirnya Kania pun bangun. Adit bergerak duduk di tepi ranjang. Mengambil segelas teh hangat dan menyodorkannya pada Kania. "Kalau diam aja, nanti Kakak tambah sakit."

Kadangkala Adit memang bersikap menyebalkan. Namun, ada fase di mana anak lelaki itu menjelma menjadi sosok penjaga bagi kakaknya.

Kania mengambil alih gelas tersebut. Teh hangat itu meluncur bebas dari mulut ke dalam tubuh melewati tenggorokan. Perutnya terasa hangat dan tidak mual lagi.

"Kakak, kayak orang hamil aja. Muntah terus." Adit tertawa kecil.

"Astagfirullah, Dek, kalau ngomong dijaga. Mana mungkin Kakak, hamil!' tegur Kania.

Adit mengambil kembali gelas berisi teh tersebut. "Ya, maaf, Kak. Habisnya dari pulang, Kakak muntah terus." Suara anak itu terdengar penuh kekhawatiran.

Kania tak marah. Ia merasakan ada sedikit penyampaian kasih sayang lewat perhatian kecil yang terbungkus tidak selembut orang lain. "Kakak, itu cuma masuk angin aja. Maklum, pas Jumat sore itu pulang kerja langsung berangkat. Wajar kalau sekarang drop."

Adit menatap Kania dalam. Sorot matanya mengisyaratkan kesedihan, walau semampu mungkin disembunyikan oleh anak lelaki itu. "Jangan sakit."

Kania terharu. Kalimat itu pendek, tetapi dipenuhi dengan rasa cinta. 

"Kalau Kakak sakit, enggak kerja. Uang jajanku berkurang," tambah Adit.

 Bukan Adit namanya jika tidak diiringi dengan candaan. Tawanya begitu kencang seolah tidak ada beban. Sejahil apa pun ucapan dan tingkah lakunya, dalam lubuk hati paling dalam. Adit tetap menyayangi Kania layaknya seorang Kakak.

Kania tak kaget lagi. Itu adalah sifat asli adik lelakinya tersebut. Oleh karena itu, Kania berusaha untuk menahan diri agar tidak terpancing emosi lebih dalam.

"Makan buburnya juga." Adit mengambil mangkuk di meja kecil setelah menyimpan lebih dahulu gelas. "Kalau enggak makan, mana bisa sembuh."

"Kesembuhan itu datangnya dari Allah," jawab Kania.

"Ya, memang. Tapi, kita manusia diwajibkan juga ikhtiar." Adit mengaduk bubur di mangkuk. Orang yang paling khawatir saat Kania sakit adalah dirinya. Itulah mengapa Kania tidak pernah marah sejahil apa pun Adit.

"Karena enggak punya ayang, jadi makannya aku suapin dulu aja, ya, Kak," imbuh Adit sembari tertawa kecil meledek Kania.

Kania diam. Tubuhnya sedang tidak bisa diajak bekerja sama untuk melawan apa pun kejahilan Adit. Ia hanya ingin cepat sembuh dan bekerja.

Terpopuler

Comments

Siti Jufrah

Siti Jufrah

adit perhatian tapi...... ada gengsinya
😁😁😁👍👍

2022-10-07

0

Tatiastarie

Tatiastarie

ayo kania ceoat sehat, bicara langsung sama Radyt kalo kamu sayang... jaman sekarang gpp cewe mengungkapkan isi hati yg sebenarnya..

2022-10-02

3

lihat semua
Episodes
1 Bolos yuk!
2 Tawaran Pak Joni
3 Berbicara dengan Desi
4 Seutas berita dari divisi sebelah
5 Radit bimbang
6 Konyolnya Adit
7 mengantarkan makanan
8 Saling menghargai
9 Menerima tawaran
10 Makan bertiga
11 Liburan keluarga
12 melihat kepergian
13 Hari liburan
14 Kania sakit
15 Baru tahu Kania sakit
16 Desi datang
17 Radit menjenguk Kania
18 Nasihat Ayah
19 Bertemu lelaki asing
20 karyawan baru
21 Rangga
22 wanita baru
23 Jangan resah soal jodoh
24 nonton bersama
25 Gendis
26 memenuhi keinginan Gendis
27 Kania jujur
28 Segelas teh manis misterius
29 Ada yang janggal dari Rangga
30 Gamis hijau
31 Tentang Rangga
32 Radit bersama Gendis
33 Radit pulang
34 Adit merajuk
35 Siapa Rangga?
36 Rangga kesal
37 Jalan bersama
38 Bertemu Rangga
39 debat
40 Memasak nasi goreng
41 Jangan bayar pakai uang
42 Terciduk Pak Gani
43 Rangga geram
44 Dua bola mata
45 Kania dipanggil Pak Gani
46 Jatuh cinta pandangan pertama
47 Rendang
48 Kedatangan Pak Kemal
49 Makan bersama dengan tim
50 Datanglah ke rumah
51 Keputusan Kania cepat
52 Radit gelisah
53 Masa lalu Gendis
54 Kania membuat resah orang tua
55 Rangga menunggu
56 Kania ke klinik perusahaan
57 meeting
58 Soal keturunan
59 Jawaban Radit
60 Tak sengaja
61 Mendapatkan izin
62 Radit pulang
63 Malam sebelum lamaran
64 Tamu tiba
65 Niat yang sama
66 Keputusan Kania
67 Radit dan Kania
68 Kania datang ke butik
69 Kedatangan Radit
70 Kembali ke rutinitas
71 Satu ruangan
72 Berdebat lagi
73 Jangan mundur
74 Membeli cincin pernikahan
75 Hujan
76 Nasi goreng
77 Adit mengkhawatirkan Kania
78 Hari tiba
79 Radit memberi salam
80 Malam pertama
81 Tendangan maut
82 Mengikat dasi
83 Makan siang
84 Cup kopi.
85 Rangga pergi duluan
86 Kabar baik
87 Kotak susu
88 Pengangkatan Rangga
89 Dia datang
90 Menemui Rangga
91 Selamat bergabung
92 Kenapa tidak resign?
93 Salah atau tidak?
94 Lebih sulit mengikhlaskan.
95 Perintah Rangga
96 Dua paket ayam.
97 Sewa rumah
98 Terima kasih
99 Ridho Rangga.
100 Menangis.
101 Pulang
102 Jangan ikut campur.
103 Cerita Rangga.
104 Saksi.
105 hapal ruangan.
106 Rangga khawatir.
107 UKS
108 Jangan khawatir.
109 Menginap
110 Jawaban
111 Pergi Bekerja
112 Angin Malam
113 Niat
114 Berdua
115 Pulang
116 Janji.
117 Mengulang Masa Lalu
118 Anak Dan Ayah
119 Tes
120 Ayah, Ibu.
Episodes

Updated 120 Episodes

1
Bolos yuk!
2
Tawaran Pak Joni
3
Berbicara dengan Desi
4
Seutas berita dari divisi sebelah
5
Radit bimbang
6
Konyolnya Adit
7
mengantarkan makanan
8
Saling menghargai
9
Menerima tawaran
10
Makan bertiga
11
Liburan keluarga
12
melihat kepergian
13
Hari liburan
14
Kania sakit
15
Baru tahu Kania sakit
16
Desi datang
17
Radit menjenguk Kania
18
Nasihat Ayah
19
Bertemu lelaki asing
20
karyawan baru
21
Rangga
22
wanita baru
23
Jangan resah soal jodoh
24
nonton bersama
25
Gendis
26
memenuhi keinginan Gendis
27
Kania jujur
28
Segelas teh manis misterius
29
Ada yang janggal dari Rangga
30
Gamis hijau
31
Tentang Rangga
32
Radit bersama Gendis
33
Radit pulang
34
Adit merajuk
35
Siapa Rangga?
36
Rangga kesal
37
Jalan bersama
38
Bertemu Rangga
39
debat
40
Memasak nasi goreng
41
Jangan bayar pakai uang
42
Terciduk Pak Gani
43
Rangga geram
44
Dua bola mata
45
Kania dipanggil Pak Gani
46
Jatuh cinta pandangan pertama
47
Rendang
48
Kedatangan Pak Kemal
49
Makan bersama dengan tim
50
Datanglah ke rumah
51
Keputusan Kania cepat
52
Radit gelisah
53
Masa lalu Gendis
54
Kania membuat resah orang tua
55
Rangga menunggu
56
Kania ke klinik perusahaan
57
meeting
58
Soal keturunan
59
Jawaban Radit
60
Tak sengaja
61
Mendapatkan izin
62
Radit pulang
63
Malam sebelum lamaran
64
Tamu tiba
65
Niat yang sama
66
Keputusan Kania
67
Radit dan Kania
68
Kania datang ke butik
69
Kedatangan Radit
70
Kembali ke rutinitas
71
Satu ruangan
72
Berdebat lagi
73
Jangan mundur
74
Membeli cincin pernikahan
75
Hujan
76
Nasi goreng
77
Adit mengkhawatirkan Kania
78
Hari tiba
79
Radit memberi salam
80
Malam pertama
81
Tendangan maut
82
Mengikat dasi
83
Makan siang
84
Cup kopi.
85
Rangga pergi duluan
86
Kabar baik
87
Kotak susu
88
Pengangkatan Rangga
89
Dia datang
90
Menemui Rangga
91
Selamat bergabung
92
Kenapa tidak resign?
93
Salah atau tidak?
94
Lebih sulit mengikhlaskan.
95
Perintah Rangga
96
Dua paket ayam.
97
Sewa rumah
98
Terima kasih
99
Ridho Rangga.
100
Menangis.
101
Pulang
102
Jangan ikut campur.
103
Cerita Rangga.
104
Saksi.
105
hapal ruangan.
106
Rangga khawatir.
107
UKS
108
Jangan khawatir.
109
Menginap
110
Jawaban
111
Pergi Bekerja
112
Angin Malam
113
Niat
114
Berdua
115
Pulang
116
Janji.
117
Mengulang Masa Lalu
118
Anak Dan Ayah
119
Tes
120
Ayah, Ibu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!