Hari liburan

Suasana segar dan sejuk di Bandung membuat Kania tidak ingin bangun. Enak rasanya bermanja-manja di atas kasur. Menikmati kenyenyakan yang tengah melanda dirinya.

"Kak, bangun." Suara Adit memaksa Kania untuk membuka mata. Anak remaja itu sudah ada di kamar kakak perempuannya. "Kak, bangun!" Suaranya semakin kencang, hingga membuat Kania seketika terbangun.

"Anak gadis susah bangunnya!" gerutu Adit.

Kania membuka mata lebar-lebar, lalu memfokuskan pandangan ke arah Adit. "Kamu ini apa-apaan, sih, Dek?" Sebuah bantal melayang ke wajah Adit. "Selalu ganggu aja!"

Bantal itu mengenai wajah Adit. "Dibangunin malam marah!' Ia tak kalah kesal.

"Kakak, kan, pengen istirahat, Dek. Cape."

"Ini udah jam tujuh, Kak. Emangnya Kakak, enggak sholat? Ya Allah, istigfar, kak." Adit menggelengkan kepala dua kali. "Seharusnya Kakak, itu jadi contoh yang baik buat Adit."

Kania berbaring lagi. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Kedatangan Adit hanya merusak moodnya saja.

"Astagfirullah, malah tidur lagi. Kakak, bangun!" Adit menarik selimut milik Kania agar kakaknya itu bisa bangun.

Terpaksa Kania kembali bangun. Wajahnya kesal. "Apalagi, sih, Dek?"

"Kakak, enggak sholat?" Layaknya seorang Ayah pada anaknya, tingginya suara Adit bisa digambarkan seperti itu. "Nggak baik ninggalin kewajiban kita sebagai muslim."

Kania lelah. Ia menghela nafas kasar. "Dek, Kakak, lagi cuti."

Kening Adit mengerut. "Cuti?"

Kania mengangguk cepat. "Iya."

"Kapan sholat bisa cuti?"

Sontak kedua mata Kania membulat sempurna. "Kamu enggak paham soal begini?"

Adit berpikir sejenak, lalu teringat sesuatu. "Oh, lagi ada tamu?"

"Nah, itu." Akhirnya Kania tidak perlu repot-repot menjelaskan. Ia menarik kembali selimut. Hari ini mungkin bermalas-malasan adalah agendanya. Tak apa, hanya hari ini saja. Sebab, ia merasa kurang enak badan.

"Tapi, jangan tidur lagi juga. Kata Bunda, anak gadis itu harus bangun pagi kalau enggak mau jodohnya diambil orang," kata Adit.

"Di mana ada jodoh diambil orang, Dek?" tanya Kania.

"Ya, bisa aja."

Mendengar itu rasa kantuk Kania hilang seketika. Ia memilih bangun dari tempat tidur dan berdiri. "Kalau yang namanya jodoh, enggak bakal diambil orang."

Adit mendengarkan dengan cermat.

"Kita itu sudah ditentukan sama Allah bakal berpasangan sama siapa. Kalaupun nanti ketemu orang yang belum tepat, itu bisa saja salah satu proses untuk menuju perjumpaan dengan jodoh kita," sambung Kania.

Adit duduk di tepi ranjang. Ia mengamati sang Kakak menyisir rambutnya yang panjang. Setiap helaian itu tidak pernah terlihat oleh lelaki lain selain di hadapan keluarga inti. Adit turut berbangga diri dengan ketaatan kakaknya.

"Kak, aku boleh tanya sesuatu enggak?" Mendadak nada bicara Adit lembut. Biasanya, jika seperti ini anak lelaki itu punya keinginan. Bisa apa saja.

Kania menguncir rambut. Menoleh ke Adit, lalu berkata, "Soal apa?"

Wajah Adit begitu serius. Ini pertama kalinya Kania menyaksikan.

"Kakak, beneran enggak suka sama Kak Radit?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari Adit seakan tak ada beban.

Kania tersentak. 

"Jujur aja, Kak. Aku enggak bakal bocor, kok." Mendadak Adit menjadi bijak. 

Kania mengamati wajah adik lelakinya, lalu bergerak untuk duduk di samping Adit. "Kenapa kamu nanyain itu?"

"Ya, pengen tau aja." 

"Cuma itu?"

"Ya."

Kania diam. Dari wajah serius Adit, ia bisa melihat hal yang tak biasanya. Sepertinya sang adik benar-benar dalam fase serius.

"Kakak, jangan bohong. Kata Bunda sama Papa, kita enggak boleh bohong." Sebelum menjawab, Adit lebih dahulu memberi somasi agar Kania tak berbohong.

Kania bingung. Ia bukan tidak percaya pada Adit, hanya saja ini masalah hati. Terlebih Adit itu masih remaja, ia belum bisa menyaring apa pun yang masuk ke pikirannya.

"Bukannya kamu mau ke kebun sama Papa, ya? Udah keluar sana," jawab Kania mencoba mengalihkan pembicaraan.

Adit diam. Namun, pandangannya tajam ke arah Kania. 

"Nanti Papa nungguin," ujar Kania lagi.

"Jawab dulu, Kak!" tegas Adit.

Adit marah. Kania belum pernah melihat adik lelakinya seperti ini.

"Kata Bunda, kalau kita ditanya selalu usahakan jawab!" sambung Adit.

Kania mengalah. Ia menatap langit-langit kamar. Mungkin berbagi cerita dengan Adit, tidak masalah.

"Gimana, ya." Kania bimbang.

"Bilang aja yang jujur," ujar Adit tak sabar.

Sekejap Kania memejamkan mata, menyiapkan diri untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kata Kakak, wajar suka sama orang asalkan enggak jalin hubungan yang melanggar aturan Allah. Jadi, kalau Kakak emang suka, kenapa enggak bilang?" tanya Adit.

"Teorinya gampang, tapi praktiknya itu susah," jawab Kania yang mulai terbuka.

Adit hanya diam, membiarkan sang Kakak meluapkan isi hati.

"Ya, emang bener Kakak, suka sama Radit. Tapi … sebagai perempuan, rasanya malu buat memulai sesuatu. Apalagi Papa itu ngejaga banget anak-anaknya. Makanya, Kakak cuma bisa ngadu sama Allah," ungkap Kania.

Adit mencoba mencerna setiap kata-kata yang didengar daun telinganya. Berusaha mencari kesimpulan dari perkataan Kania. "Kenapa Kakak, enggak bilang aja. Kali aja Kak Radit juga sama, terus lamar Kakak. Gampang, kan?"

Kania terkekeh geli. Dunia orang dewasa itu tidak semudah perkiraan Adit. Mereka lebih rumit dari anak-anak.

"Kenapa ketawa, Kak?" tanya Adit heran.

Kania mengela nafas, menatap Adit lekat. "Dek, enggak semua urusan bisa segampang itu. Kita kadang harus tau siatuasi, dan kondisi keduanya. Ada fase di mana kita juga harus mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil langkah." 

Adit diam.

Kania meraih tangan kanan Adit, berusaha berkomunikasi dengan lembut pada adiknya. "Dek, jangan khawatir soal itu. Kakak, bisa ngadepin sendiri perasaan ini. Percaya, kita ini manusia biasa yang dirancang bisa merasakan cinta dan lainnya. Tapi, kita juga dilengkapi dengan otak yang berfungsi untuk mengatur."

Adit mengangguk, paham. "Ya, Kak."

"Nah, sekarang mending kita turun ke bawah. Perut Kakak, lapar." Kania menyentuh perutnya yang terbalut piyama biru muda. "Bunda, enggak masak, ya?"

"Masak. Malahan Adit bantuin. Kakak doang yang belum bangun!"

Kania tertawa kecil sembari bangkit dari tempat duduknya. "Kakak, capek. Seluruh badan rasanya remuk."

Adit mengikuti jejek Kania. "Makanya, jangan kebanyakan mikirin Kak Radit. Jadinya kan begadang." Adit kembali ke fase menyebalkan. Anak lelaki itu pun menjulurkan lidahnya, meledek Kania.

"Adit!" Kania geram. Ia hendak mencubit sang Adik, tetapi Adit lebih dahulu bertindak dengan berlari keluar kamar.

"Bun, Kakak, galak!" teriaknya kencang.

Kesabaran Kania selalu diuji dengan kelakuan Adit. Namun, ia pun tidak pernah marah lama. Sebab, kasih sayang seorang Kakak itu begitu hebat. Sehingga, hampir setara dengan orang tua pada anak.

"Kalau bukan Adik, aku bejek itu anak!" Kania mengelus dadanya dua kali. Ia harus terus bersikap sabar selama menghadapi Adit. "Istigfar, Nia."

Episodes
1 Bolos yuk!
2 Tawaran Pak Joni
3 Berbicara dengan Desi
4 Seutas berita dari divisi sebelah
5 Radit bimbang
6 Konyolnya Adit
7 mengantarkan makanan
8 Saling menghargai
9 Menerima tawaran
10 Makan bertiga
11 Liburan keluarga
12 melihat kepergian
13 Hari liburan
14 Kania sakit
15 Baru tahu Kania sakit
16 Desi datang
17 Radit menjenguk Kania
18 Nasihat Ayah
19 Bertemu lelaki asing
20 karyawan baru
21 Rangga
22 wanita baru
23 Jangan resah soal jodoh
24 nonton bersama
25 Gendis
26 memenuhi keinginan Gendis
27 Kania jujur
28 Segelas teh manis misterius
29 Ada yang janggal dari Rangga
30 Gamis hijau
31 Tentang Rangga
32 Radit bersama Gendis
33 Radit pulang
34 Adit merajuk
35 Siapa Rangga?
36 Rangga kesal
37 Jalan bersama
38 Bertemu Rangga
39 debat
40 Memasak nasi goreng
41 Jangan bayar pakai uang
42 Terciduk Pak Gani
43 Rangga geram
44 Dua bola mata
45 Kania dipanggil Pak Gani
46 Jatuh cinta pandangan pertama
47 Rendang
48 Kedatangan Pak Kemal
49 Makan bersama dengan tim
50 Datanglah ke rumah
51 Keputusan Kania cepat
52 Radit gelisah
53 Masa lalu Gendis
54 Kania membuat resah orang tua
55 Rangga menunggu
56 Kania ke klinik perusahaan
57 meeting
58 Soal keturunan
59 Jawaban Radit
60 Tak sengaja
61 Mendapatkan izin
62 Radit pulang
63 Malam sebelum lamaran
64 Tamu tiba
65 Niat yang sama
66 Keputusan Kania
67 Radit dan Kania
68 Kania datang ke butik
69 Kedatangan Radit
70 Kembali ke rutinitas
71 Satu ruangan
72 Berdebat lagi
73 Jangan mundur
74 Membeli cincin pernikahan
75 Hujan
76 Nasi goreng
77 Adit mengkhawatirkan Kania
78 Hari tiba
79 Radit memberi salam
80 Malam pertama
81 Tendangan maut
82 Mengikat dasi
83 Makan siang
84 Cup kopi.
85 Rangga pergi duluan
86 Kabar baik
87 Kotak susu
88 Pengangkatan Rangga
89 Dia datang
90 Menemui Rangga
91 Selamat bergabung
92 Kenapa tidak resign?
93 Salah atau tidak?
94 Lebih sulit mengikhlaskan.
95 Perintah Rangga
96 Dua paket ayam.
97 Sewa rumah
98 Terima kasih
99 Ridho Rangga.
100 Menangis.
101 Pulang
102 Jangan ikut campur.
103 Cerita Rangga.
104 Saksi.
105 hapal ruangan.
106 Rangga khawatir.
107 UKS
108 Jangan khawatir.
109 Menginap
110 Jawaban
111 Pergi Bekerja
112 Angin Malam
113 Niat
114 Berdua
115 Pulang
116 Janji.
117 Mengulang Masa Lalu
118 Anak Dan Ayah
119 Tes
120 Ayah, Ibu.
Episodes

Updated 120 Episodes

1
Bolos yuk!
2
Tawaran Pak Joni
3
Berbicara dengan Desi
4
Seutas berita dari divisi sebelah
5
Radit bimbang
6
Konyolnya Adit
7
mengantarkan makanan
8
Saling menghargai
9
Menerima tawaran
10
Makan bertiga
11
Liburan keluarga
12
melihat kepergian
13
Hari liburan
14
Kania sakit
15
Baru tahu Kania sakit
16
Desi datang
17
Radit menjenguk Kania
18
Nasihat Ayah
19
Bertemu lelaki asing
20
karyawan baru
21
Rangga
22
wanita baru
23
Jangan resah soal jodoh
24
nonton bersama
25
Gendis
26
memenuhi keinginan Gendis
27
Kania jujur
28
Segelas teh manis misterius
29
Ada yang janggal dari Rangga
30
Gamis hijau
31
Tentang Rangga
32
Radit bersama Gendis
33
Radit pulang
34
Adit merajuk
35
Siapa Rangga?
36
Rangga kesal
37
Jalan bersama
38
Bertemu Rangga
39
debat
40
Memasak nasi goreng
41
Jangan bayar pakai uang
42
Terciduk Pak Gani
43
Rangga geram
44
Dua bola mata
45
Kania dipanggil Pak Gani
46
Jatuh cinta pandangan pertama
47
Rendang
48
Kedatangan Pak Kemal
49
Makan bersama dengan tim
50
Datanglah ke rumah
51
Keputusan Kania cepat
52
Radit gelisah
53
Masa lalu Gendis
54
Kania membuat resah orang tua
55
Rangga menunggu
56
Kania ke klinik perusahaan
57
meeting
58
Soal keturunan
59
Jawaban Radit
60
Tak sengaja
61
Mendapatkan izin
62
Radit pulang
63
Malam sebelum lamaran
64
Tamu tiba
65
Niat yang sama
66
Keputusan Kania
67
Radit dan Kania
68
Kania datang ke butik
69
Kedatangan Radit
70
Kembali ke rutinitas
71
Satu ruangan
72
Berdebat lagi
73
Jangan mundur
74
Membeli cincin pernikahan
75
Hujan
76
Nasi goreng
77
Adit mengkhawatirkan Kania
78
Hari tiba
79
Radit memberi salam
80
Malam pertama
81
Tendangan maut
82
Mengikat dasi
83
Makan siang
84
Cup kopi.
85
Rangga pergi duluan
86
Kabar baik
87
Kotak susu
88
Pengangkatan Rangga
89
Dia datang
90
Menemui Rangga
91
Selamat bergabung
92
Kenapa tidak resign?
93
Salah atau tidak?
94
Lebih sulit mengikhlaskan.
95
Perintah Rangga
96
Dua paket ayam.
97
Sewa rumah
98
Terima kasih
99
Ridho Rangga.
100
Menangis.
101
Pulang
102
Jangan ikut campur.
103
Cerita Rangga.
104
Saksi.
105
hapal ruangan.
106
Rangga khawatir.
107
UKS
108
Jangan khawatir.
109
Menginap
110
Jawaban
111
Pergi Bekerja
112
Angin Malam
113
Niat
114
Berdua
115
Pulang
116
Janji.
117
Mengulang Masa Lalu
118
Anak Dan Ayah
119
Tes
120
Ayah, Ibu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!