Tepat di hari Jumat sore, keluarga Kania berangkat ke Bandung. Kamila harus menikmati liburan kali ini, walaupun dadanya sesak karena akan berpisah dengan Radit.
Lelaki itu memang berangkat setelah weekend. Kira-kira di hari Selasa. Sebab, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan di sini. Setidaknya, Kania masih memiliki waktu sehari lagi untuk mengatakan apa yang ada dalam hati.
Setelah berpikir lebih jauh, ia memang sudah seharusnya mengatakan ini pada Radit. Biarlah semua terungkap agar hatinya tetap tenang.
"Kak, ngelamun aja!" Suara Adit berhasil mengalihkan pikiran Kania. Saat ini mereka berada di mobil. Perjalanan baru saja dimulai beberapa menit yang lalu.
"Apa, sih, Dek?" Kania kesal. Kali ini dirinya berperan sebagai penumpang. Sebab, yang mengemudi adalah ayahnya sendiri. "Kakak, lagi cape."
"Dari tadi ngelamun mulu. Pasti lagi mikirin Kak Radit, ya?"
Kania mengembuskan napas kasar. Adit memancing rasa kesal keluar dari tubuhnya. Akan tetapi, ia harus tetap santai. "Siapa yang mikirin Radit, Dek. Kakak, cuma lagi capek aja."
"Itu mata Kakak enggak bisa bohong."
Kania melongo. "Mata Kakak biasa aja."
"Aku bisa baca perasaan orang dari matanya aja, Kak."
Kania terkekeh geli sembari menegakkan posisi duduknya. "Kamu ini di sekolah belajar apa, sih, Dek?"
"Ya, banyak, Kak." Adit jadi teringat akan pelajaran matematika yang tadi dilaluinya dengan penuh kepusingan. "Matematika. Itu tuh salah satu mata pelajaran paling sulit."
"Itu mah kamunya aja yang malas belajar. Kakak, biasa aja." Kania tersenyum kecil.
"Jangan banding-bandingin. Enggak baik!" Kedua tangan Adit membentuk tanda panah di dekat dada. "Emangnya Kakak, mau dibandingin sama temannya. Hayoh!"
Kania mengucapkan kalimat istigfar dua kali. "Astagfirullah, maaf, Dek."
"Enggak mau, ah. Harus kasih hadiah, baru dimaafin." Adit merajuk.
Kening Kania mengerut. "Kebiasaan. Kalau apa-apa mintanya hadiah."
"Ya, kalau mintanya jodoh bukan ke Kakak, tapi ke Allah!" Dengan cepat Adit menjawab seraya tertawa kecil.
"Kamu ini, Dek. Makin gede bukannya makin dewasa, malah makin ngeselin."
Adit kembali pokus pada ponsel. Ia tengah jeda sejenak dari permainan kesukaannya.
Bu Lala menoleh ke jok belakang. Menggelengkan kepala dua kali, heran. "Adit, jangan usil. Kasian Kakakmu."
Kania menyandarkan lagi punggung di sandaran kursi. Pandangannya kembali melihat jalanan dari jendela. Suasana gelap juga ramainya kendaraan menjadi tontonannya detik ini. Namun, hatinya tetap sepi.
"Nia, kamu kenapa?" tanya Bu Lala.
Kania menggerakkan kepala menengok ke arah ibunya. Mengulur senyum semanis madu. "Enggak, Bu. Aku cuma ngantuk, tapi enggak bisa tidur karena Adit dari tadi ganggu terus."
Adit yang tak terima pun protes. "Kakak, fitnah! Orang dari tadi aku main game." Anak remaja itu menjulurkan lidahnya pada Kania. "Bohong, dosa, lho."
Pak Kemal tak ingin ikut campur. Ia memilih pokus pada jalanan agar semuanya terkendali dengan baik.
"Jangan berantem. Kalian ini saudara," nasihat Bu Lala.
Adit mengakhiri kegiatannya. Menyimpan benda canggih itu ke tas kecil. "Aku tuh, Bu, lagi main. Tapi, aku perhatiin dari tadi Kakak ngelamun aja. Mungkin karena pisah sama Kak Radit."
Kania sontak menjewer telinga kanan Adit. "Kamu ini masih kecil, tapi udah sok tau!"
"Aduh, Kak, sakit." Adit meringis kesakitan.
Bu Lala menyerah. Ia kembali mengarahkan pandangan ke depan. Pak Kemal tersenyum sembari melirik istrinya. "Biairin aja, Bu. Nanti juga akur sendiri."
Itu memang benar. Adit dan Kania sering bertengkar, tetapi pada akhirnya mereka tetap saling menyapa karena ikatan saudara tetaplah tidak bisa dipisahkan.
"Kakak, suka, ya, sama Kak Radit?" tanya Adit dengan gampangnya.
Sontak kedua mata Kania membulat sempurna, sedangkan Ibu dan Ayah mereka cukup menyimak saja.
"Ayo, ngaku!" desak Adit dengan tatapan sulit diartikan. "Nanti biar aku yang kasih tau aja. Tenang, sekarang perempuan juga banyak yang nembak duluan."
Kania menggelengkan kepala. Ikut heran seperti ibunya. Tangan kanannya mengulur, lalu menyentuh kening Adit. "Kamu enggak panas, tapi ngomongmu ngawur mulu."
Adit dengan cepat mengempaskan tangan kanan kakaknya. "Aku enggak ngawur. Emang keliatan jelas!"
"Enggak ada suka-sukaan! Dan, enggak ada nembak-nembakan!" tegas Kania.
"Kalau pacaran?" Alis kanan Adit naik turun. "Kakak, mau, kan?'
"Astagfirullah, Dek." Kania kian dibuat heran. Kelakuan adiknya menjadi-jadi. "Kamu ini belajar dari mana, sih, soal pacaran?"
Adit cemberut. "Ih, Kakak, kuno." Ia memalingkan wajah ke arah kanan.
"Bukan kuno, Dek." Kania menarik napas dalam. Mengembuskannya perlahan. Ia harus menjelaskan dengan sangat hati-hati jika berbicara dengan anak yang masih labil. "Kita itu enggak boleh pacaran. Untuk apa?"
Adit diam.
"Benar itu, Dek," sela Bu Lala. Ia mungkin sudah tidak terlalu khawatir dengan Kania, karena anak gadisnya itu sudah dewasa. Tentu sudah paham mana yang baik dan benar. Ini jelas berbeda jauh dengan Adit yang masih belum stabil dalam hal apa pun. "Sebaiknya kamu pokus belajar."
"Kenapa? Bukannya semua orang berhak jatuh cinta, Bun?" tanya Adit dengan rasa penasarannya. Usianya memang sudah dikatakan baligh. Namun, sifatnya masih terlihat kekanak-kanakan.
Kania meraih tangan kanan Radit. Menggenggamnya erat dan mengelusnya erat seraya berkata, "Dek, kita memang boleh jatuh cinta. Tapi, kita harus bisa menghindari hal yang tidak terlalu penting. Kamu masih remaja, jadi masih labil."
"Nah, benar itu, Dek. Bunda, enggak marah, kok, kalau kamu suka sama gadis. Itu normal, tapi jangan sampai pacaran, ya," tambah Bu Lala.
Pak Kemal tak banyak bicara. Semua yang seharusnya diucapkan sudah terwakilkan oleh Kania dan istrinya.
"Kan, enggak sampai ganggu sekolah, Bun," protes Adit.
"Bukan itu masalahnya, Dek." Kania kehabisan kata-kata. Ia melirik bundanya seolah meminta melanjutkan. Bu Lisa paham.
"Dek, kalau nanti kamu besar dan jadi laki-laki hebat seperti Ayah. In syaa Allah, kamu pasti ngerti. Jadi … pesan Bunda cuma satu, jangan pikirkan apa pun selain belajar. Masa depanmu masih panjang, Nak." Dengan kalimat lembut, Bu Lala berusaha menjelaskan pada anak bungsunya. Berharap ini menjadi acuan bagi Adit.
Kania tersenyum. Tangannya masih memegang tangan Adit. Ia yakin jika adik bungsunya ini bisa menjelama menjadi lelaki yang baik selagi didikan yang diterima Adit baik.
"Dek, cinta dalam diam itu lebih baik daripada pacaran. Kamu paham, kan?" tanya Bu Lala.
Adit mengangguk. Entah anak itu mengerti atau hanya ingin segera mengakhiri percakapan ini.
Suasana pun menjadi hening. Perjalanan masih lumayan panjang dan mereka sepakat akan berhenti di salah satu rest area favorit seperti biasa.
Kania sendiri masih melamun sepanjang perjalanan. Perkataan Radit terus terbayang. Namun, sebisa mungkin ia juga harus melupakan agar liburan kali ini pun terasa menyenangkan.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
lanjut
2022-10-21
0
.
nama ibu nya Lala apa Lisa sih thor
2022-10-07
1
Tatiastarie
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2022-10-02
0