Pada akhirnya ketiga orang itu pun sepakat untuk makan malam. Kania dan Desi sendiri belum belanja bulanan. Sebab, mereka lebih dahulu pergi ke toko kecantikan.
Di sebuah kedai yang ada di area mall, ketiganya duduk saling berhadapan. Kania dan Desi, sedangkan Radit duduk di depan mereka.
"Kamu beli perhiasaan buat siapa? Pacar, ya?" tanya Desi pada Radit.
Radit menggeleng. "Bukan."
"Ngaku aja kalau udah punya pacar." Desi menengok pada Kania. "Bener enggak, Nia?"
Nia serba salah. Tangannya memegang ponsel sejak tadi. Entah mengapa rasa canggung ini datang tanpa diminta. "Iya, bener." Gadis itu menyimpan ponsel di meja. Berusaha tenang dan melupakan semuanya. "Kan, kalau kita tau. Bisa temanan."
"Bener banget. Aku setuju," kata Desi.
Radit tak menanggapi. Ia membuka buku menu dan memesan makanan. Begitu pun dengan kedua gadis yang berada di depannya.
Pesanan diproses. Mereka menunggu sembari mengobrol banyak hal. Desi yang mencoba menyambungkan kembali situasi canggung Kania pada Radit pun terus saja mengoceh.
"Kamu jadi terima tawaran Pak Joni, Dit?" tanya Desi. Mata gadis itu melirik sekilas pada Kania. "Sekantor udah pada tau, termasuk kita."
Lelaki berkemeja hitam itu pun melipat kedua tangan di dada. Menatap Kania yang sejak awal menghindari tatapannya. "In syaa Allah, jadi."
Mata Desi berbinar-binar. "Wah, jadi dong naik jabatan."
Kania diam.
Radit tidak terlihat gembira seakan keputusannya ini tak benar-benar dari hati. "Bukan itu yang aku kejar."
"Loh, memangnya kenapa? Itu, kan, memang hakmu. Penawaran yang Pak Joni janjikan," imbuh Desi.
Embusan napas kasar terdengar dari mulut Radit. Sedetik kemudian, pesanan mereka pun sampai. Seorang karyawan perempuan mengantarkannya.
Tiga jus jeruk juga nasi ayam pedas menjadi santap makan malam mereka.
"Sambalnya bikin ngiler," imbuh Desi sembari mengambil makanan miliknya. "Menu mereka emang paling the best."
Kania tak banyak bicara. Ia segera mengambil sendok dan garpu. Membaca doa, lalu mulai makan.
Radit tak lapar. Ia lebih dominan cemas dengan sikap Kania yang diam. Namun, karena sudah terlanjur pesan. Maka dirinya pun ikut makan.
"Oh, ya, Dit." Desi mengunyah lebih dahulu makanan di mulut. "Kalau udah jadi orang sana. Jangan lupa sering berkabar."
Radit yang juga sedang mengunyah pun cukup mengangguk pelan.
"Apa lagi kalau udah punya pasangan, jangan lupa kabarin kita. Ya, kali aja ada gadis sana yang memikat hati kamu." Suara tawa kecil mengiringi ucapan Desi.
Kania tersedak. Radit cepat tanggap mengambilkan jus miliknya. Menyodorkan pada gadis itu seraya berkata, "Jangan cepat-cepat kalau makan. Enggak ada yang minta."
"Iya." Kania mengambil gelas berisi jus tersebut. Menyedotnya dengan pelan-pelan, lalu menyimpannya di dekat piring. Sebelum itu, ia menggeser jus jeruk miliknya yang masih utuh agar ditukar dengan milik Radit.
"Tapi, kalau kamu enggak mau makan. Buat aku aja, Nia," sela Desi.
Kania menoleh ke samping. Melihat dengan jelas senyum menggoda Desi padanya. "Punyamu saja belum habis, Des."
"Kan, aku bilang kalau enggak mau."
"Jangan terlalu banyak makan pedas nanti maghmu kambuh lagi."
Perhatian kecil seperti inilah yang menjadikan persahabatan mereka langgeng. Kania dan Desi saling memahami juga menjaga satu sama lain. Berusaha menjadi mengingatkan ketika di antara mereka ada yang salah.
Radit menyimak. Membiarkan dua gadis muda tersebut saling menyaut dalam obrolan mereka.
"Ini pedasnya dikit, lho, Nia," kata Desi.
"Sambal punyamu itu level delapan, Des. Punyaku saja cuma empat," kesal Kania.
Desi terkekeh. Ia memang tidak kapok perihal makanana pedas, meskipun sudah beberapa kali tumbang karenya.
"Abisnya enak," sangkal Desi dengan tertawa kecil lagi.
Kania menggelengkan kepala dua kali. Ia mengembuskan napas kasar. Begitulah sifat Desi. Namun, demikian ia tetap menyayanginya.
Mereka kembali makan, lalu pergi berbelanja kebutuhan. Radit ikut dalam rombongan dua wanita tersebut. Entah kenapa, ia ingin menikmati sisa waktu berada di kota ini bisa bersama Kania.
"Kamu belanja segini banyak setiap bulan?" tanya Desi melihat isi troly Kania yang menumpuk.
Kania mendorong troly ke arah kasir. Mengantri di sana bersama pelanggan yang lain. "Iya."
"Tante, suka bikin kue, ya? Soalnya banyak beli bahan-bahan kue."
"Ya. Bunda itu suka bikin cemilan buat aku sama Adit. Dari kecil." Kania teringat akan kue kesukaannya yang tidak pernah absen dibuat oleh sang Bunda. "Makanya, kalau aku dikasih tawaran seperti Radit. Aku berat."
Kening Desi mengerut. "Kenapa?"
Tatapan Kania lurus ke depan. "Bukannya aku anak Mami, tapi meninggalkan Bunda itu paling berat. Berjauhan sebentar saja suka kangen."
Desi mencubit kencang lengan kanan Kania, hingga temannya itu mengadu kesakitan. "Dasar kamu ini!"
"Jangan cubit-cubit dong! Aku bukan kue."
Radit sendiri mendengarkan di belakang. Ia juga mendorong troly yang berisi beberapa keperluan pribadi.
Mereka membayar, lalu mendorong kembali troly keluar area mall menuju parkiran.
Ketika ketiganya beberapa langkah lagi menuju mobil masing-masing. Ponsel Desi berbunyi. Rupanya sang Kekasih menghubunginya. Mengatakan jika sudah ada di dekat gedung mall.
"Eh, aku duluan, ya. Biasa, Yayang jemput," imbuh Desi.
Kania paham. "Iya. Hati-hati di jalan, ya." Gadis itu mengangguk pelan.
"Siap, Komandan!" Desi memberi hormat. "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," jawab Radit dan Kania hampir bersamaan.
Desi berlalu. Berjalan dengan cepat dengan hati gembira. Menyisakan Radit dan Kania yang kini sama-sama mendorong troly, padahal belanjaan Radit hanya sedikit. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu.
Posisi mobil mereka hanya terpisah oleh satu mobil orang lain. Kendaraan Radit berada di sisi kanan, sedangkan kendaraan Kania berada di sisi kiri.
"Aku duluan, ya," kata Kania hendak membelokkan troly ke arah kiri.
"Tunggu, Nia!" cegah Radit.
Langkah Kania terhenti.
"Aku mau ngomong sama kamu," lanjut Radit.
Kania mengurai senyum, lalu menggerakkan tubuhnya ke arah Radit. Mereka menjaga jarak sekitar dua meter. "Soal apa?" Kania mempertahankan senyumannya. Merekahkannya seperti mawar merah.
Radit diam sejenak, lalu berujar, "Maaf, soal perkataanku tadi siang."
"Yang mana?"
"Soal tawaran Pak Joni."
"Bukannya kamu sudah terima?"
"Memang betul, tapi …." Radit ragu meneruskan kalimat selanjutnya.
"Jangan ragu karena aku. Kamu berhak meneruskan kehidupanmu di mana pun. Lagian, kita ini teman. Sudah seharusnya saling mendukung." Lagi-lagi senyum kecil mengukir di bibir manis Kania. Keputusan Radit adalah hal yang perlu ia hormati.
Radit mengambil bingkisan dari toko perhiasan tersebut. Menyodorkannya pada Kania seraya berkata, "Ini untuk kamu. Pakai dan ingat aku selalu. In syaa Allah, kalau ada libur. Aku pasti main ke sini. Tolong, jangan dibuang. Anggap benda ini sosok penggantiku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
hm ngasih kenang2an di tempat parkir
2022-10-21
0
.
aku jd ikutan gak rela Radit mau pergi 😭
2022-10-07
0
Siti Jufrah
terima dong.... pemberiannya radit
eh..... nia berikan juga dong radit kenang"an
2022-10-06
1