Radit pergi ke ruangan Pak Joni setelah jam makan siang berakhir. Ia menerima tawaran tersebut dan akan segera berangkat setelah weekend.
Kania sendiri masih tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Ia terlalu bodoh, hingga tak bisa mengutarakan perasaan sebenarnya.
Sepanjang hari, Kania tidak bisa berkonsentrasi. Sampai waktu pulang tiba, ia masih diam di tempatnya saat yang lain gembira menyambut hari libur pekan tiba.
Desi mengamati. Ia curiga. Dengan gerkaan cepat gadis itu mendekatkan kursinya ke meja Kania. Memandangi sebentar, lalu berkata, "Kamu kenapa, Nia?" Kalimat itulah yang pertama Desi ucapkan
Kania sedang membereskan meja. Ia mengembuskan napas kasar. "Aku lagi enggak mood aja, Des."
"Ya, kenapa?"
Kania menggeleng. "Enggak kenapa-napa!" Tangannya memasukkan ponsel ke tas berwarna merah. "Aku mau pulang aja."
Desi menahan tangan kanan Kania. "Tunggu dulu!" Gadis itu benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. "Kamu murung setelah makan siang sama Radit tadi. Dia nyakitin kamu?"
Kania bergeming. Bukan untaia kata yang menjadi jawaban darinya, melainkan tetesan air mata yang keluar mendesak dari netra cantiknya.
"Loh, malah nangis?" Desi khawatir.
Kania menangis kecil. Untung saja di ruangan ini hanya tinggal mereka berdua.
"Dia ngomong apa?" Desi masih mencoba mencari penyebabnya. "Coba cerita."
"Radit katanya mau pindah ke luar kota," ungkap Kania lirih.
Desi sudah memprediksi hal ini.
"Terus?" tanya Desi pelan.
"Aku tuh cuma belum siap aja berpisah sama dia."
"Kenapa?"
"Ya, karena dia itu sahabatku, Des. Kita itu udah seperti saudara. Dari bayi merah sampai sekarang, selalu bersama." Kania mengusap sisa jejak kemalangannya. "Eh, tau-taunya sekarang dia mau pergi."
Desi paham. Ikatan batin antara Kania dan Radit memang sudah terjalin sejak bayi. Mereka yang terlahir dari rahim yang berbeda pun tidak lantas menghalangi keduanya untuk memiliki ikatan tersebut.
"Bukan karena kamu cinta dia?" tanya Desi.
Kania tertegun.
Desi menepuk bahu kanan Kania pelan, lalu menarik tubuh temannya itu masuk ke pelukan. "Jangan bersedih. Yakin aja sama takdir. Kalau kalian emang ditakdirkan bersama. Sejauh apa pun melangkah, pasti bersama lagi. Kamu enggak ingat, ya, sama kata-katamu sendiri."
Pelukan hangat Desi menenangkan Kania. Sahabatnya ini tahu bagaimana menghibur. Kania menyambut pelukan Desi dengan memeluk balik. "Ya, Des. Aku emang enggak seharusnya egois. Radit berhak menapakkan kaki di belahan bumi mana pun. Lagian, kami enggak terikat hubungan lebih dalam."
"Kali aja pulang dari sana, dia langsung melamar." Desi melepaskan pelukan. Terkekeh sendiri.
Kania yang tadinya sedih menjadi kesal. Ada-ada saja kelakuan temannya ini. "Kamu ini kalau ngomong seenaknya aja."
"Kan, bisa aja."
"Iya, deh."
"Oh, ya, aku mau belanja bulanan. Kamu mau ikut?" Kania teringat akan pesanan ibunya. "Sekalian makan malam aja. Aku izin sama Bunda nanti."
Desi menimbang dahulu tawaran Kania.
"Jangan banyak mikir! Ayo, berdiri." Kania beranjak dari tempat duduk sembari menarik tangan kanan Desi. "Makan di tempat kesukaan kita itu, lho."
"Beneran?" Desi kaget. "Kamu yang teraktir, ya?"
Kania mengernyitkan kening. "Harusnya aku yang ditraktir."
"Kenapa?"
"Kan, aku yang lagi sedih." Kania tertawa kecil.
Pada akhirnya mereka pun pergi bersama. Berjalan beriringan dengan sesekali bercerita banyak hal.
"Jangan sedih. Aku enggak punya teman gila nanti," kata Desi begitu serius pada Kania.
"In syaa Allah," jawab Kania.
***
Sementara itu, Radit yang sudah memberikan keputusan itu pun harus bersiap dengan keberadaannya. Sepulang kerja, ia tak langsung pulang ke rumah.
Radit sendiri memilih pergi ke sebuah toko perhaisan yang berada di salah satu mall. Di mana ia berniat membelikan sebuah kalung manis untuk Kania.
Ini memang bukan hari ulang tahun Kania. Namun, lelaki itu memberikannya karena merasa bersalah juga sebagai alat pengingat Kania akan dirinya.
Radit berjalan sendiri di mall. Memasuki sebuah toko yang memang sudah menjadi langganan keluarganya sejak dulu.
"Selamat sore, Mas Radit. Ada yang bisa saya bantu," kata seorang pelayan.
"Sore." Mata Radit mengamati setiap perhiasan yang ada. Mencari yang terbaik juga pas untuk Kania.
Karyawan itu mengamati Radit. Tak seperti biasa. "Ibunya ke mana, Mas?" Merasa sudah dekat. Sang Karyawan tidak sungkan bertanya lebih dari tentang perhiasaan. "Biasanya bersama."
Radit menegakkan kepala. Mengurai senyuman kecil. "Ada, Mbak. Tapi, saya ke sini bukan beli buat Ibu."
"Untuk pacarnya?"
Radit menggeleng cepat. "Bukan juga. Hanya teman masa kecil."
Mata si Karyawan tak berhenti menatap Radit. Ia bisa sedikit membaca. "Teman penuh kenangan?"
Radit hanya tersenyum simpul, lalu kembali mengamati setiap perhiasaan yang ada. Sampai akhirnya ia jatuh hati pada sebuah kalung manis. "Saya mau lihat yang ini." Telunjuk tangannya mengarah pada sasaran.
"Oh, baik, Mas," jawab si Karyawan.
Setengah jam bergelut dengan banyak pilihan. Akhirnya Radit pun memilih sebuah kalung emas yang memiliki liontin kecil. Ia meminta karyawan tersebut membungkusnya semanis mungkin agar terkesan sangat indah.
"Baik. Ini barangnya. Terima kasih sudah berkunjung." Senyum ramah karyawan itulah yang selalu menjadi percakapan terakhir mereka.
"Terima kasih." Radit mengambil bingkisan tersebut, lalu pergi.
Azan Magrib sebentar lagi datang. Ia memutuskan melaksanakan salat di area mall.
Benar saja. Lima menit setelah berkeliling, azan berkumandang memanggil seluruh muslim untuk datang menghadap sang Ilahi Rabbi.
Radit bergegas ke arah mushola. Ia tidak ingin menunda apa yang menjadi kewajibannya.
Banyak pengunjung yang datang ke mushola terutama Kania dan Desi. Rupanya, mereka berada di mall yang sama dengan Radit. Hanya saja, mereka belum sadar dan bertemu.
Salat selesai. Ketika Radit sedang memakai sepatu sembari duduk. Dari belakang ia mendengar dua suara wanita yang tak asing. Sontak tubuhnya bergerak menoleh ke belakang. Dan, matanya mendapati kebenaran yang didengar sang Telinga.
"Kania. Desi," panggil Radit.
Dua gadis itu seketika mengarah kepadanya. "Loh, Radit." Keduanya menjawab bersama.
Kania diam. Ia belum ingin menemui Radit kembali, tetapi semesta justru mempertemukan mereka lagi.
Desi menarik tangan Kania. Membawa tubuh temannya itu menghampiri Radit. Menggenggam erat tangan Kania seolah ia adalah penjaga temannya tersebut.
"Kamu lagi apa di sini?" tanya Desi pada Radit.
Radit selesai memakai sepatu. Berdiri agar sejajar dengan kedua gadis di depannya. "Oh, ini, aku lagi jalan-jalan aja."
Mata Kania terpokus pada bingkisan yang dibawa Radit. Perhiasan. Label itu sama persis dengan yang sering dipakai ibunya Radit.
"Udah makan malam belum? Kalau belum, bareng aja sama kita," tanya Desi.
Radit tak langsung menjawab. Sikap Kania yang hanya menundukkan kepala pun menjadi tanda tanya besar di benaknya. Mungkinkah gadis itu tidak ikhlas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
nanti juga bertemu lagi
2022-10-21
0
Siti Jufrah
knp g beli gelang aja ?? kan kania berhijab kalau kalung g keliatan di pakai apa engga pemberian km radit
2022-10-06
2
Tatiastarie
ayo kania ikhlas kan saja demi masa depan ksmu
2022-10-02
0