Keesokan harinya, tepat di jam makan siang. Kania dan Radit pergi ke cafe yang masih ada di lingkungan sekitar gedung tempat mereka bekerja.
Hanya cukup berjalan kaki ke samping kiri tiga menit, mereka pun sampai. Meja dekat kaca adalah pilihan yang tepat.
"Ayo, duduk," kata Radit.
Kania menarik kursi. Duduk dengan tenang. "Tumben ngajak makan berdua aja. Ada apa, nih?" Rasa penasaran semakin menghantui Kania.
Radit duduk di bangku depan. Tersenyum kecil, lalu berkata, "Makan dulu aja. Lagian, biasanya juga sering makan berdua. Apa lagi pas Tante enggak masak. Kamu, kan, makannya di rumahku."
Kania terkekeh. "Itu mah beda atuh, Dit."
"Bedanya?"
"Itu, kan, di rumah. Kalau ini di luar." Kania menatap lekat Radit. "Jangan-jangan kamu mau ngaku sesuatu, ya."
Radit menelan salivanya. Sungguh … tebakan Kania tidak melesat. Namun, tentu ia tak boleh mengaku di awal. Mereka harus menikmati makan siang lebih dahulu agar perut terisi dan bisa mempengaruhi cara kerja otak.
"Kita pesen dulu aja, ya. Kamu mau makan apa?" tanya Radit memutar alur pembicaraan. Tangan kanannya mengambil daftar menu. Mengamati dengan seksama. "Makan spagety sama jus jeruk kayaknya enak."
Sejenak Kania terdiam. Sikap Radit mencurigakan. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan apa yang ia dengar? Entahlah. Yang jelas, saat ini perutnya perlu dibungkam agar tidak menjerit terus menerus.
Suasana cafe begitu ramai. Banyak orang yang datang makan siang bersama teman, kerabat, rekan kerja ataupun keluarga.
Kania memutuskan memilih menu yang sama dengan Radit. Mereka memang menyukai makanan yang sama sejak lahir.
Sembari menunggu makanan selesai. Radit dan Kania berbincang banyak hal.
"Oh, ya, aku sama keluarga mau liburan keluar kota minggu ini," imbuh Kania.
"Liburan keluarga?" tanya Radit.
Dengan cepat Kania mengangguk. "Iya." Gadis itu tersenyum simpul. "Di sini mulu, sumpek. Pengen sesekali itu pergi ke tempat yang adem."
"Mau ke kampung halaman?"
"Ya. Rencannya, sih, gitu."
"Lama?"
Layaknya detektif, Radit terus mengorek informasi.
"Ya, engga dong. Bisa dipecat aku lama-lama. Weekend aja." Wajah Kania cemberut.
Radit terkekeh geli. Makanan datang.
Kania mengambil gelas berisi jus jeruk, menimumnya perlahan. "Segernya." Rasa haus seketika hilang.
"Enak, kan?" tanya Radit.
"Iya."
"Ya udah, makan dulu."
"Ok. Bismillah."
Keduanya mengangkat tangan. Membaca doa bersama, lalu menyantap makanan. Rasa spagety di sini memang sangat luar biasa. Terlebih bumbunya yang tak pelit sebanding dengan harga yang ditawarkan.
"Oh, ya, Dit. Aku sebenarnya mau tanya sesuatu sama kamu. Tapi, habisin dulu makanananya." Di sela-sela makan Kania memberanikan diri. Ia tidak ingin menahan diri akan hal itu.
Radit diam. Seperdetik kemudian menjawab. "Ya. Nanti aku jawab apa pun pertanyaanmu. Sekarang, makan dulu yang banyak biar enggak kurus kering."
Sontak Kania membelalakkan mata. "Ih, enak aja kurus kering."
"Memang kenyataannya. Lihat aja badanmu. Lebih imut dari anak sekolah."
"Ya, ya. Mas Radit yang ganteng." Kania mengalah. Ia tidak ingin terlibat banyak hal dengan Radit.
Mereka kembali meneruskan makan tanpa berbicara sepatah kata pun. Sesekali Kania mengecek ponsel. Melihat beberapa postingan teman-teman lainnya di media sosial.
Banyak dari temannya yang sudah menikah bahkan punya anak. Namun, banyak pula yang masih melajang seperti dirinya. Sebab, menikah dan berkarir dahulu itu pilihan masing-masing individu.
Makan selesai. Kania mengambil tisu di saku blezernya. Mengusap sisa makanan di ujung bibir kanan yang membuat Radit menelan ludah.
"Astagfirullah," ujar Radit pelan.
Kania menatap Radit. "Kenapa?"
"Enggak." Lelaki itu menggeleng cepat. Ia tak mungkin mengatakan hal gila ini.
Kania membuang tisu di piring bekas spagety. Kini mereka mulai mengulas inti dari makan siang kali ini.
"Dit, aku mau tanya. Apa bener kalau kamu …." Kania ragu. Ia diam sebentar. Meyakinkan diri jika ini tak boleh berlama-lama. "Dipindahkan ke Bandung?"
Sontak kedua bola mata Radit membulat sempurna. Ternyata Kania sudah tahu. Entah dari mana gadis itu mengetahui. Yang jelas, masalah ini harus selesai hari ini juga.
"Aku enggak sengaja denger percakapan dua karyawan dari divisi kamu," sambung Kania agar tidak terjadi salah paham.
Radit menarik napas. Membuangnya secara perlahan. Menenangkan diri agar siap dengan tanggapan Kania. Penjelasan ini akan sangat memakan waktu dan mentalnya.
"Nia, itu memang benar. Tapi, aku baru ditawari. Belum aku terima," jelas Radit.
Hati Kania bergejolak. Kabar itu rupanya nyata dan bukan sekadar kabar burung semata. Ia juga harus mulai menyiapkan diri. "Oh. Kenapa enggak langsung diterima? Kan, lumayan. Katanya bisa langsung naik jabatan."
Seiring dengan perkataan itu. Hati Kania terasa sakit. Dadanya pun sesak. Hanya saja, ia juga harus berlapang dada. Bagaimanapun Radit berhak akan hidupnya.
Memang benar mereka sudah bersama sejak kecil. Melewati ribuan hari dengan segala cerita. Awalnya saja akan sakit, tetapi hidup orang akan terus berputar seiring waktu berjalan. Begitu pun dengan teman terdekat ataupun keluarga. Maka dari itu, jangan jadikan orang lain sebagai rumah.
Radit menatap balik Kania lekat. Ada rasa tak tega. Sorot mata gadis di depannya seperti sedang tidak baik-baik saja. "Aku masih ragu."
Kania menolehkan senyuman di wajah. Membuat mimik mukanya seantusias mungkin menyambut percakapan ini. Setidaknya, ia tidak boleh sampai ketahuan. "Apa yang buat kamu ragu? Padahal tawaran ini enggak mungkin datang dua kali."
"Memang benar. Tapi …" Radit sulit mengatakan alasan sebenarnya.
Kania mengecek ponsel ketika benda pipih itu berbunyi. Rupanya pesan dari Desi yang menanyakan posisi dirinya sekarang.
Secepat kilat Kania membalas pesan. Ia harus meneruskan percakapan Ini secepat mungkin dengan Radit, karena jam istirahat semakin menipis.
"Jangan banyak berpikir. Ini kesempatan emas buat kamu. Kalau aku, sih. Langsung terima aja. Mikir apa lagi coba?" Kedua bahu Kania terangkat. Reaksi santainya ini membuat Radit diam tanpa kata.
"Kamu bakal terima gitu aja?" Radit bertanya balik..
Mata mereka bertemu. Kania sontak memalingkan pandangannya ke arah lain. Radit itu sangat ahli dalam membaca pikiran orang hanya lewat mata. Maka dari itu, ia sangat takut jika bertatapan langsung.
"Enggak ada yang bikin kamu berat atau ragu?" Radit terus mengajukan pertanyaan. Sifatnya memang seperti itu. Diam seolah tak peka. Padahal sangat memperhatikan dari kejauhan.
Ponsel Kania lagi-lagi berdering. Akan tetapi, gadis itu membiarkannya. Ia tengah kesulitan mencari jawaban dari pertanyaan Radit.
"Kalau kamu ngerasa kayak gitu. Aku juga mungkin bakal ikutan. Memang sebaiknya aku terima aja," lanjut Radit setelah dua menit menunggu jawaban.
Mulut Kania terkunci. Kalimat yang tersusun rapi dalam pikiran mendadak buyar. Ia ingin melarang, tetapi menghargai keputusan teman adalah hal yang paling bijak.
Bibir Kania mengukir senyum kecil. "Nah, gitu dong. Jangan dibuang gitu aja kesempatan baik. Semangat, Raditku!"
Kalimat penyemangat pun Kania sertakan. Ia harus mendukung apa pun keputusan temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
mau mencegah juga Kania gak ada hak
2022-10-09
0
.
punya perasaan syg jgn dipendam nnti nyesal 😌
2022-10-07
0
Enies Amtan
si radit cement
2022-10-05
0