Adit pergi ke kamarnya, menyimpan ponsel, lalu segera turun ke lantai bawah. Ia hanya bercanda. Sejahil apa pun dirinya, ia tak mungkin berbohong jika sudah berjanji.
Kania sendiri masuk kembali ke kamar. Gadis itu membereskan lebih dahulu sisa salat dan menyimpannya kembali. Sebelum keluar, ia memastikan hatinya harus dalam keadaan baik. Sejenak melupakan tentang Radit agar makan makan keluarga ini tidak terasa hambar.
"Ayo, keluar!" Kania sudah siap. Ia memakai piyama setelan panjang tanpa hijab. Sebab, yang ada di rumah hanyalah keluarganya.
Kania keluar kamar. Setiap langkahnya teratur menuju lantai bawah dengan menapaki satu demi satu anak tangga.
Ketika kakinya berada di lantai bawah. Ia mendengar suara gelak tawa seluruh keluarganya. Keceriaan yang tak boleh bercampur dengan rasa sedih sedikit pun.
Kania mengayunkan langkah ke arah dapur. Melihat kedua orang tuanya dan Adit sudah siap di meja makan. Makanan pun tersaji dengan rapi.
"Ayo, sini, Nak," ajak Bu Lala ketika mendapati sosok Kania masih berjalan ke arah mereka.
Adit rupanya sudah makan lebih dahulu. Apa lagi melihat menu makanan yang menggoyang lidah. Sudah pasti ia tak akan ingat siapa pun.
"Mama, masak yang enak-enak," sambung Bu Lala.
Kania antusias. Ia segera menarik kursi di samping Adit dan duduk di dekat adiknya. Menoleh sekilas ke Adit, dan berkata, "Dek, kamu makan atau kelaparan?"
Adit menoleh, tersenyum miring. "Habis masakan Mama emang enak, Kak."
"Astagfirullah. Tapi, jangan cepet-cepet juga. Enggak baik."
"Ya, ya." Adit menurut.
Kania mulai mengambil nasi, lauk, dan semacamnya. Pak Kemal sesekali melihat ke arah Kania. Hati kecilnya merasakan sesuatu yang berbeda dari sorot mata anak perempuannya itu.
"Nia, akhir pekan ini kamu enggak ada lemburan, kan?" tanya Pak Kemal.
Kania yang akan menyuapkan pun tak jadi. "Enggak, Pah. Kenapa?"
"Begini … Papa pengen kita liburan bareng aja. Gimana kalau kita ke Bandung? Tempat kelahiran Papa."
Bu Lala menyimak. "Bukannya rumah Almarhum Ibu udah dijual, Pah?"
Pak Kemal mengangguk. Itu memang benar. "Memang iya. Tapi, kita, kan, bisa pesan penginapan. Walau tidak di kampung asli, tapi setidaknya di sana kita bisa merasakan udara segar sambil refresing juga."
Adit sesegera mungkin menelan butiran nasi yang ada di mulutnya. "Nah, itu benar, Pah." Ia memang paling senang berlibur. Jauh dari kebisingan kota adalah impian dirinya. Ia bisa dengan tenang bermain game seharian. "Aku bisa main game di tempat tenang."
Bu Lala menggelengkan kepala. Anak keduanya ini memang begitu terobsesi dengan permainan. Namun, anehnya. Semua nilai pelajaran Adit tetap stabil. Maka dari itu, Bu Lala tidak terlalu melarang.
"Kamu ini, Adit, Adit. Ke sana itu kita mau liburan," kata Bu Lala.
"Ya, Ma. Adit, tau, kok," jawab Adit.
"Itu artinya kita menghabiskan waktu dengan keluarga tanpa HP."
"Yah." Wajah Adit lesu.
Kania tertawa.
"Jadi, gimana?" tanya Pak Kemal pada Kania kembali.
"In syaa Allah, aku mau aja, Pah. Lagian, itu juga bagus buat membangun mood lagi. Lima hari kerja suka bikin segalanya lelah." Tanpa sadar Kania seakan mengeluarkan isi hatinya.
Bu Lala diam, mengamati mimik wajah Kania yang seperti sedang menahan sesuatu.
"Ya sudah, kita sepakat jalan-jalan Minggu ini." Bu Lala memastikan.
"Yes, liburan." Adit bersorak.
Acara makan pun kembali dilanjutkan. Kali ini tanpa suara dari siapa pun. Setelah selesai makan, Kania membantu mamanya membereskan dapur.
Adit sendiri pergi ke teras untuk mencari angin segar sembari bermain game, sedangkan Pak Kemal izin ke kamarnya.
Kania sudah terdidik sejak kecil dalam hal melakukan pekerjaan rumah tangga. Maka dari itu, ia tidak canggung melakukannya.
"Ma, sepertinya kebutuhan rumah udah mau pada habis. Mau aku belikan sambil pulang kerja besok?" tanya Kania yang baru selesai mencuci piring dan membuka lemari kitchen set bagian atas. "Besok aku bawa mobil ke kantor."
"Kamu yakin? Takutnya malah ngerepotin kamu lagi," jawab Bu Lala. Ibu dua anak ini tidak hanya seorang Ibu rumah tangga, tetapi juga seorang guru private dari tiga murid didiknya. Ia melakukan pekerjaan ini untuk mengisi waktu luang. "Biar Mama aja nanti."
"Enggak lah, Ma. Lagian aku juga sekalian mau beli kebutuhan pribadi ke mall."
"Ya udah, nanti Mama list barang apa aja yang mau dibeli, ya."
"Ok, Mah."
"Makasih, cantiknya Mama."
"Sama-sama."
Sementara itu di teras, Adit asyik bermain permainan. Ia duduk di kursi yang ada di sana. Angin sesekali menerpa wajahnya, tetapi lelaki muda itu tetap saja melanjutkan kegiatannya.
Tiba-tiba suasana terasa mencengkram. Adit memegang leher belakang. "Kok, merinding, ya." Mulutnya memang berbicara. Namun, kedua tangannya tetap beraksi di atas ponsel. Ia tak ingin kalah.
Dua detik kemudian, suara Radit pun terdengar menyapa Adit. "Assalamualaikum."
Reaksi Adit di luar dugaan. Alih-alih menjawab, justru anak lelaki itu loncat dari kursinya mendekati pintu.
Radit mengerutkan kening. "Kamu kenapa, Dek?"
Akhirnya mata Adit melihat sosok Radit yang berdiri tegap di depannya dengan membawa mangkuk lumayan besar.
"Dijawab dulu salamnya," tutur Radit kembali.
Nama mereka hampir sama. Jadi, Radit memanggil dengan sebutan 'Dek' pada Adit.
Jantung Adit masih belum normal sepenuhnya. "Astagfirullah, Kak Radit." Tangan kanannya mengusap dada, lalu mengayunkan langkah ke depan dua kali. "Kalau datang itu jangan tiba-tiba. Bikin orang jantungan aja!"
Radit tak aneh. Ia sudah lama mengenal Adit, bahkan sejak anak itu dari bayi. Sikap dan beberapa sifat Adit pun tidak beda jauh dengan Kania. Jelas ia paham.
"Bukan salah, Kakak. Tapi, kamu aja yang terlalu fokus main HP," bela Radit.
Adit tersenyum tipis. Lagi-lagi orang akan menyalahkan ponselnya. "Namanya juga lagi main game, Kak. Kalau enggak fokus, nanti kalah." Adit teringat permaian, ia mengecek lebih dahulu ponsel yang dipegangnya. Dan, hasil akhir pun ia dapati. "Tuh, kan, kalah."
Radit tak ingin menanggapi. Ia memilih melewati Adit dan masuk ke rumah sembari mengucap salam. "Assalamualaikum."
Tak ada jawaban. Radit terus saja berjalan. Mungkin anggota rumah ini sebagian sedang ada di dapur atau kamar masing-masing.
Kaki Radit sampai di dekat dapur ketika Kania juga baru keluar dari sana. Gadis itu kaget, hingga mundur ke belakang.
"Astagfirullah, Radit!" serunya yang dibuat shock.
Radit bergeming. Ia tak melakukan kesalahan apa pun.
"Kamu itu datang ucap salam dulu!" tegur Kania.
Dahi Radit berkerut hebat. Ia rasa sudah melakukannya juga. "Aku udah ucap salam tadi. Tapi, enggak ada yang jawab. Ya udah, masuk aja ke dapur."
"Ya, tapi jangan datang tiba-tiba juga. Ngagetin orang tau!" Kania kesal.
"Ya, maaf."
Kania tak berani menatap Radit. Ia yang sebenarnya ingin menanyakan kebenarannya pun, mengurungkan niat.
"Tante, ada engga?" tanya Radit.
"Ada. Mau apa?" Sesekali mata Kania melirik ke arah mangkuk yang di bawa Radit.
"Mau ngasih ini dari Bunda."
"Oh." Kania paham.
Radit memperhatikan Kania. Mungkin sudah waktunya ia membicarakan hal ini pada gadis tersebut. "Nia, besok siang. Mau makan bareng? Di kantin kantor aja, kalau kamu enggak mau di luar."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
Kania sudah kenyang
2022-10-09
0
Siti Jufrah
ngasih sotonya telat mas radit....... keluarga kania udah makan malam
2022-10-06
1
Tatiastarie
ahirnya Radyt mau bicara in juga ke kania.
2022-10-02
0