Di rumah lain, Adit dan Pak Kemal baru saja pulang dari masjid. Mereka duduk di teras sembari menikmati suasana malam.
"Kakakmu belum pulang, ya?" tanya Pak Kemal.
Adit yang sibuk dengan ponsel pun cukup mengangguk.
"Kalau Papa tanya itu jawab!" Nada bicara Pak Kemal sedikit meninggi, hingga membuat Adit menyimpan ponselnya di meja. "Nah, gitu."
"Belum, Pa. Mungkin Kakak lembur," jawab Adit yang memang sangat takut dengan kemarahan papanya.
Kening Pak Kemal mengerut. "Kakakmu, bilang?"
"Tadi kata, Mama."
"Oh, syukurlah."
Baru saja dibicarakan, ternyata Kania pulang. Gadis cantik itu turun dari taksi dengan wajah lesu. Ia berjalan membuka pintu pagar, terus melangkah ke arah teras.
"Assalamualaikum," ujarnya tanpa senyuman manis.
Ini aneh. Sebab, di antara anggota keluarga, hanya Kania yang selalu bersikap ceria.
"Waalaikum salam," jawab Adit dan Pak Kemal bersamaan. Kedua lelaki itu saling melempar pandangan seolah sedang bertanya satu sama lain.
"Kamu baru pulang, Nak?" tanya Pak Kemal.
Senyuman paksa. Ah … itu yang Kania perlihatkan. "Iya, Pa," jawabnya begitu lesu. Langkahnya bergerak mendekat ke depan Pak Kemal, meraih tangan papanya, lalu mencium punggung tangan lelaki tersebut.
"Kakak, kenapa, sih?" Adit memang tidak suka basa-basi. Ia tipe lelaki yang selalu pada inti masalah. "Muka lusuh kayak baju yang belum disetrika!"
"Adit, yang sopan kalau ngomong sama kakakmu," tegur Pak Kemal.
Kania tidak berniat menjawab ledekan Adit. Semangat bertengkarnya hilang. Ia ingin menyimpan sisa tenaga ini untuk besok hari.
Kania menatap Pak Kemal, lalu berkata, "Pa, aku masuk dulu. Capek." Wajahnya memang terlihat lelah. Bukan hanya karena lembur saja. Jelas ada sesuatu yang terjadi selain itu.
Netra Pak Kemal menatap sebentar. Lalu, paham apa yang tengah menimpa anak perempuannya. Ia pun mengangguk seraya berkata, "Iya, Nak. Kamu langsung masuk kamar aja. Tapi, jangan lupa salat Isya dulu terus makan malam."
Kania paham. Ia mengangguk juga. Gadis itu melewati adik dan papanya, masuk ke rumah dengan tenaga yang ada.
Begitu langkah kakinya berjalan, ia bertemu sang Mama yang memakai seragam kebangsaan yang tak lain adalah celemek.
"Kamu udah pulang?" tanya Bu Lala.
Kania berhenti, mencium punggung tangan mamanya seperti yang selalu ia lakukan. "Iya, Ma."
Kania tersenyum kecil lagi.
"Belum makan, kan?" tanya Bu Lala.
"Belum, Ma."
"Ya udah, mandi dulu, sholat, terus turun ke bawah buat makan makan."
Ingin rasanya mulut Kania menolak perihal makan malam. Namun, ia yakin sang Mama akan sangat sedih dengan hal itu. Oleh karena itu, sekali pun hatinya sedang tak berbentuk. Ia akan tetap datang makan bersama keluarga.
Setidaknya dengan seperti suasana hati Kania sedikit membaik.
"Iya, Ma," jawab Kania.
Kania pun segera pergi ke lantai atas, di mana keberadaan kamarnya ada di sana. Sesampainya di kamar, ia sendiri langsung membanting diri ke kasur.
Matanya terpejam sejenak, mengingat potongan percakapan dua karyawan yang satu divisi dengan Radit.
"Apa aku tanya langsung aja, ya," gumam Kania yang bimbang.
Biasanya, ia tidak pernah canggung bertanya apa pun pada Radit. Akan tetapi, mengapa kali ini berbeda. Ia rasa Radit pun seperti menyembunyikan rapat-rapat tentang ini.
Alih-alih memikirkan terus menerus masalah ini. Kania memilih pergi membersihkan diri, dan salat Isya. Ia tak ingin riasannya merusak kulit karena lupa dibersihkan.
Gadis itu mandi, mengganti pakaian, lalu salat. Ia bersimpuh di hamparan sajadah, meminta ampun juga kemudahan di setiap langkahnya.
Kania masih ingin menikmati waktu bertemu Sang Pencipta. Melangitkan berbagai doa, walaupun rasanya sangat malu. Sebab, Allah selalu mengabulkan semua keinginannya saat ia masih sering lalai pada kewajiban.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk kencang diiringi dengan suara Adit yang kencang. "Kakak, ayo, makan!" Anak lelaki itu memang selalu seperti ini.
Kania kaget. Ia menoleh dengan wajah kesal, lalu berkata, "Duh, tuh Anak main gedor aja!" Dengan cepat Kania berdiri. Mukena berwarna putih itu masih belum dilepas. Gadis manis itu melangkah cepat untuk membuka pintu.
"Kamu ini, Dek!" kesal Kania.
Pandangan Adit fokus pada ponsel. Sebuah permainan online kesukaannya membuat anak lelaki itu tidak lepas dari benda tersebut.
Kania kesal. Ia mengambil ponsel Adit, hingga si empunya menoleh ke arahnya.
"Kakak, main ambil aja!" Adit kesal.
Kania menarik nafas. Bagaimanapun ia harus lebih lembut menghadapi anak lelaki yang sedang tumbuh itu. "Kamu bisa enggak, sih, Dek, kalau manggil orang itu jangan kenceng-kenceng?"
Adit berusaha merebut ponselnya dari tangan kanan Kania. Namun, kakak perempuannya itu lebih cepat bergerak dengan mengalihkan ponsel itu ke tangan kiri.
"Sini dulu hp aku, Kak," pinta Adit.
"Kamu denger enggak kata-kata Kakak?" tanya Kania.
Kania memang perempuan. Akan tetapi, di sini dia orang yang jauh lebih tua.
"Iya, denger." Adit tak begitu menanggapi.
"Bukan gitu jawabannya."
Adit mengela nafas. Ia memutar mata, kesal. "Iya, dengar, Kakakku sayang." Senyum manis pun ia berikan pada sang Kakak.
Kania diam.
"Ya udah, mana HP-ku?" tanya Adit.
Kania menatap lekat Adit.
"Mana, Kak?" Adit bertanya lagi.
"Kamu belum belajar, kan?" Alih-alih menjawab, Kania justru bertanya balik. "Main game terus. Kapan belajarnya?"
"Bentar lagi, Kak." Adit berusaha mengelak.
"Dek, kalau kamu enggak belajar. Kamu gimana bisa masuk universitas impian?" Entah karena perasaanya sedang kacau, hingga membuat Kania sedikit kesal dengan jawaban Adit.
"Orang belajar juga percuma."
"Kenapa?"
"Kan, banyak orang yang masuk dengan cara aneh."
"Maksudnya?" Kania mengerutkan kening.
Adit berdesak kesal. Kakaknya seperti tidak tahu kenyataan. "Kakak, mah, norak."
"Lah, kenapa jadi norak?"
"Masa itu aja enggak tau."
Otak Kania berpikir sejenak, lalu ia pun menemukan titik terang yang membawanya pada jawaban dari teka-teki ini. "Ah, itu."
"Nah, Kakak, paham, kan?" Adit senang. Setidaknya ia tak perlu panjang lebar membahas. "Sekarang, siniin HP-ku?" Tangan kanan Adit menjulur ke arah Kania. Memberi kode agar kakaknya itu mengembalikan ponsel. "Nanti levelku turun, Kak."
Kania bukan memberikan ponsel, ia justru menjewer telinga Adit. "Level turun, takut. Tapi, kalau nilai turun. Enggak takut?"
"Duh, Kak, sakit ini." Adit mengadu kesakitan. Jeweran sang Kakak memang paling dahsyat. "Bisa copot telingaku, Kak!"
Kania tak tega. Ia melepaskan tangannya dari telinga Adit. "Makanya, jangan asal ngomong." Kania menggelengkan kepala dua kali. "Nih HP-nya. Simpen dulu, katanya mau makan."
Adit dengan gembira menyambut harta kesayangannya tersebut. Mengelus dengan tangan kanan dan memastikan tidak ada lecet sedikit pun.
"Iya, Kak. Ini juga mau disimpen dulu, tapi kalau udah mati." Adit sontak belari sembari tertawa. Ia yakin jika kakaknya akan kembali marah.
"Astagfirullah, punya adik satu." Kania menenangkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
next
2022-10-06
0
Tatiastarie
mungkin kania memang harus bertanya sama Radyt biar lebih terbuka lagi...
2022-10-02
1
Bunga
sabar nia
2022-08-30
1