Radit bimbang

Di rumah, Radit gelisah. Ia yang sudah pulang lebih dahulu dan memang tidak ada lembur. Sebenarnya ada, tetapi ia memilih menukar dengan temannya.

Radit membersihkan badan, lalu salat Maghrib di mushola rumah. Kali ini ia tidak pergi ke masjid. Badannya terasa kaku dan sakit semua. 

"Astagfirullah," gumamnya sembari membaringkan badan di ranjang.

Lelaki itu terdiam. Memikirkan kembali tawaran Pak Joni padanya. Ia merasa dilema. Di satu sisi, ini sangat baik untuk karirnya. Akan tetapi, di sini lain. Ia begitu sulit jauh dari Kania. Ah … membingungkan memang.

Sejenak Radit memejamkan mata. Mengingat beberapa keping kejadian manis yang pernah ia lewati bersama Kania. Potongan masa lalu itu begitu indah. Jelas terasa membekas dalam dada.

Tidak terasa, satu jam berlalu Radit terdiam sembari tiduran. Waktu salat Isya pun datang. Ia bergegas bangun dan kembali menjalankan kewajibannya.

Di mushola ini, ia hanya salat sendiri. Ibundanya sedang halangan. Maka dari itu, ia pun menikmatinya sendirian.

Salat selesai. Dari arah dapur tercium harum masakan khas bundanya. Penciuman Radit memang tajam, kakinya melangkah menuntun ia ke arah dapur yang juga berada tak jauh dari mushola di lantai satu.

Harum itu membawanya ke sana. Di mana sang Bunda terlihat mematikan kompor, dan membawa panci kecil ke meja makan.

"Bunda, masak soto, ya?" Radit bertanya sembari menghampiri.

Bu Wati --bundanya Radit-- terkejut mendengar suara anaknya. Untung saja panci itu sudah mendarat mulus di meja makan.

"Kamu ini, Nak. Kebiasaan kalau datang main tanya aja," jawab Bu Irma.

Radit menarik kursi meja makan, duduk tenang di sana. "Maaf, Bun." Mata Radit mencari satu sosok lagi. Sosok yang di matanya seperti superhero. "Loh, Ayah belum pulang, ya, Bun?"

Bu Wati yang tengah menata meja makan pun menggeleng cepat. "Belum. Mungkin ada kepentingan lain."

Radit ikut mengangguk. Paham.

"Tolong, bantu Bunda bawa piring ke meja, ya. Bunda, mau beresin piring kotor ke wastafel," pinta Bu Irma.

"Siap, Bun." Radit kembali berdiri. Umurnya mungkin tak kecil lagi. Namun, di depan orang tuanya. Ia terus patuh dan taat selama itu tak melanggar aturan.

Radit mengambil tiga piring, membawanya ke meja makan dan mereka pun duduk saling berdampingan.

Masakan khas bundanya memang tak ada yang mengalahkan. Oleh sebab itu, Radit selalu berusaha makan di rumah jika bukan jam kerja atau memang ada kepentingan lain. Selain memang hemat. Ia rasa masakan rumah sangat mewah dan menggoda lidah.

Mereka makan setelah berdoa. Dan, terjadilah sedikit perbincangan di antara keduanya.

"Bun, aku mau bilang sesuatu," kata Radit.

Bu Wati yang tengah menyeruput kuah soto pun menoleh. "Tentang apa, Nak?" Keningnya sedikit berkerut. Ia tampak penasaran.

Radit mengunyah makanannya lebih dahulu. Ia juga belum membicarakan perihal ini pada orang tuanya. "Begini … Pak Joni, memberikan aku tawaran."

"Tawaran?" Bu Wati bertanya balik.

Radit mengangguk pelan.

"Tawaran seperti apa?"

Radit mulai menceritakan. Di mana ia ditawari pindah ke Bandung dan jabatannya akan langsung naik. Mungkin bisa dikatakan promosi.

"Masya Allah, ini kesempatan baik, Nak." Bu Wati menyambut dengan senang. Doa-doa yang ia langitkan pun terjawab sudah. Jelas, ia tak hanya meminta kesuksesan Radit di dunia saja, melainkan sukses di akhirat juga. "Bunda, seneng dengernya."

Berbanding terbalik dengan bundanya. Radit sendiri tampak murung. Hati kecilnya berkata tidak, tetapi mulutnya ingin berkata 'ya'. Ini memang sulit.

Bu Wati menatap Radit dalam-dalam. Mengamati perubahan mimik wajah anak lelakinya itu. "Kamu kenapa?"

"Aku bingung, Bun," jawab Radit. Mungkin Radit bisa dikatakan anak Bunda. Sebab, ia lebih nyaman bercerita dan bertukar pikiran dengan bundanya ketimbang dengan ayahnya. 

Kening Bu Irma mengerut. "Bingung kenapa?" Ia tahu jika anaknya sedang di kondisi tidak baik-baik saja. "Kamu tidak mau? Bunda, tidak masalah."

Radit menggeleng dengan cepat lagi. "Bukan itu. Tapi …." Sulit rasanya lelaki itu mengatakan apa yang ada dalam hatinya.

"Coba bicara sama, Bunda. Mungkin Bunda bisa bantu kamu," kata Bu Wati

"Aku mau aja terima tawarannya, tapi aku juga nggak mau jauh dari Kania. Aku tau ini kekanak-kanakan. Tapi, memang itu kenyataannya."

Bu Irma mengerti. Persahabatan Radit dengan Kania memang sudah terjalin sejak bayi. Pantas saja anak lelakinya itu berat hati.

"Ya udah, jangan diterima saja," ujar Bu Wati. Ia kembali meneruskan makanannya. Sebagai orang tua, ia memposisikan dirinya di tengah. Radit tak perlu ditekan untuk sesuatu yang bisa anaknya itu putuskan sendiri. Sebab, Radit punya hak atas kehidupannya.

"Pak Joni terus mendesak, Bun. Beliau bilang kalau aku adalah karyawan yang pas dan paling cocok di posisi ini," ucap Radit.

Ini seperti sebuah simalakama untuk Radit. Namun, dalam dua hari ini ia harus memutuskannya. Dan, keputusannya inilah yang akan menjadi penentu selanjutnya.

"Kamu bisa berdoa sama Allah. Minta diberikan yang terbaik. Karena, yang menurut manusia baik, belum tentu baik menurut Allah. Jadi … kalau bingung, memang sebaiknya ngadu sama Allah," saran Bu Wati.

"Ya, Bun. In syaa Allah, aku siap apa pun yang bakal jadi keputusanku nanti," sahut Radit.

"Nah, itu wajib. Karena, setiap keputusan memang punya risiko masing-masing."

Selalu ada ketenangan yang dirasakan Radit setelah berbicara dengan bundanya. Matanya seolah terbuka lebar. Jelas hal ini bisa membuat otaknya berpikir jernih.

Makan selesai. Radit membantu bundanya membawa piring kotor ke dapur. Mencucinya seperti anak perempuan sembari berbincang lagi.

"Eh, iya, Bunda sampai lupa. Nanti, kalau kamu sudah selesai. Tolong, antarkan soto ini ke rumah Kania, ya. Dia kan juga suka seperti kamu," pinta Bu Wati yang ternyata sedang memanaskan kuah soto di kompor.

"Harus sekarang, Bun?" tanya Radit. Tangan kanannya memegang spon yang berbusa.

"Iya, atuh. Kan, biar enak dimakan."

"Aku malas, Bun." 

"Eh, kok, anak Bunda malas."

"Besok aja, ya."

"Ya, jangan atuh."

Radit bukan malas mengantarkan soto. Akan tetapi, ia condong belum siap bertemu Kania. Di kantor saja, ia berusaha menghindar. Maka dari itu, jika boleh bernegosiasi. Ia tak ingin melakukannya sekarang.

"Kalau ngasih makanan ke orang itu tidak boleh yang kemarin. Harus yang baru dimasak. Memang tidak masalah, tapi kita harus tau sopan santun," nasihat Bu Wati.

Radit yang masih mencuci piring pun tak punya pilihan. Ia akhirnya menyetujui perintah bundanya.

"Iya, Bunda. Aku anterin sekarang," jawab Radit.

Bu Wati menoleh ke samping. Posisi kompor dan tempat cuci piring memang bersebalahan. Ibu paruh baya itu tersenyum senang sekaligus bangga. "Kamu memang anak baik."

Terpopuler

Comments

◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾

◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾

ayo cerita

2022-10-06

1

Tatiastarie

Tatiastarie

ish... Radyt ko begitu sii kania udah tau dari orang lain lebih cerita aja minta masukan dari kania....

2022-10-02

1

Bunga

Bunga

jangan bimbang dit

2022-08-27

0

lihat semua
Episodes
1 Bolos yuk!
2 Tawaran Pak Joni
3 Berbicara dengan Desi
4 Seutas berita dari divisi sebelah
5 Radit bimbang
6 Konyolnya Adit
7 mengantarkan makanan
8 Saling menghargai
9 Menerima tawaran
10 Makan bertiga
11 Liburan keluarga
12 melihat kepergian
13 Hari liburan
14 Kania sakit
15 Baru tahu Kania sakit
16 Desi datang
17 Radit menjenguk Kania
18 Nasihat Ayah
19 Bertemu lelaki asing
20 karyawan baru
21 Rangga
22 wanita baru
23 Jangan resah soal jodoh
24 nonton bersama
25 Gendis
26 memenuhi keinginan Gendis
27 Kania jujur
28 Segelas teh manis misterius
29 Ada yang janggal dari Rangga
30 Gamis hijau
31 Tentang Rangga
32 Radit bersama Gendis
33 Radit pulang
34 Adit merajuk
35 Siapa Rangga?
36 Rangga kesal
37 Jalan bersama
38 Bertemu Rangga
39 debat
40 Memasak nasi goreng
41 Jangan bayar pakai uang
42 Terciduk Pak Gani
43 Rangga geram
44 Dua bola mata
45 Kania dipanggil Pak Gani
46 Jatuh cinta pandangan pertama
47 Rendang
48 Kedatangan Pak Kemal
49 Makan bersama dengan tim
50 Datanglah ke rumah
51 Keputusan Kania cepat
52 Radit gelisah
53 Masa lalu Gendis
54 Kania membuat resah orang tua
55 Rangga menunggu
56 Kania ke klinik perusahaan
57 meeting
58 Soal keturunan
59 Jawaban Radit
60 Tak sengaja
61 Mendapatkan izin
62 Radit pulang
63 Malam sebelum lamaran
64 Tamu tiba
65 Niat yang sama
66 Keputusan Kania
67 Radit dan Kania
68 Kania datang ke butik
69 Kedatangan Radit
70 Kembali ke rutinitas
71 Satu ruangan
72 Berdebat lagi
73 Jangan mundur
74 Membeli cincin pernikahan
75 Hujan
76 Nasi goreng
77 Adit mengkhawatirkan Kania
78 Hari tiba
79 Radit memberi salam
80 Malam pertama
81 Tendangan maut
82 Mengikat dasi
83 Makan siang
84 Cup kopi.
85 Rangga pergi duluan
86 Kabar baik
87 Kotak susu
88 Pengangkatan Rangga
89 Dia datang
90 Menemui Rangga
91 Selamat bergabung
92 Kenapa tidak resign?
93 Salah atau tidak?
94 Lebih sulit mengikhlaskan.
95 Perintah Rangga
96 Dua paket ayam.
97 Sewa rumah
98 Terima kasih
99 Ridho Rangga.
100 Menangis.
101 Pulang
102 Jangan ikut campur.
103 Cerita Rangga.
104 Saksi.
105 hapal ruangan.
106 Rangga khawatir.
107 UKS
108 Jangan khawatir.
109 Menginap
110 Jawaban
111 Pergi Bekerja
112 Angin Malam
113 Niat
114 Berdua
115 Pulang
116 Janji.
117 Mengulang Masa Lalu
118 Anak Dan Ayah
119 Tes
120 Ayah, Ibu.
Episodes

Updated 120 Episodes

1
Bolos yuk!
2
Tawaran Pak Joni
3
Berbicara dengan Desi
4
Seutas berita dari divisi sebelah
5
Radit bimbang
6
Konyolnya Adit
7
mengantarkan makanan
8
Saling menghargai
9
Menerima tawaran
10
Makan bertiga
11
Liburan keluarga
12
melihat kepergian
13
Hari liburan
14
Kania sakit
15
Baru tahu Kania sakit
16
Desi datang
17
Radit menjenguk Kania
18
Nasihat Ayah
19
Bertemu lelaki asing
20
karyawan baru
21
Rangga
22
wanita baru
23
Jangan resah soal jodoh
24
nonton bersama
25
Gendis
26
memenuhi keinginan Gendis
27
Kania jujur
28
Segelas teh manis misterius
29
Ada yang janggal dari Rangga
30
Gamis hijau
31
Tentang Rangga
32
Radit bersama Gendis
33
Radit pulang
34
Adit merajuk
35
Siapa Rangga?
36
Rangga kesal
37
Jalan bersama
38
Bertemu Rangga
39
debat
40
Memasak nasi goreng
41
Jangan bayar pakai uang
42
Terciduk Pak Gani
43
Rangga geram
44
Dua bola mata
45
Kania dipanggil Pak Gani
46
Jatuh cinta pandangan pertama
47
Rendang
48
Kedatangan Pak Kemal
49
Makan bersama dengan tim
50
Datanglah ke rumah
51
Keputusan Kania cepat
52
Radit gelisah
53
Masa lalu Gendis
54
Kania membuat resah orang tua
55
Rangga menunggu
56
Kania ke klinik perusahaan
57
meeting
58
Soal keturunan
59
Jawaban Radit
60
Tak sengaja
61
Mendapatkan izin
62
Radit pulang
63
Malam sebelum lamaran
64
Tamu tiba
65
Niat yang sama
66
Keputusan Kania
67
Radit dan Kania
68
Kania datang ke butik
69
Kedatangan Radit
70
Kembali ke rutinitas
71
Satu ruangan
72
Berdebat lagi
73
Jangan mundur
74
Membeli cincin pernikahan
75
Hujan
76
Nasi goreng
77
Adit mengkhawatirkan Kania
78
Hari tiba
79
Radit memberi salam
80
Malam pertama
81
Tendangan maut
82
Mengikat dasi
83
Makan siang
84
Cup kopi.
85
Rangga pergi duluan
86
Kabar baik
87
Kotak susu
88
Pengangkatan Rangga
89
Dia datang
90
Menemui Rangga
91
Selamat bergabung
92
Kenapa tidak resign?
93
Salah atau tidak?
94
Lebih sulit mengikhlaskan.
95
Perintah Rangga
96
Dua paket ayam.
97
Sewa rumah
98
Terima kasih
99
Ridho Rangga.
100
Menangis.
101
Pulang
102
Jangan ikut campur.
103
Cerita Rangga.
104
Saksi.
105
hapal ruangan.
106
Rangga khawatir.
107
UKS
108
Jangan khawatir.
109
Menginap
110
Jawaban
111
Pergi Bekerja
112
Angin Malam
113
Niat
114
Berdua
115
Pulang
116
Janji.
117
Mengulang Masa Lalu
118
Anak Dan Ayah
119
Tes
120
Ayah, Ibu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!