Kania dan Desi berada di tempat makan. Suasananya sangat ramai dengan tempat yang bersih dan nyaman.
"Tempatnya enak banget, ya," imbuh Desi.
Kania bergeming. Pikirannya tertuju pada Radit. Ada yang janggal. Jelas ini tak seperti biasanya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi.
Desi memperhatikan Kania yang berada di depannya. "Nia, kamu denger enggak?"
Kania tersentak. "Eh, iya. Kamu ngomong apa tadi?" Gadis itu menyeruput es teh manis di depannya. "Maaf, tadi lagi mikirin kerjaan."
Desi tak percaya. "Kamu bohong."
Bola mata Kania terbuka lebar. "Hah! Bohong." Ia mengedipkan mata dua kali. "Kamu ini ada-ada aja."
"Aku benar, kan?" Desi mendesak. Matanya pun memancar tajam. "Aku udah kenal kamu lama. Dari kuliah. Jadi … kamu enggak bisa bohong sama aku."
Kania mengukir senyum. Benar juga. Ia memang sulit menyembunyikan kebohongan. Baik itu pada keluarga ataupun orang lain. Terkadang sifat ini memang sangat baik, akan tetapi adakalanya sifat ini juga membebani.
Desi meraih kedua tangan Kania yang berada di atas meja. Mencoba menyalurkan energi positif agar temannya itu pun bisa lebih tenang.
"Kamu percaya sama aku, kan?" tanya Kania.
Kania mengangguk pelan. "Iya."
"Kalau gitu. Apa yang ada di pikiranmu sekarang?"
Kania diam sejenak, lalu berkata, "Aku cuman ngerasa kalau Radit itu berbeda dua hari ini. Dia kayak yang lagi punya masalah besar, tapi enggak mau cerita sama aku."
Sekilas terlihat raut sedih dari Desi. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa membocorkan suatu rahasia tanpa sepertujuan yang punya. Ini jelas melanggar tatakrama. Hanya saja, hati kecilnya pun menjerit.
Andaikan boleh memilih, ia tak ingin tahu apa pun. Iya benar. Ia seolah mendapatkan beban paling berat.
"Kamu juga ngerasa enggak?" tanya Kania.
Desi melepaskan genggamannya. "Aku kurang yakin. Mungkin karena aku enggak terlalu dekat sama dia."
Kania paham.
Desi memang satu angkatan dengan mereka selama kuliah. Akan tetapi, Desi tidak terlalu dekat. Bukan karena rumahnya tak dekat dengan Radit. Namun, gadis itu lebih suka menyendiri di perpustakaan saat menimba ilmu di universitas.
Kening Kania semakin mengerut. Ia berpikir sangat keras, dan hal ini membuat Desi kasian.
Pesanan mereka datang. Keduanya pun segera menyantapnya setelah membaca doa sesuai kepercayaan masing-masing.
Dalam hati Kania, ia masih belum tenang. Mungkin karena sampai detik ini terus terpikirkan Radit.
"Udahlah, enggak usah terlalu dipikirin. Mungkin si Radit lagi enggak mau terbuka aja," komentar Desi.
Kania sedikit cemberut. "Anak itu kadang penutup juga."
Alis Desi bertautan. "Ya, kan, kalau enggak ditutup mah telanjang namanya, Nia."
"Astagfirullah, bukan itu maksud aku, Des." Kania menggelengkan kepala.
"Terus?"
Kania tak menjawab, ia memilih menghabiskan makan siangnya yang rasanya sangat nikmat.
Pengunjung tempat ini semakin banyak. Termasuk para pegawai kantoran yang berada di area sekitar.
Makan selesai. Desi dan Kania pulang setelah membayar. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum waktu istirahat berakhir.
Begitu mereka sampai kantor. Desi pamit pergi ke pantry dengan alasan ingin membuat kopi.
"Aku buatin satu, ya," pinta Kania. "Biar enggak ngantuk ngerjain tugas."
Desi membentuk hirup O dengan tangan kanannya. "Ok." Gadis itu pun pergi ke arah koridor kanan, sedangkan Kania sendiri segera naik ke lantai delapan menggunakan lift.
Ketika naik lift, ia satu ruangan dengan dua wanita dari bagian penjualan. Mereka tersenyum ramah pada Kania sebagaimana rekan sekantor.
"Eh, kamu udah tau belum?" tanya wanita berbaju merah dengan rambut sepinggang.
Temannya berambut panjang diikat itu pun menoleh. "Soal apa?" Ia terlihat bimbang.
"Aku denger-denger, ada karyawan dari kita yang mau dipindahin ke cabang Bandung, lho. Dan, kabar baiknya, mau langsung diangkat jadi manager."
Kania masih tenang. Ia bukan berniat menguping. Hanya saja pembicaraan mereka bisa terdengar jelas.
Si wanita satunya lagi antusias. "Wah, siapa tuh?" Ia seperti berharap dirinyalah yang dituju.
"Belum tau. Ini baru kabarnya." Wanita berbaju merah itu menggelengkan kepala. Ia baru mendengar kabar ini beberapa jam yang lalu. "Si Eka tadi bilang."
"Eka sekretarisnya Pak Direktur?"
"Iya."
"Terus, dia bocorin enggak nama-namanya?"
"Nah, itu dia. Enggak."
"Yah."
Mereka terlihat kecewa. Dan, hal ini pun membuat Kania ikut kaget. Ia tidak tahu siapa orangnya yang dituju Direktur. Namun, siapa pun itu, ia ikut senang.
"Padahal nawarin ke aku aja, ya." Wanita yang rambutnya diikat tertawa kecil. Harapannya begitu dalam.
"Itu mah, aku juga mau," ujar si wanita berbaju merah.
Tepat di lantai tujuh, dua wanita itu keluar sembari mengangguk pada Kania. Dan, tentu saja Kania pun membalasnya balik.
Pintu lift kembali tertutup bersamaan dengan perasaan Kania yang mendadak cemas tak beraturan. Ada apa ini? Perasaan kian tidak tenang.
Lift berjalan kembali. Tidak perlu waktu lama, Kania pun sampai di lantai delapan. Ia keluar dengan langkah kaki gontai. Namun, tetap harus bekerja seperti biasa.
"Kamu kenapa, Nia?" tanya salah satu rekan kerjanya.
"Wajahmu pucet sekali," timpah temannya.
Kania mengurai senyum. "Enggak kenapa-napa. Aku cuman ngantuk." Memang benar. Rasa kantuk itu mulai menyerangnya. Padahal jam masuk kantor masih ada sembilan menit lagi.
Kania duduk di kursi sendiri.
"Baru juga istirahat, udah ngantuk."
"Tidur aja sebentar."
Begitulah kira-kira tanggapan kedua rekan kerja Kania tersebut. Dan, Kania hanya menanggapi dengan senyuman lagi.
Gadis berhijab itu tak lantas memaikan komputer. Ia memilih mengeluarkan ponsel dari saku jas, lalu mengintip akun media sosialnya. Mencoba menghilangkan perasaan yang tak enak dari hati.
***
Di tempat lain, Desi rupanya mencari Radit. Ia sempat mengirimkan pesan pada lelaki itu untuk bertemu di dekat mushola. Tempat di mana tak banyak orang tahu. Ada hal yang perlu ia bicarakan dengan lelaki itu.
Desi sampai di dekat mushola. Benar saja, suasananya sangat sepi. Tak banyak orang yang ada di sana. Mungkin karena bukan jam salat.
"Ni, orang ke mana, sih!" gerutunya. Ia tak punya banyak waktu.
Sedetik kemudian, Radit datang dengan tergesa-gesa. Lelaki itu baru saja membaca pesan Desi tersebut.
"Ada apa?" tanya Radit setelah ada di dekat Desi.
Desi kaget, ia hampir akan loncat. "Kamu datang bilang dulu napa!" Gadis itu kesal, lalu menghadapkan dirinya ke arah Radit.
Radit mengatur nafas sebaik mungkin. Ia bisa dikatakan setengah berlari untuk bisa menemui Desi. "Kamu mau bicarain soal apa? Ini udah mau masuk jam kerja."
Desi menarik nafas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu berkata, "Kamu punya rahasia yang disembunyikan dari Kania, kan?" Ia langsung ke inti permasalahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
nyimak lagi
2022-10-06
0
Tatiastarie
ish... radyt bicara aja bsik' sama kania ini kan bagus buat masa depan kamu berdua
2022-10-02
0