Perusahaan yang bergerak di bidang makanan siap saji ini memang sangat pesat perkembangannya. Banyak karyawan bekerja di gedung berlantai sepuluh ini. Mereka punya jabatan dan pekerjaan masing-masing.
Kania bekerja di lantai delapan, di mana tempatnya divisi keuangan berada. Di sana, ia memiliki seorang teman perempuan bernama Desi. Seorang wanita yang usianya hanya beda sebulan dengan Kania.
"Hallo, Kania Sayang," sapa Desi. Gadis cantik bermata coklat. Warna bajunya begitu menarik dan membuat gadis itu semakin terlihat menawan. "Kamu baru datang?"
"Assalamualaikum," kata Kania.
"Wa'alaikum salam," jawab Desi.
Kania duduk di kursi sebelah Desi. "Iya, nih, Bestie. Aku kesiangan tadi."
"Hah!" Desi seolah tak percaya. "Kesiangan? Mana mungkin seorang Kania kesiangan."
Kania menyimpan tas di meja, mengeluarkan ponsel, lalu menyalakan komputer. "Aku juga manusia biasa, Des."
Desi masih menghadap ke arah Kania. "Iya, aku tau. Tapi, kamu, kan, biasanya bangun dari jam tiga malam. Suka sholat malam dulu."
Terdengar embusan nafas kasar dari Kania. Semalam ia sama sekali tak menjalankan shalat malam, dan begitu bangun matanya langsung diberi hadiah menarik. Pukul enam pagi kurang lima belas menit, sungguh ia saja sampai terburu-buru mengambil wudu dan salat Subuh.
"Apa jangan-jangan kamu?" Telunjuk kiri Desi menuding. Matanya menatap lekat temannya tersebut. "Kamu bergadang, ya?"
Kania menggeleng. "Aku cuman enggak bisa tidur aja, Des."
"Masih kepikiran?" Desi bernada serius.
Kania diam. Layar komputer sudah nyala.
"Biarin aja ngalir. Kalau dia enggak peka, udah anggap aja enggak ada." Desi menghadapkan badannya kali ini ke layar komputer miliknya. "Kamu enggak perlu mikirin. Kan, kamu yang bilang sendiri. Kalau jodoh, enggak bakal lari."
Kania menggangguk-anggukan kepala. Suasana kantor pun mulai ramai, pegawai berdatangan dengan segudang aktivitasnya. Mereka saling bahu membahu menyelesaikan kegiatan sesuai porsinya masing-masing.
Jam makan siang tiba bersamaan dengan azan Dzuhur. Kania bergegas ke mushola, sedangkan Desi memang sedang tidak melaksanakan salat.
Desi menunggu Kania di lobby kantor. Ia duduk diam sembari bermain ponsel. Men-scroll akun Instagram dan mencari berita paling hangat seputar kehidupan fublik figur.
Matanya tak sengaja melihat Radit bersama Pak Joni, mereka baru saja selesai melaksanakan salat Dzuhur.
Keduanya duduk di meja depan Desi. Radit sendiri membelakangi Desi, sedangkan Pak Joni berhadapan dengan Radit.
"Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya Pak Joni.
Radit tak langsung menjawab, ia benar-benar berada di dua pilihan yang sangat membingungkan.
"Di sana, kamu bisa naik jabatan," sambung Pak Joni.
Desi tertarik dengan pembicaraan mereka. Berpura-pura meneruskan bermain ponsel. Akan tetapi, sebenarnya sedang menajamkan pendengaran.
"Ini kesempatan bagus buat kamu, Dit. Kapan lagi bisa naik jabatan." Pak Joni seolah sedang merayu.
Radit ragu. "Saya belum bisa memutuskan, Pak."
Pak Joni menepuk bahu kanan Radit. "Pikirkan matang-matang. Ini soal karirmu. Kamu masih muda, dan kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali."
Radit paham. Hanya saja, ada yang membuatnya berat menerima tawaran ini.
Sejenak mereka diam, bergelut dengan isi pikiran masing-masing. Beberapa detik kemudian, Pak Joni pun berdiri. Kembali menatap Radit lekat. "Saya kasih waktu dua hari. Pikirkan matang-matang dan putuskan yang menurutmu baik. Apa pun keputusanmu, itulah yang akan menentukan karirmu ke depannya."
Tanpa menoleh sedikit pun pada Desi, Pak Joni pun segera ke arah lift.
"Baik, Pak. Terima kasih," jawab Radit dengan pikiran tak menentu.
Desi memperhatikan gerak-gerik lelaki di depannya, ia terlihat gusar. Mungkin ada beban yang tengah menimpa diri Radit. Ini sangat jelas.
Tiba-tiba Kania datang dari arah depan, gadis itu melambaikan tangannya ke arah Desi.
Radit tak menyadari. Sebab, lelaki itu tengah menunduk.
Kania berjalan dengan mata menatap penuh tanda tanya. Ada apakah dengan Radit?
Mungkinkah sesuatu terjadi pada temannya itu?
Kania semakin mendekat, ia kini berdiri di samping Radit. "Kamu kenapa, Dit? Masih pertengahan bulan, udah lesu."
Desi membungkam mulut. Ia yakin jika Kania belum tahu tentang apa yang dibicarakan Radit dan Pak Joni beberapa hari lalu.
Radit kaget. "Kamu datang bukannya salam!" Lelaki itu langsung memasang wajah jauh berbeda dari yang tadi, sedikit ceria. "Enggak baik tau."
"Ya, ya." Kania lupa. "Assalamualaikum, Radit."
"Waalaikum salam," jawab Radit.
Desi menahan tawa di belakang. Mereka terkadang seperti anjing dan kucing, saling berselisih. Namun, tak akan lama. Mungkin karena sudah berteman sejak dari kandungan ibunya masing-masing.
"Kamu sakit?" tanya Kania yang melihat Radit memijat keningnya.
Radit menggeleng cepat. "Enggak."
Pandangan Kania beralih pada Desi, lalu bertanya, "Des, dari tadi kamu liat dia seperti ini terus enggak?"
Seketika Radit tersentak, lalu berbalik badan, dan menemukan Desi yang tersenyum lebar seperti mengetahui sesuatu.
Mata Radit berusaha tak terlalu lekat melihat, ia kembali membuang pandangan ke sembarang arah. Hatinya kini berkecambuk.
Sejak kapan Desi di sini?
Apakah dia mendengar semuanya?"
Banyak pertanyaan yang timbul di benak Radit. Namun, lelaki itu tak berani bertanya untuk sekarang. Sebab, ada Kania di antara mereka.
Desi berlagak seolah tak ada apa-apa. Ia tersenyum lebar menyambut pertanyaan Kania. "Iya. Dari tadi si Radit ngelamun aja. Padahal, kan, baru pertengahan bulan."
Mata Radit terbelalak. Ia tak yakin jika Desi tidak mendengar percakapannya tadi. Atau mungkin bisa saja gadis itu pura-pura tak mendengar demi menjaga perasaan Kania. Ya … tak menutup kemungkinan itu alasannya.
Kania beralih pandangan pada Radit. "Uang kamu beneran udah habis, Dit?"
Radit membuang nafas kasar. "Enggak lah. Aku cuman lagi pusing aja." Radit berbohong.
Desi bergeming, sedangkan sudut mata kanan Radit melihat perubahan ekspresi dari Desi tersebut. Ini semakin meyakinkan dirinya jika teman se-divisi dengan Kania tersebut menyembunyikan sesuatu.
Desi berdiri, ia rasa situasinya tak baik-baik saja. Sebab, Radit terlihat cemas. "Ayo, kita makan siang. Aku udah lapar, nih." Gadis itu bergerak dua langkah mendekati Kania. "Mie ayam pedas sepertinya enak."
Kania teringat akan niatnya sebelum salat tadi. "Ah, iya. Ayo."
"Kamu mau ikut enggak?" tanya Desi pada Radit.
Tak ada rasa lapar yang datang menemui perut Radit. Ia rasa tidak ingin makan sesuatu. Mungkin membuat kopi di pantry adalah jalan yang baik untuk menenangkan pikiran saat ini. "Enggak, makasih. Aku mau bikin kopi aja."
Kening Kania mengerut. "Bukannya tadi jam sepuluh, pas aku ke pantry. Kamu lagi bikin kopi juga, Dit?"
Kania tak salah lihat.
"Iya. Tapi, pengen ngopi lagi," jawab Radit.
"Jangan kebanyakan ngopi. Nanti kamu enggak mau makan," tegur Kania.
Hati Desi terenyuh, sakit. Ia mungkin bersalah karena sudah ikut menyembunyikan tentang ini dari Kania. Namun, ia juga tak bisa membongkar rahasia orang lain.
Desi menggandeng tangan kanan Kania. "Udah mau habis waktu istirahat, nih. Ayo, berangkat." Gadis itu pun membawa Kania pergi meninggalkan Radit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
lanjut
2022-10-06
1
Krystal Zu
hai kak aku udah tinggalin like dan hadiah ya mampir juga yukk ke novel baru aku Kabut Cinta Samudera
2022-10-03
2
Tatiastarie
galau radyt knp demi masa depan kamu esih dan berjuanglah....
2022-10-02
0