Quinsy tengah asik memakan cemilannya diatas ranjang besar kesayangannya, sambil menonton acara drakor dari laptopnya.
Klak..!
Suara pintu terbuka, dan munculah sang Kakak dari balik pintu itu. Pria itu terus berjalan mendekati Quisy yang acuh akan kehadirannya. Duduk di samping sang Adik, dan menemaninya menonton acara yang tidak ia sukai sama sekali.
"Tumben Kakak ke sini? Ada apa?" Tanya Quinsy yang melihat kegundahan di wajah sang Kakak. Tak ada jawaban dari lelaki itu, hanya terdengar helaan nafas yang panjang.
"Kenapa sih?! Udah kaya orang yang abis diputusin aja, gak mungkinkan Kakak kesini cuma buat ikut nonton drakor?"
Morgan terkekeh mendengar ucapan Quinsy, ia kemudian menceritakan hal yang membuatnya bingung saat ini. Pasalnya, ia harus kembali ke Indonesia untuk menangani bisnis di sana dan meninggalkan sang Adik sendirian di kota besar nun jauh ini.
"Kamu yakin, nggak papa Kakak tinggal? Kalo nggak, kamu ikut Kakak pulang ke Indo aja gimana?"
"Enggak Kak, i'm ok. Toh Kakak di sana cuman seminggu aja. Kalau Papah udah sehat Kakak kan bisa balik lagi."
Walau sebenarnya Quinsy sangat merindukan Negara kelahirannya itu namun, ia masih enggan untuk kembali kesana. Dia belum bisa melupakan sang kekasih yang telah lebih dulu meninggalkannya. Rasanya begitu menyesakkan bila mengingat kembali tentang kepergian sang pujaan hati.
Quinsy tak pernah menceritakan rasa sakit yang dialaminya. Ia berusaha terlihat tegar dihadapan semua orang. Seolah-olah, ia masih baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, darah lebih kental dari pada air. Seluruh keluarganya mengetahui seberapa terlukanya ia. Hingga mereka mengizinkan Tuan Putri mereka hidup di negara yang jauh. Meskipun itu ditemani oleh sang Kakak kedua, tetapi tidak terbiasa berjauhan dengan Quinsy membuat keluarganya yang di Indonesia merasa kekosongan yang begitu nyata.
Morgan memeluk raga sang Adik, lalu meninggalkannya di kamar itu sendiri. Debaman di pintu menyisakan Quinsy yang seorang diri di kamarnya. Kesunyian segera merayapi ruanan itu, walau matanya terlihat menatap layar laptop namun pikirannya sedang berada di tempat lain.
Drama korea yang bertemakan komedi, nyatanya tak mampu menghibur kekosongan di hati gadis muda itu. Lagi-lagi, air mata lolos begitu saja tanpa izin dari sang empu. Isakkan tertahan dari Quinsy justru makin menyiksa batinnya. Janji yang ia buat agar tetap bahagia dan menjalani hari-hari dengan awal baru ternyata tak semudah mengikrarkan.
Sekuat apa pun dia mencoba melupakan kenangan tentang seorang Marfin Jafier yang pernah mengisi hatinya, kenangan itu justru terus terulang dalam memory otaknya seperti sebuah hologram otomatis, yang menampilkan kejadian demi kejadian. Perlahan, gadis manis yang kini tengah berusaha keras menghalau kesedihannya menarik nafas dalam, dan kembali menghembuskan ke udara. Berharap penat di dadanya bisa perlahan berkurang, seiring berhembusnya udara dari mulutnya.
Hari keduanya berkerja sebagai pelayan paruh waktu tanpa gajih di caffe milik sahabat barunya, Quinsy kali ini nampak tengah bersemangat. Sebab, semalam ia mendapat kabar bila sang Kakak sulung akan mengunjunginya bersama anak dan istrinya ke New York.
Senyum di wajah Quinsy yang awalnya mekar indah seperti kelopak sekuntum mawar di pagi hari mulai meredup, kala melihat kedatangan seorang pria menjengkelkan yang melambaikan tangan padanya. Dengan terpaksa, Quinsy menghampiri pria itu dan menanyakan menu pesanannya.
"Selamat sore Tuan, ingin pesan apa?"
"Aku akan memesan apapun yang kamu sebutkan."
Tiba-tiba terlintas di pikiran Quinsy untuk memberi sedikit pelajaran pada pria menyebalkan dihadapannya ini. Quinsy kemudian menyebutkan menu-menu yang bercita rasa pedas. Gadis itu pun menambahkan lebih banyak saus dimakanan itu.
Namun sayang, rencananya untuk mengerjai Glen justru berbalik padanya. Pria itu menyuruh Quinsy untuk mencicipi setiap menu yang dibawanya. Alhasil gadis itupun menangis merasakan betapa pedas makanan itu. Dengan terburu-buru, dia berlari menuju dapur untuk mengambil air minum. Hingga ia tak sengaja menyenggol seorang pria lain yang bertubuh tinggi tegap, membuat lelaki itu tersungkur ke lantai.
Melihat itu mata cantik Quisy terbelalak, pria tadi pun bangkit dan ingin melayangkan pukulan kewajah gadis muda itu. Namun, tak ia lakukan karena terpesona oleh kecantikan yang dimiliki Quinsy.
"Hei manis, apakah aku menakutimu? Tenang saja, aku tidak akan menuntut perbuatanmu ini pada bosmu, asalkan kau mau menemaniku malam ini." Ucap pria tadi sambil merengkuh pinggang ramping Quinsy dan mendekatkan padanya.
Sekuat tenaga Quinsy mencoba mendorong tubuh lelaki itu, tapi tetap saja tidak bisa, karena perbedaan kekuatan di antara keduanya. Pria bertubuh tinggi yang tengah memeluk Quinsy makin gemas atas penolakan yang dilakukan gadis muda itu.
Dia mendorong tubuh Quinsy hingga terbaring diatas meja dan ingin mencumbui gadis itu. Untungnya Glen segera datang dan menghajar lelaki itu hingga tak mampu lagi berdiri. Emosinya tak bisa dibendung, melihat gadis yang diincarnya hampir dilecehkan oleh lelaki lain.
Glen terus melayangkan pukulan dan tendangan pada lelaki tadi yang sudah tidak berdaya. Hingga petugas keamanan di caffe itu datang dan melerai mereka. Quinsy yang melihat buku jari dan wajah Glen yang terluka akibat perlawanan dari lelaki tadi, segera menariknya ke ruangan pribadi Sonya untuk mengobati luka-luka itu.
Tanpa bertanya ataupun melakukan perlawanan, Glen hanya mengikuti langkah Quinsy yang membawanya. Mendudukan lelaki itu di sofa, Quinsy mulai membersihkan luka-luka di lengan dan wajah Glen menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol olehnya tadi.
Dengan sangat perlahan dan penuh kehati-hatian, Quinsy mengoleskan salep luka dilengan lelaki itu.
"Sssh...!" Desah Glen merasakan perih pada lukanya. Quinsy dengan sigap memberikan tiupan pada lengan lelaki itu, sambil terus mengoleskan salep di setiap lukanya.
Tinggal luka disudut pelipis dan ujung bibir yang belum diobati oleh Quinsy. Gadis muda itu perlahan mendekatkan wajahnya pada Glen hingga membuat lelaki itu menelan ludahnya kasar.
Degh..! Degh..!
Jantung Glen berdetak kencang kala menatap bibir Quinsy yang tengah meniup luka di sudut bibirnya. Ada desiran aneh yang terjadi pada organ tubuhnya, kala menatap langsung Quinsy dari jarak sedekat ini. Gadis muda, yang tidak bisa dipungkiri memiliki wajah teramat cantik dihadapannya saat ini sangat mempesona.
Untung saja, Quinsy telah selesai mengobati luka-lukanya. Bila tidak, Glen tidak bisa menjamin nasib gadis itu selanjutnya.
"Terimakasih kamu sudah membantuku, dan maaf karenaku kamu kini terluka." Ucap Quinsy tulus dengan nada lembut pada Glen.
Untuk pertama kalinya, gadis muda dihadapannya itu mengucapkan kata-kata lembut. Kesenduan yang tergambar jelas di wajah Quinsy, membuat Glen ingin menerkamnya saat ini juga. Namun, ia masih bisa mengontrol nafsunya. Mengingat ia ingin menaklukan gadis cantik itu, dan membuatnya melemparkan diri secara suka rela padanya.
"Aku tidak butuh ucapan terima kasih darimu Nona manis. Jangan lupa aku adalah seorang pembisnis, jadi aku menginginkan sebuah tindakkan untuk tanda balas jasa."
"Huh! Dasar cowok nyebelin! Nolongin orang aja ga iklas? Malah minta balasan lagi." Gumam Quinsy dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang sudah pasti tidak dimengerti oleh Glen.
"Apa katamu?"
"Tidak, kamu ingin aku melakukan apa?"
Glen bergerak mengikis jarak antara posisi duduk dirinya dan Quinsy. Hingga wajahnya begitu dekat dengan telinga gadis itu. Dengan sengaja Glen membisikan kata-kata ketelinga Quinsy, dan membuat mata gadis itu terbelalak.
BERSAMBUNG....
♡Jngan lupa untuk selalu like dan favoritnya ya...😄😄♡
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-07-03
0