Hari ini Elleina berkesempatan menghadiri undangan tea party di kediaman viscount Juile. Untuk pertama kalinya aku menghadiri acara seperti ini setelah pernikahanku. Aku harap aku dapat menikmati acara semacam ini, mungkin.
“Selamat datang nyonya Whitterdern. Kami sudah menunggu anda.” ujar si pemilik pesta, Dane Juile.
Elleina tersenyum padanya dan langsung duduk setelah dipersilahkan.
“Lama tidak bertemu nyonya Beille.” Elleina menyapa seorang nyonya muda yang duduk disampingnya. Terakhir Elleina mengobrol dengannya saat ulang tahun ratu tempo hari.
“Senang bertemu dengan anda kembali nyonya Whitterdern.” balasnya.
Elleina cukup puas menghadiri acara seperti tea party ini. karenanya ia dapat bertemu dengan wanita-wanita bangsawan lainnya dan membangun hubungan pertemanan. Bisa di bilang Elleina akrab dengan nyonya Beille, karena usia kami tidak jauh berbeda.
“Tidak lama lagi akan ada festival bunga kerajaan, bunga apa yang akan kalian berikan pada suami kalian??” tanya nyonya Juile pada teman-teman yang ia undang.
Festival bunga. Di kerajaan ini akan ada satu hari dimana kamu dapat memberikan bunga pada seseorang yang kamu cintai. Jika sudah menikah, bunga diberikan pada masing-masing pasangan dan jika belum menikah, dapat diberikan kepada orang tua atau teman yang dicintai. Setelah itu akan dilanjutkan dengan festival biasa. Seluruh kerajaan akan dipenuhi dengan bunga yang warna warni.
Indah memang.
“Aku tidak tahu, hanya saja suamiku selalu memberikan ku bunga matahari.” jelas nyonya Beille.
“Bagaimana dengan anda nyonya Whitterdern? Tahun ini merupakan pertama kalinya anda akan menerima bunga dari suami anda.” tanya nyonya Juile pada Elleina.
Elleina bahkan tidak memikirkan sampai kesitu.
“Saya tidak tahu, suami saya adalah seorang yang penuh dengan kejutan.” jawabnya asal.
“Tahun lalu, saya mendengar bahwa tuan Whitterdern selalu memborong habis mawar putih di seluruh kota saat festival bunga berlangsung.”
Ucapan dari salah satu tamu yang ada di tea party membuat Elleina sedikit kaget.
“Mawar putih ya, itu sangat romantis.”
“Walau terkesan monoton, saya rasa terdapat ketulusan yang dalam.”
Entahlah, Elleina tidak tahu bahasa bunga. Hanya saja jika itu mawar putih tentu bukan miliknya.
Boleh dikatakan suaminya gila? kasihan? Jika tiap tahun ia selalu memborong habis mawar putih di kota hanya untuk satu orang, itu gila namanya. Padahal Elleina tidak ingin mengasihaninya. Namun, mendengar hal gila seperti itu rasanya Grexyn semakin sakit.
Jujur saja, Elleina jadi sedikit kepikiran tentang festival bunga yang sebentar lagi akan datang. Hal ini bertepatan dengan datangnya musim panas dan berakhirnya musim semi, dimana semua Bunga akan bermekaran indah dan berwarna.
“Rose, tentang festival Bunga yang akan datang, kamu selalu memberi bunga dengan siapa??” tanya Elleina pada Rose yang sedang menyisir rambutnya.
“Saya tidak melakukannya, karena saya tidak memiliki orang spesial.” jawab Rose.
“Bahkan orang tuamu?” tanya Elleina.
“Nyonya, saya yatim piatu dari kecil.”
“Aahh, maafkan saya Rose.” Elleina merutuki betapa ingin tahunya dirinya terhadap orang lain.
“Apa nyonya sedang bingung memilih bunga untuk tuan?” tanya Rose penasaran.
“Apa aku harus melakukannya Rose?” tanya Elleina kembali.
Dalam hatinya, Elleina tidak berpikir untuk memberi bunga kepada Grexyn. Kejam memang, namun inilah hati Elleina.
“Ba-bagaimana bisa nyonya mengatakan hal seperti itu, bukan kah kalian adalah suami istri?” ujung-ujungnya Rose yang canggung.
Elleina menatap pantulan dirinya dalam cermin. Grexyn memang suami sah Elleina, namun bukan orang yang spesial bagi wanita itu. Apa ini sudah keterlaluan?
*
*
*
Sementara itu, di ruangan kerja Grexyn. Leon yang sudah mengetuk pun masuk dengan membawa tumpukkan kertas berisi pekerjaan Grexyn. Padahal di atas meja pria itu masih bertumpuk.
“Ah, iya tuan. Tentang festival bunga tahun ini.” ujar Leon membuka pembicaraan.
“Lakukan saja seperti biasa, karena pekerjaan akhir-akhir ini sedikit banyak jadi kupercayakan padamu untuk mengurus semua bunganya.” ucapan Grexyn tentu membuat Leon berkeringat dingin mengingat ia harus memborong habis seluruh mawar putih dalam satu kota.
“Lalu, bagaimana dengan nyonya Elleina?”
Benar, kini Grexyn sudah memiliki istri. Jika di tahun belakang ia selalu memberi mawar putih untuk Alice. maka pada tahun ini Elleina hadir.
“Lakukan saja seperti yang ku perintah.” ujar Grexyn lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Baik tuan.” Leon langsung undur diri dari hadapan Grexyn.
Klek!
“Bagaimana tuan Leon?” ternyata Rose dan Monica sudah menunggu Leon keluar dari ruang kerja Grexyn.
Leon menggeleng, tanda harapan yang mereka inginkan pupus begitu saja.
“Hufftt, benar-benar. Bahkan nyonya pun tidak berpikir akan memberikannya juga.” ujar Rose.
“Benarkah?” tanya Leon dan Monica.
“Beliau justru bertanya, haruskah ia memberikannya. Lalu aku bingung menjawab apa.” jawab Rose sekenanya.
“Rumah ini akan semakin dingin.” ucap Monica khawatir.
Namun, Leon tersenyum.
“Semua akan baik-baik saja, yakinlah dengan pilihan mereka.”
*
*
*
Hujan mengguyur kediaman Whitterdern dan seluruh kota di sekitarnya. cuaca menjadikan suhu di kediaman menjadi dingin, Elleina terpaksa menutup jendela ruang kerjanya agar bias air hujan tidak masuk kedalam. Berakhirnya musim semi selalu diawali dengan cuaca buruk seperti ini, pikir Elleina. Ia bosan jika terus berdiam diri dengan tumpukkan pekerjaan dan tugas kediaman yang ia kerjakan. Elleina memutuskan untuk pergi keluar menikmati hujan tanpa pengawal maupun pelayan untuk menemaninya. Lagi-lagi ia melakukan segala hal sendirian.
Dari semua sudut rumah, taman bunga lah yang menjadi tempat favorit Elleina untuk beristirahat. Ia juga ingat jika taman bunga adalah sumber masuknya ia kepenjara. Elleina merasa geli mengingatnya.
Sayangnya karena hujan Elleina tidak bisa melangkah jauh kedalam taman dan hanya berdiam di teras. Ia tidak membawa payung maupun mantel, padahal hujan masih dengan tenang turun dari atas langit. Walaupun begitu ia menyukainya, suasana dingin dan sejuk, aroma hujan, hingga suara bising oleh rintik air yang mengenai dedaunan. Elleina menyukai hal itu dan membuat pikirannya tenang.
Di tengah ketenangan yang ia nikmati itu, tanpa sengaja Elleina menangkap sosok Grexyn yang sedang duduk di gazebo taman. Pria itu nampak sedang berlindung dan menunggu hujan reda dengan paras datar namun di kagumi oleh wanita seisi negeri, pikir Elleina berlebihan. Kedua tangannya ia lipat didepan dada dan menatap lurus pada hujan, mungkin merutuki kapan akan berhenti. Elleina ingin menarik kata tenangnya barusan dan langsung berpindah ke balik tiang penyangga teras. Hatinya seakan meminta dirinya untuk tidak tampak di mata Grexyn, karena bisa saja suasana hatinya malah menjadi buruk.
Apa aku sejahat ini??- Elleina.
Elleina kembali memutuskan untuk mengintip Grexyn sedikit. Tidak ada perubahan dan masih menatap datar hujan yang awet itu. padahal suasana seindah ini, namun wajah Grexyn tidak berbeda jauh dengan awan mendung di atas.
Elleina menghela napasnya lalu memutuskan pergi, tanpa ia sadari pergerakan kecilnya sudah diketahui Grexyn dari ujung mata biru tajam itu. siapa lagi yang memiliki siluet gaun hitam di rumahnya yang putih itu jika bukan Elleina?
Elleina pikir dari wajah datar Grexyn yang nampak merutuki hujan badai saat ini karena ia masih memiliki banyak pekerjaan yang tertunda. Entah kenapa suaminya itu bisa ada di taman dan terjebak hujan, Elleina tidak bisa melarang karena taman itu juga milik Grexyn. Akhirnya Elleina memutuskan untuk mengeluarkan payung hitam kesayangannya dari dalam lemarinya. Entah bagaimana memberikannya, setidaknya Elleina tidak mencap dirinya jahat karena melihat orang yang kesusahan.
Ya, Grexyn yang nampak dingin setiap hari tanpa henti itu nampak terhalangi oleh hujan.
“Oh!”
Hampir saja Elleina menabrak Leon di persimpangan koridor. Ia terlalu sibuk memikirkan hujan hingga tidak sadar jika Leon dihadapannya dengan wajah khawatir.
“Maafkan saya nyonya, saya terburu-buru karena mencari tuan, namun beliau tidak ada dimana-mana. Sebentar lagi beliau harus pergi ke istana untuk urusan kenegaraan.” ujar Leon panik.
Ohh, Elleina paham maksud dari wajah merutuki hujan oleh Grexyn tadi.
Elleina tersenyum kecil.
“Tidak apa-apa, carilah kembali. Ah iya, di luar hujan pakailah payung saya.” Elleina memberikan payung hitamnya pada Leon. Dengan begini Elleina dapat membantu Leon mencari tuannya. Elleina juga tidak tahu apakah Grexyn masih di taman atau berani menerobos derasnya hujan saat ini. Elleina kembali tersenyum saat Leon berterima kasih padanya dan langsung pamit mencari Grexyn kembali. Dirasa tidak ada yang harus dilakukan lagi, Elleina memutuskan kembali ke ruang kerjanya dan kembali berkutat dengan pekerjaan rumah.
Sementara itu, di waktu yang sama dan di kediaman yang sama namun lokasi yang berbeda. Hujan deras benar-benar mengurung Grexyn di gazebo taman bunga. Awalnya hari begitu cerah dan nyaman untuk beristirahat di taman, namun hujan tidak mengijinkan cerah nya hari untuk berlama-lama menemani Grexyn yang sedang memandang bunga-bunga mawar putih yang ia tanam itu. suasana hati nya semakin buruk saat pekerjaannya yang masih belum selesai terhalangi oleh hujan, terlebih sebentar lagi ia harus pergi ke istana. Ia dapat menerka betapa paniknya Leon.
“Tuan!”
Diamnya Grexyn diretakkan oleh panggilan Leon dari jauh. Pria yang selalu bersama Grexyn itu berlari dari kejauhan dengan membawa payung hitam menghampiri Grexyn.
“Saya minta maaf tidak cepat menemukan anda, mari tuan saya antar anda masuk kedalam."
“Kerja bagus.” Grexyn langsung masuk kedalam lindungan payung hitam itu dan berjalan bersama Leon di bawah hujan.
Mata Grexyn memandang ke atas lembaran payung yang bertuliskan E.R. tentu payung ini bukan miliknya maupun Leon.
“Untungnya saya bertemu dengan nyonya dan beliau meminjamkan payung ini. kalau tidak, saya harus mencari payung lagi.”
Grexyn mengerti, ia sempat melihat sekilas Elleina pergi dari teras belum lama ini. entah kemana wanita itu ingin pergi, Grexyn tidak peduli.
*
*
*
Hari ini tentu berbeda dengan hari yang lalu, jika kemarin kota di guyur dengan hujan. Kali ini kota di sinari mentari yang begitu cerah dan hangat. Elleina merasa tidak ada salahnya jika ia keluar untuk berjalan-jalan di kota. Berbeda dengan suasana tempat tinggal Whitterdern yang hening, kota merupakan tempat yang ramai dengan banyak orang yang dari penjuru daerah. Menghirup udara keramaian membuat dirinya merasa hidup kembali. Berhari-hari ia terus terkurung dalam kediamannya membuat Elleina merasa akan menjadi batu.
“Nyonya, anda terlihat senang sekali keluar rumah.” ujar Rose.
Elleina tersenyum pada Rose yang menemaninya keluar hari ini.
“Sudah lama saya tidak pergi ke pusat kota seperti ini, saya merasakan suasana berbeda disini. Apa kamu lapar? Ayo kita cari sesuatu untuk dimakan.” ujar Elleina sembari mengajak Rose untuk mencari tempat makan.
“Lepaskan dia, biar saya yang membayarnya.”
Baru saja Elleina dan Rose ingin masuk ke sebuah restoran, telinga kedua wanita itu menangkap keributan yang tidak jauh dari restoran. Lebih tepatnya di sebuah depan toko obat herbal.
“Nampaknya ada pencuri.” ujar Rose.
“saya tidak tertarik hanya saja, saya seperti pernah melihat pria itu.” ujar Elleina menunjuk pada seorang pria yang berperawakan tinggi dengan topi bundar menutupi wajah pria itu. sebab mata tajam Elleina mampu menyadari surai emas di balik topi dan sorot mata biru itu. ia biasa melihat bola mata biru shappire bagai lautan dalam dan dingin. Namun, berbeda dengan yang dilihat saat ini. sorot mata itu lebih hangat dan bersahabat.
“Oh!”
Elleina langsung mengalihkan pandangannya saat ketahuan sedang memerhatikan pria misterius itu.
“Nyonya, pria itu kesini.” bisik Rose.
Seketika Elleina langsung tegang karena ketahuan bersikap tidak sopan terhadap orang asing.
“Sepertinya saya pernah melihat anda di suatu tempat.”
Sama seperti yang Elleina pikirkan tentang pria bertopi itu pada awalnya. Namun, kini Elleina yang harus malu karena pria itu jelas menyadari dirinya sedang menatap seperti orang yang aneh.
Elleina memberanikan dirinya menatap kembali pria dengan manik biru teduh itu.
“Astaga! maafkan saya Yang Mulia.”
Elleina lantas membuat Rose kebingungan dengan sikap sopan nyonya nya yang tiba-tiba itu.
“Ternyata saya tidak salah. Anda nyonya Whitterdern bukan?”
“Kehormatan saya dapat bertemu anda pa-.”
“Ssttt!! saya sedang diam-diam keluar dari istana, dapatkah anda tetap menganggap saya orang biasa?”
Elleina jelas mengenal pangeran negeri tempat ia tinggal itu. pangeran Lothair Royaume, pria pemilik surai seindah emas dan mata sebiru lautan nan hangat.
“Baiklah, jika itu keinginan anda. Anda memang rendah hati.” ujar Elleina.
Tawa renyah Lothair lepas begitu saja dan membuat Elleina dan Rose tersenyum tipis.
“Karena itu, saya sangat senang bisa menyapa anda di sini nyonya Whitterdern.”
“Ah! iya, apa yang sedang kamu lakukan disini? Apa Grexyn tidak bersama mu?” tanya Lothair.
Elleina menjadi sulit untuk menjawab dan terdiam sedikit.
“Ah!! benar, pria itu selalu sibuk di belakang meja kerjanya dan selalu menghiraukan yang lain. Sepupu ku pasti menyulitkan mu selama ini, padahal kamu sangat cantik.”
Elleina tahu, pangeran Lothair memiliki sikap lembut dan ramah. Bahkan tidak segan memuji semua wanita yang ia temui.
Apa ia belum menikah? Elleina tahu betul, jika pangeran Lothair menolak untuk menikahi perempuan-perempuan yang ditawarkan untuknya. Tidak kalah dari Grexyn, wanita yang di calonkan untuk Lothair juga cantik-cantik dan cerdas. Elleina tidak mengerti, kenapa pria dihadapannya ini masih setia menyendiri padahal pribadinya begitu hangat dan menawan?
“Saya tidak bisa memaksakan kehendak saya untuk mengganggu beliau ketika bekerja.” ucap Elleina seadanya.
“Nyonya, hari sudah semakin siang. Saya rasa kita harus kembali.” bisik Rose pada Elleina.
Ini mungkin satu dari sekian kesulitan hidup Elleina. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang diluar rumah yang bagai penjara itu. Leon hanya memberikan waktu sampai tengah hari dan ia telah melewati jamnya.
“Nampaknya Grexyn ketat dalam menjagamu.” ujar Lothair dan Elleina saat itu benar-benar ingin muntah.
“Ahaha! saya rasa begitu, kalau begitu saya undur diri.”
“Nyonya Whitterdern, boleh saya tahu nama anda?” sedikit ragu Lothair ingin bertanya.
Sebelum Elleina menaiki kereta kudanya ia kembali memutar kepalanya dan menatap Lothair sembari tersenyum kecil.
“Elleina.”
*
*
*
Rose terus menatap Elleina yang sedang menikmati pemandangan dari luar kereta. Wajah wanita itu tidak ada bedanya dan selalu datar.
“Anda sungguh beruntung dapat bertemu pangeran di kota” ujar Rose membuyarkan lamunan Elleina.
“Hanya kebetulan, siapa sangka tebakan saya mengira ia pangeran itu benar.” tutur Elleina.
“Ia memiliki ciri khas tersendiri”
“Rumornya dulu pangeran Lothair juga menyukai nona Alice.” ujar Rose.
Seketika Elleina langsung tertarik dengan topik yang dibawa Rose.
“Benarkah? Parasnya sangat cantik. Semua pria pasti menyukainya.” ujar Elleina sembari menopang pipinya dan melihat keluar jendela. Wanita itu memikirkan, betapa tidak sebandingnya ia dengan almarhum Alice.
Mantan tunangan Grexyn itu memiliki segalanya didunia; kecantikan, kepintaran, kekayaan, bahkan cinta. Namun kedengkian orang lain serta kematian mematahkan segalanya dan tidak ada yang dapat dirubah sekarang.
“Haaahh...memang lebih baik menjadi amoeba saja.”
“Hee?”
Sungutan Elleina barusan tentu membuat Rose semakin bingung dengan apa yang nyonya nya keluhkan.
*
*
*
“Heh? Tradisi apa yang barusan kamu katakan?” Elleina kembali bertanya kepada Tulipe yang merupakan kepala pelayan yang baru masuk kedalam kamarnya.
“Nuit ensemble nyonya. Tradisi dimana malam bersama nyonya dan tuan besar membuat penerus untuk keluarga Whitterdern.” jelas Tulipe tenang.
“seperti itu...eh, apa!? Kenapa saya baru tahu!?” protes Elleina kaget.
Nuit ensemble berarti malam intim antara ia dan Grexyn. Kepalanya hampir meledak membayangkan apa yang akan terjadi.
“Kenapa malam ini! saya tidak tahu mengenai tradisi ini.”
“Tradisi ini di lakukan ketika nyonya dan tuan besar tidak tidur di kamar yang sama. Demi mencegah sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, maka tradisi ini dijalankan untuk mengakrabkan satu sama lain.”
Elleina mendengar penjelasan yang diberikan Tulipe seperti bom waktu yang akan meledak dan juga untuk mengakrabkan?
“Haa…yang benar saja, mengakrabkan diri?”
“Saya harap anda jangan berbicara sembarangan tentang tuan, akan menjadi masalah jika orang luar mendengar.” tegur Tulipe.
Elleina mengalah, ia tidak bisa melawan ucapan orang yang lebih tua darinya seperti nyonya Tulipe yang sudah berada di rumah ini dari Grexyn belum lahir. Elleina hanya bisa memijit pelipisnya yang tiba-tiba sakit.
“Baiklah, terima kasih Tulipe karena telah mengingatkan posisi saya di sini. Apa ada yang harus saya lakukan untuk tradisi ini?” tanya Elleina serius.
Ia pikir sudah terlanjur masuk kedalam rumah ini, kenapa tidak untuk tradisi dan aturan didalamnya. Elleina harap bisa menikmati sisa hidupnya di dalam rumah dengan kehendaknya tanpa dipaksakan.
Malamnya,
Elleina tidak mengerti, ia tidak tahu apapun itu, demi apapun itu. Ia berada dalam kegugupan dan ketakutan yang tak terkendali. nyonya Tulipe hanya memintanya untuk diam dan menunggu Grexyn ke kamarnya. Iya, yang dapat Elleina lakukan hanyalah menunggu.
Ia dengan gelisah duduk di sofa yang ada diruangannya, membaca buku yang sama berulang-ulang kali dan meremas gaun tidurnya yang berwarna putih itu. menatap gelisah terhadap cahaya bulan yang menembus gorden tipisnya dari jendela besar kamar Elleina. Dia berulang kali menenangkan diri, namun tidak kunjung menemui titik ketenangan itu.
Klek!
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Vera Tambunan
wah...ketemu manusia salju .....gmn ya
2020-08-21
1
🌹Milea 🖤
cieh siap tempur nieh 🤭🤣
2020-08-02
1