Malam beranjak larut. Namun rasa kantuk masih enggan menyapa Jillian yang masih duduk terpaku, menatap seseorang yang terbaring lelap dihadapannya. Setelah berjam-jam disekap rasa canggung, akhirnya Jillian bisa bernafas lega setelah Jeffran memejamkan matanya karena rasa kantuk sehabis meminum obatnya.
Sebelumnya, beberapa permintaan Jeffran yang tidak biasa, terpaksa dikabulkan Jillian meskipun risih. Untuk mengurangi rasa bersalah dan juga berharap Jeffran bisa segera sembuh, Jillian rela mengabulkan keinginan Jeffran untuk memeluk dirinya, disuapi makan olehnya dan tidak lepas menggenggam tangannya.
Jeffran pun sesungguhnya merasa heran, kenapa dengan memeluk dan menghirup aroma tubuh Jillian, memakan makanan buatan Jillian, disuapi oleh Jillian ataupun sekedar menggenggam tangan Jillian, berhasil membuat rasa mual dan muntahnya berkurang. Bahkan menghilang sama sekali.
Bukan tidak mengetahui gejala kehamilan simpatik yang dia alami, tapi fakta kalau kehamilan simpatik umumnya dialami oleh suami yang merupakan ayah kandung dari si bayi, membuat Jeffran meyakini kalau yang dialaminya bukanlah kehamilan simpatik. Dirinya justru menganggap ini adalah bentuk hukuman dari Tuhan, karena selalu bersikap buruk terhadap Jillian. Hingga dirinya bertekad akan mengubah sikap dan perlakuannya terhadap sang istri, agar keadaannya bisa membaik.
"Maaf ... tolong maafkan aku. Aku sungguh tidak bermaksud untuk menyakiti dan memperkossamu. Aku sungguh bersalah padamu, aku sangat menyesal. Tolong maafkan aku."
Deg ...
Hati Jillian serasa dihantam batu besar, mendengar igauan Jeffran dalam tidurnya.
"Apa perkataan Jeffran ditujukan untukku? Apa dia menyesali perbuatannya padaku?" tanya Jillian dalam hati.
Terdengar juga tangis lirih Jeffran, bahkan air mata merembes keluar dari kedua sudut mata Jeffran yang tertutup. Perlahan Jillian menggenggam sebelah tangan Jeffran yang mengepal kuat.
"Maaf ... maafkan aku ...." lirih Jeffran dengan mata masih setia terpejam.
Jillian merasakan matanya begitu panas dan perih melihat Jeffran menangis dalam tidurnya. Ada rasa sedih melihat Jeffran larut dalam penyesalannya. Tapi tidak dapat dipungkiri, rasa sakit hati dan benci masih memenuhi hatinya saat ini. Kejadian malam itu meninggalkan trauma mendalam di hati dan pikiran Jillian. Namun Jillian berusaha untuk tidak menunjukkannya dihadapan Jeffran.
Tangis lirih Jeffran masih saja belum berhenti setelah beberapa menit berlalu. Jillian menepuk pelan lengan Jeffran, berusaha membangunkan laki-laki itu dari tidurnya yang gelisah. Hingga saat Jeffran membuka mata, dirinya langsung memeluk Jillian dengan erat. Wajahnya bertumpu di bahu Jillian, tangisnya pun kembali tumpah meluapkan kesedihan dan penyesalan dihatinya.
"Apa kamu bermimpi buruk?" tanya Jillian berpura-pura tidak tahu.
"Iya Jill. Mimpi buruk yang membuat hidupku tidak pernah tenang." Jeffran semakin erat memeluk tubuh Jillian, menghirup aroma tubuh Jillian yang menenangkan. Perlahan Jillian mendorong tubuh Jeffran, lalu memandang netra Jeffran yang sendu dan sembab.
"Tidurlah lagi." Jeffran menggeleng, tidak mau mengikuti perkataan Jillian.
"Berbaringlah disampingku, Jill." Giliran Jillian yang menggeleng, menolak permintaan Jeffran.
Raut wajah kecewa tidak dapat disembunyikan Jeffran. Namun Jillian sungguh tidak mau menuruti permintaan Jeffran kali ini. Hatinya masih belum baik-baik saja. Jillian justru melepas pelukan dan juga genggaman tangan Jeffran padanya.
"Jill, apa kamu membenciku?" Pertanyaan Jeffran seketika membuat Jillian membeku.
"Apa aku harus menjawab YA? Karena itulah yang aku rasakan padamu," ucap Jillian dalam hatinya.
"Jill, aku merasa kalau kamu masih menyimpan kebencian padaku. Aku minta maaf atas semua sikap burukku padamu. Meskipun kita berdua tidak saling mencintai, tapi aku ingin kita bisa berteman dan menjalani pernikahan ini dengan baik." Jillian hanya mengangguk, mengiyakan perkataan Jeffran.
Sejujurnya dirinya tidak tahu harus menanggapi ucapan Jeffran seperti apa. Karena dirinya tidak ingin berbohong, dengan mengatakan kalau dirinya tidak membenci Jeffran.
"Tidurlah, Jill. Kamu harus menjaga kesehatanmu dan juga anak dalam kandunganmu." Jeffran mengelus lembut perut Jillian, membuat hati Jillian berdesir dan menghangat karena perlakuan manis Jeffran.
"Iya, aku mau tidur sekarang," jawab Jillian datar. Lalu berjalan menuju tempat tidur di sebelah kanan ruangan, yang diperuntukkan bagi keluarga pasien. Sementara Jeffran memandang Jillian yang mulai merebahkan diri dengan memunggunginya.
"Aku sungguh berdosa pada perempuan yang sudah aku rusak kehormatannya. Aku juga seringkali menyakiti hati Jillian. Hingga Tuhan menghukumku dengan rasa bersalah juga penyesalan yang sangat menyiksa. Ya Tuhan, bisakah aku memperbaiki semuanya?" Jeffran membatin dengan tangan menekan kuat dadanya yang terasa sesak.
*************************
Suara Jillian yang sayup-sayup terdengar, perlahan menarik kesadaran Jeffran dari tidur singkatnya. Meskipun sudah sepenuhnya tersadar, tapi Jeffran masih menutup matanya. Demi mendengarkan Jillian yang ternyata sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon.
"Sepertinya aku tidak bisa ke kampus hari ini, Kak Ethan."
"Sial, ternyata Ethan yang menelpon Jillian. Kenapa bocah itu masih saja berani menghubungi Jillian? Padahal aku sudah menyuruhnya untuk tidak mengganggu Jillian lagi," rutuk Jeffran dalam hati.
"Baiklah Kak Ethan. Nanti aku kabari lagi ya. Bye Kak Ethan," ucap Jillian, sebelum menutup panggilan teleponnya.
"Ehem ... jadi kamu masih berkomunikasi dengan Ethan?" Jillian tampak berjingkat kaget, mendengar pertanyaan Jeffran yang tiba-tiba.
"Kak Ethan adalah kakak tingkat sekaligus temanku. Tidak usah berpikiran macam-macam, aku tidak ada hubungan special dengan Kak Ethan. Jadi tidak usah melarangku untuk dekat dengannya, apalagi sampai mengancamnya. Kecuali kalau kamu memang cemburu pada Kak Ethan?" Perkataan santai Jillian langsung ditanggapi raut wajah kesal Jeffran.
"Cih, cemburu. Aku tidak ada perasaan apapun padamu. Mana mungkin aku cemburu?" Jeffran tidak terima dengan perkataan Jillian yang seolah menuduh dan memojokannya.
"Bagus kalau begitu." Jillian lalu mendudukkan dirinya di atas sofa, menyantap semangkuk bubur ayam dan segelas susu hangat.
"Jill, kenapa kamu memanggil Ethan dengan panggilan Kakak, tapi padaku kamu justru memanggil nama? Padahal aku lebih tua dibanding kamu dan juga Ethan. Ethan bahkan memanggilku Kakak," protes Jeffran.
"Karena kamu tidak layak dipanggil Kakak," jawab Jillian hampir tidak terdengar.
"Apa? Coba katakan sekali lagi," tanya Jeffran ingin memastikan pendengarannya barusan.
"Ya kalau kamu bersikap layaknya seorang Kakak yang baik, tentu aku akan memanggilmu Kakak. Tapi jika tidak, untuk apa aku memanggilmu Kakak." Jawaban Jillian yang diucapkan dengan santai itu, nyatanya membuat Jeffran merasa tertohok. Dirinya menyadari, kalau selama ini sikapnya begitu buruk pada Jillian, wajar jika Jillian enggan menghormati dan menghargainya.
"Apa kamu mau aku bantu ke kamar mandi? Sarapanmu sudah diantar, nanti aku akan menyuapimu, jika kamu mau," tawar Jillian.
"Aku bisa ke kamar mandi sendiri, tapi nanti aku ingin kamu suapi ya." Jeffran terlihat menggemaskan dengan ekspresi manja layaknya anak kecil pada ibunya. Namun Jillian hanya mengangguk singkat, menahan senyumnya agar tidak terulas di wajahnya yang manis.
Selang 10 menit kemudian, Jeffran sudah duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Membuka mulutnya, setiap kali suapan dari tangan Jillian mengarah ke dalam mulutnya. Mata birunya tampak berbinar, dengan mulut mengunyah lahap bubur polos, lengkap dengan sup jamur creamy, telur rebus, aneka sayuran, bubur kacang hijau dan segelas susu hangat.
"Kenyaaaang ...." ujar Jeffran, saat semua makanan dihadapannya sudah tandas tak bersisa. Tanpa sadar, lengkungan di kedua sudut bibir Jillian terulas sempurna, membuat Jeffran seketika terkesima.
"Cantik ...!" puji Jeffran dalam hati.
"Jill, bisakah kamu lebih sering tersenyum didepanku? Aku suka melihatmu tersenyum." Perkataan Jeffran bukannya membuat Jillian tersipu, senyumnya justru langsung menghilang dari wajahnya.
"Tentu aku akan sering tersenyum, didepan orang yang bisa membuatku bahagia." Jeffran membeku mendengar jawaban Jillian.
"Dan sepertinya orang yang bisa membuatku tersenyum bahagia bukanlah kamu, Jeff," ucap Jillian dalam hati.
*************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
pensi
padahal mah bilang aja, kalo kepikiran terus.
2023-02-28
1
pensi
mungkin Jill ngga mau kalo ingatan soal traumanya itu kembali lagi. jadi dia memilih menghindar.
2023-02-28
1
pensi
jujur ngga disengaja
2023-02-28
1