Chapter 19 - Rapuhnya Hati

Saling menatap di

riak air

Itulah cara kami

berkomunikasi

Terhubung oleh

hujan ini,

Hey, katakan

padaku apakah saat ini aku terlihat bahagia?

Kumohon tetaplah

jadi sahabatku,

Sampai malam

terakhirku tiba, kuharap kaulah yang menemaniku.

Dibawah langit

yang sama,

Dibawah bintang

yang sama,

Mengapa kita tak

bisa kembali seperti dulu,

Haruskah kita

terus seperti ini?

Hey, katakan padaku

apakah saat ini kau merasa bahagia?

Jika jalan ini

adalah apa yang kau inginkan maka aku akan menerimanya,

Bencilah aku,

pukullah aku dan lupakanlah aku

Aku takkan dendam

padaku sampai nafas terakhirku, kaulah satu – satunya orang yang

menyelamatkanku, memberiku alasan untuk hidup, mewarnai kehidupanku dan

memberikan makna pada sisa nafasku ini.

Di tengah hujan

lebat, Rui terus mengeluarkan seluruh isi hatinya yang sudah lama terpendam

kepada Jay, ia tak pernah menyangka persahabatan yang ia miliki satu –satunya untuk

alasan terus bernafas bisa berubah menjadi musuh tanpa sepengetahuannya.

Jay hanya terdiam

tak ada satupun perkataan Rui yang dibalasnya, hanya saling bertatapan dari

genangan air. Hilangnya sosok Ketua membuat batasan diantara mereka tercipta

kembali.

“kenapa hal ini

bisa terjadi, tolong katakan padaku!” Rui terus menekan Jay

Terlihat Jay

semakin mengepalkan tangannya dan menahan amarahnya sejak awal namun Rui terus

menekannya sampai ia mengatakan alasan apa yang terjadi sampai membuatnya

memusuhi Rui.

Air hujan yang

menetes ditangan Jay tiba – tiba berubah menjadi berwarna merah.

Genangan air

mulai berubah menjadi merah karna Jay dan membuatku terdiam sesaat.

“adikku....” Jay

mulai berbicara

“ia memiliki

penyakit jantung yang membuatnya tak bisa meninggalkan ruang perawatannya.”

“setiap hari

menjalani tes dan juga pemeriksaan yang begitu menyakitkan, namun ia tak pernah

mengeluh saat dihadapanku.”

“hari – harinya hanya

ditemani sebuah TV. Ia melihat seorang pemain bola yang bisa bergerak dan

bermain dengan bebas tanpa ada batasan, saat ia melihat mereka adikku selalu

tersenyum.”

“sambil memegang

dadanya, ia bertanya padaku....”

’apakah adik akan

bisa bermain bola seperti mereka kak?’

“kau tau apa yang

kujawab?”

Jay melepaskan

kepalan tangannya yang berlumuran darah,

“aku menjawab,

Tentu saja kau akan sembuh lalu biarkan kakak yang mengajarimu bermain bola.”

Saat kupikirkan

itu adalah kebohongan yang sangat jelas sekali, para dokter sampai saat ini tak

bisa mengindentifikasi penyakit pada adikku, kemungkinan ia selamat saat itu

hampir mendekati 0%. Itulah yang dikatakan dokter padaku.

Tentu saja aku

tidak memberitaukan hal itu pada adikku,

Saat aku

menyarankan menjadi pelatih sepak bola adikku ia pun tertawa,

“kakak tidak

pernah main bola mana bisa melatih adik.”

“oh kau menantang

kakak ya? Baiklah tunggu saja! suatu saat aku akan membawa piala besar dan

membuktikannya padamu!”

“haha, teruslah

bermimpi kak.”

“itu bukanlah

mimpi! Aku pasti bisa!”

Kami pun tertawa

bersama,

“Hey....”

“iya kak?”

“mau kah kamu

berjanji?”

“hmm?”

“jika kakak

membawa piala besar untukmu, kau harus berjanji untuk sembuh.”

Dengan senyum

lebar gadis kecil itu menjawab “iya! Aku berjanji.”

Karena itu aku

terus berlatih, berlatih dan berlatih dan bersiap mengikuti lomba apapun yang

ada dan memenangkannya. Hari – hariku selalu dipenuhi oleh latihan dan selalu

berubah menjadi sebuah cerita saat bersama dengannya.

Suatu hari saat

aku pulang dari latihanku, diperjalanan ku bertemu sekumpulan orang tertawa

bersama sambil mengangkat sebuah Piala dari lomba sepak bola, orang – orang disekitarku

membicarakan tentang mereka, Sebuah ekskul kecil ditingkatan SMP namun selalu

meraih juara dalam setiap perlombaan yang diikutinya.

Dalam hati aku

bergitu gembira, akhirnya! Akhirnya aku menemukan titik tujuanku. Saat itulah

aku bertemu denganmu. Sejak adanya dirimu aku bisa berlatih dengan lebih

menyenangkan, kau adalah sahabat pertamaku, namun aku harus terus fokus dengan

tujuanku.

Hingga sampai

akhirnya aku memasuki Ekskul itu,namun seluruh posisi dan segala kemampuan yang

kuinginkan semua ada padamu, saat itu kupikir karena aku kurang latihan dan itu

adalah kesalahanku. Tapi kenapa, Kenapa!

Saat perlombaan

pertama kita, kau tidak muncul. Padahal aku sudah berlatih sangat keras demi

hari itu, namun karena pemain kita kurang kami langsung tersingkir dari

perlombaan itu. sebelum aku berangkat aku sudah berjanji pada adikku kalau aku

akan kembali dengan membawa Piala.

Namun karena

dirimu aku kembali dengan tangan kosong.

Aku hanya bisa

berdiam diri didepan pintu ruangan adikku berada, aku tak bisa menatap wajahnya

aku tak tau harus berkata apa padanya. Saat ku berbalik meninggalkan pintu itu

ada dokter dan juga perawat yang berlari kearah sebaliknya.

Benar,

Arah itu adalah

arah ruangan adikku berada.

Saat kusadari,

aku melihat adikku dibawa keruang operasi dengan cepat melewatiku.  Dalam waktu beberapa detik saat mata kami

bertemu, adikku dengan kondisi yang sudah sangat lemah ia menggerakkan

tangannya dengan lambat kearahku sambil tersenyum.

Lebih tepatnya ia

melambaikan tangannya padaku dengan lemah mungkin ia mencoba menyapaku.

1 jam berlalu, dokter

keluar dari ruang operasi dan mengatakan.

“Maaf.”

Seakan waktu

telah berhenti, sepertinya adikku juga mengetahui keadaannya lambaian tangan

itu bukan sebuah sapaan.

Melainkan ucapan

selamat tinggal untukku.

Pada akhirnya aku

tak bisa menepati janji yang telah kubuat sendiri. Perasaan bersalah dan

menyesal selalu menghantui hidupku sejak saat itu.

Andai saja saat

itu kau datang, pasti kita akan menang dengan aku bisa menepati janjiku padanya

dan ia tidak akan pergi dariku.

“Semua ini adalah

salahmu!” Teriak Jay sambil menarik kerah baju Rui,

Setelah mendengar

cerita dari Jay, Rui hanya bisa berdiam diri dan memejamkan matanya.

“kenapa kau hanya

diam saja?! bukankah ini yang ingin kau ketahui! Lalu apa?! Apa yang bisa kau

perbuat!”

“.....maaf....”

Diantara suara

hujan yang memenuhi telinga ini, terdengar sebuah permintaan maaf kecil dari mulut

Rui,

Saat disadari

sebuah tetesan air jatuh ke tangan Jay, berbeda dengan air hujan yang dingin,

air ini terasa begitu hangat membuatku tersadar akan dinginnya tubuh dan juga

tingkahku ini. Ini bukanlah air hujan melainkan air mata dari Rui.

Melihatnya seperti

itu membuatku semakin kesal dan mencoba untuk memukul wajahnya dengan kekuatan

penuh.

“JANGAN TUNJUKKAN

EKSPRESI ITU PADAKU!” ku angkat tanganku dan hendak memukulnya

Namun.....

Hanya dalam satu

kedipan, sebuah pisau sudah mengarah ke leherku.

Aku yakin tak

mendengarkan apapun selain ucapan maaf dari Rui, tak ada langkah kaki ataupun

tanda – tanda kehadiran orang lain. Semua itu terjadi dalam sekali kedipan mata.

“Berhenti sebelum

kau kehilangan lehermu, Jay.” Kata Dion dengan tatapan tajam dan sinisnya.

“D-Dion?”

Apakah dia benar –

benar dion? Dari aura, pandangan mata, ia benar – benar terlihat sangat

menakutkan dan kejam berbeda dengan dion yang ku kenal yang begitu lembut, baik

dan penakut.

“Tanpa kau hajar,

orang itu akan mati tidak lama lagi.”

“M-Mati? Bagaimana

kau bisa mengatakan hal seperti itu Dion!”

“Aku ini bisa

melihat aura kematian seseorang.”

Dion langsung

memberikan pisaunya padaku,

“Yah, itu

terserah padamu jika kau tidak percaya tusuk saja dia dengan pisau itu.”

Terpopuler

Comments

Rose Yura🌹

Rose Yura🌹

wawwwee


suka sukaaaaa

2020-07-12

0

Rozh

Rozh

semangat author 💪🤗

bagus ceritanya😍

oh ya mampir juga di karya pertamaku ya🤗 saran positif nya aku tunggu 🤗

terimakasih

2020-07-11

1

Maira

Maira

Hello kak👋 aku suka cerita kk👍
Udah aku BL + rate 5 + favorite ya kak😄
Salam hangat dri "Semua Karena Paksaan"💙

Semangat kk💪

2020-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!