Namun, karena tidak punya pilihan lain. Abian terpaksa menerima perjodohan yang papanya inginkan. Selain merasa kalau Putri itu termasuk gadis yang lumayan baik, dia juga memikirkan soal ancaman si papa yang begitu kejam pada orang yang sudah tiada.
Sebisa mungkin, dia akan mempertahankan tempat terakhir yang bisa dia lihat dari orang yang paling dia cintai. Dia akan lakukan itu demi almarhumah istri juga anaknya yang telah tiada.
_____
Satu minggu kemudian, Putri dan Abian bertemu di salah satu cafe samping butik. Mereka akan mencoba baju pengantin hari ini. Namun, sebelum menuju butik, mereka janjian di cafe itu terlebih dahulu.
Abian yang duluan datang, langsung menduduki tempat yang sudah mereka booking sama-sama lewat ponsel. Ketika Putri datang, dia agak kaget, juga merasa sedikit tak percaya dengan apa yang matanya lihat.
Bagaimana tidak? Orang yang sedang duduk di meja yang sama-sama mereka pesan itu bukanlah seperti Abian tiga tahun yang lalu. Abian yang dia kenal tiga tahun yang lalu, yang berparas tampan dengan dada bidang, juga wajah bersih.
Abian yang sekarang terlihat sangat berantakan. Rambut panjang acak-acakan dengan kumis dan jengot tebal yang menyeliputi wajah. Benar-benar tidak ada tampan-tampannya sama sekali.
Putri terdiam sejenak sambil terus memperhatikan laki-laki itu. Lalu, dia mantapkan langkah setelah berusaha meyakinkan hati untuk tetap maju menemui laki-laki tersebut.
"Mas ... mas Abian ya?" Benarkah?" tanya Putri dengan sangat hati-hati.
"Iya. Aku Abian Hutama Sudirya." Abian berucap dengan nada santai tanpa menoleh sedikitpun. Dia sama sekali tidak melihat Putri yang ada di sampingnya.
"Oh ... aku pikir, aku salah orang," ucap Putri dengan nada santai sambil menarik kursi yang ada di depan Abian. Lalu, dia duduk dengan anggun di kursi itu.
Karena duduk berhadapan, Abian tidak bisa untuk tidak melihat perempuan yang ada di depannya. Seketika, suapan nasi goreng yang ingin dia masukkan ke dalam mulut tertahan saat melihat wajah gadis yang ada di depannya.
Satu kata yang terbesit dalam pikiran Abian saat ini. Cantik. Dia tidak bisa untuk tidak memikirkan kata itu sebagai bukti kekaguman atas apa yang baru saja matanya lihat. Sementara Putri, dia yang sibuk dengan buku menu yang dia lihat, tidak menyadari tatapan kagum itu buatnya.
"Mas Abi pesan duluan? Kok gak barengan sama aku aja," ucap Putri berusaha akrab dengan laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.
Bukannya menjawab. Abian malah sibuk melanjutkan sesi makannya kembali. Itu dia lakukan bukan karena tidak peduli, tapi karena ingin menenangkan hati yang sedang berkecamuk. Antara rasa bersalah, dengan rasa aneh tiba-tiba menggetarkan jiwanya.
"Mm ... ya sudahlah. Kamu fokus saja makan dulu. Aku pesan jus buah aja."
Sedikit kesal juga tidak enak hati karena diabaikan, Putri langsung memanggil pelayan untuk membuat pesanan. Sejujurnya, dia tidak suka diabaikan. Tapi, karena yang mengabaikan ini adalah orang yang dia cintai, maka dia anggap itu tidak berarti. Walau hatinya terasa sedikit perih sebenarnya.
Tidak ada kata yang terucap. Setelah menikmati makanan masing-masing, mereka langsung menuju butik untuk melihat baju mereka.
Sedikit risih sebenarnya, itulah yang mereka berdua rasakan sepanjang perjalanan bersama. Karena ada banyak mata yang memperhatikan mereka berdua. Ada pula yang tak hanya memperhatikan, melainkan, ikut berbisik mengatakan hal yang entah apa. Yang tidak bisa mereka dengar. Tapi yang pastinya, bisikan-bisikan itu jelas saja membicarakan soal mereka berdua.
Tapi, keduanya berusaha bersikap acuh tak acuh saja. Pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Berjalan santai, lalu melakukan segala hal sewajarnya, itu adalah pilihan yang paling tepat buat mereka berdua.
Saat mencoba gaun, Putri terlihat semakin cantik. Beberapa pelayan langsung muji dia dengan ucapan-ucapan pujian yang tak habis-habisnya mereka ucapkan.
"Mbak, kamu cantik sekali."
"Iya, mbak. Sangat-sangat cantik. Wajahmu yang cantik ini, tidak perlu polesan make-up pengantin lagi, sudah terlihat aura kecantikannya, mbak. Luar biasa ayu deh pokoknya."
"Kalian bisa aja. Tapi, terima kasih banyak untuk pujiannya," ucap Putri sambil tersenyum ramah.
"Sama-sama, mbak. Kamu memang pantas dapat pujian ini kok." Salah satu pelayan itu berucap sambil tersenyum manis.
"Mm ... tapi maaf sebelumnya ya, mbak. Apa mbak yakin mau menikah dengan pria itu? Maksudku, itu emang benar-benar pasangan mbak buat nikah ya?"
Pertanyaan yang paling tidak ingin Putri dengan itu akhirnya terucap juga. Dia yang tidak ingin menjawab, hanya bisa tersenyum kecut sambil berusaha biasa-biasa saja. Walau pada dasarnya, dalam hati dia merasakan pemberontakan. Ingin marah juga ingin bicara kasar. Tapi, dia tahan dengan sekuat tenaga.
"Kenapa memangnya? Apa ada yang salah dengan calon suami saya?" tanya Putri sambil berusaha tersenyum.
"Ada dong, mbak. Gini deh, kita bicara soal fakta aja ya. Secara itukan, mbak sangat cantik. Cantik banget malahan. Masa iya calon suami mbak kek gitu. Hei ... kalo aku jadi mbaknya, gak mau aku nikah ama laki-laki yang seperti itu, mbak. Masih banyak laki-laki lain yang tampan di luar sana. Yang cocok sama kecantikan yang mbak milik. Yang sepadan gitu, mbak."
Mulut, memang terkadang suka tidak memikirkan perasaan orang jika melepas kata-kata. Pelayan yang tidak tahu menjaga perasaan pembelinya ini, bisa-bisanya bicara secara langsung kata-kata yang mungkin akan melukai perasaan orang lain.
"Hush ... apa sih yang kamu bicarakan? Mau nikah dengan siapa saja, itu urusan si mbak ini. Terserah dia dong, siapa calon suaminya. Yang menjalani hidup itu dia, bukan kamu."
"Lagian, kalau sudah cinta itu gak akan mikir soal wajah. Wajah itu nomor dua, cinta itu nomor satu. Urusan hati yang paling diutamakan. Iyakan, mbak? Oh ya, maafkan kata-kata teman saya barusan. Dia mulutnya emang gak baik, mbak. Main lepas aja."
"Tahu bos baru tahu rasa kamu," ucap pelayan itu pada temannya yang bicara lepas-lepas aja.
"Eh, aku bicara apa adanya kok. Kenapa malah ngomong gitu sama aku. Mbaknya aja gak marah. Kok kamu yang malah sewot."
Benar-benar bikin naik darah. Putri tidak ingin menghiraukan apa yang kedua pelayan itu katakan lagi. Dia langsung saja pamit meninggalkan kedua pelayan itu untuk menukar kembali gaun yang sedang melekat di tubuhnya.
Saat dia keluar dari ruang ganti, dia kembali mendengarkan kata-kata pedas yang pelayan itu ucapkan. Kali ini, kata-kata pedas itu teruntuk buat dia. Bukan buat Abian lagi.
"Eh, aku rasa, mbak itu mau menikah dengan laki-laki yang tidak sepadan dengan wajah cantiknya pasti karena uang, kan? Laki-laki itu banyak uang, makanya dia mau menikah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Kinan Rosa
semangat put
jangan hiraukan omongan orang lain
2022-11-30
0
Sumawita
Tenang put Jngn terpengaruh dengan omongan mulut julid
2022-09-01
2
MochoLatTe
tenang put. dya bakal bucin ke kamu nanti
2022-08-19
1