Mendapatkan jawaban seperti itu dari Trisha, membuat Darrel senang bukan main, sebuah senyuman yang mengembang terukir di bibirnya.
Dia pun bangun dan memasangkan cincin ke jari manis Trisha, lalu langsung memeluknya dengan erat, pria itu benar-benar senang, pujaan hatinya itu menerima lamarannya.
Setidaknya nanti dia punya alasan yang kuat untuk menahan Trisha, agar tidak pergi dari kehidupannya suatu saat nanti.
Cukup egois memang, tapi rasa cinta yang amat besar itu membuatnya harus egois, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Trisha nanti, setelah tau semua tentangnya dan setatusnya itu.
"Aku tidak akan menyesal untuk selamanya, bisa bersama denganmu adalah impian terbesar dalam hidupku ini," ucap Darrel memeluknya erat dengan mata terpejam, menghirup dalam-dalam aroma dari Trisha yang mampu menenangkannya.
"Dan kamu pun sudah telat untuk menyesal telah menerimaku," perkataan Darrel itu, membuat kening Trisha mengerut, tidak mengerti.
"Maksudnya apa?" tanya Trisha, melirik ke arah sampingnya, dimana Darrel saat ini tengah menyimpan kepalanya di ceruk leher Trisha.
"Iya kamu yang telat untuk menyesali keputusanmu, karena menerimaku. Karena mulai sekarang, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi, setelah ini apa pun yang terjadi, kamu hanya bisa terus berada di sampingku," sahut Darrel.
Dia menatapnya dan tersenyum misterius, tapi tidak Trisha sadari makna dari senyuman itu, atau makna dari ucapannya itu.
Dia hanya menganggap, jika ucapan itu hanya ucapan asal yang Darrel ucapkan, karena dia baru saja menerimanya.
"Bisa lepaskan dulu tidak, sepertinya ini terlalu erat," ucap Trisha berusaha melepaskan diri dari Darrel.
"Tidak, aku mau seperti ini terus, ini benar-benar nyaman," ucap Darrel yang malah mengeratkan belitan tangannya di pinggang ramping Trisha.
"Tapi aku tidak nyaman Rel," sahut Trisha masih berusaha melepaskan diri dari dekapan maut milik Darrel itu.
Trisha benar-benar tidak nyaman dengan posisi mereka itu, apalagi saat ini tubuh mereka benar-benar menempel, hanya kain yang membungkus tubuh mereka saja yang menjadi pembatas.
"Baiklah, kali ini aku lepaskan, tapi tidak untuk lain kali," ucap Darrel, lalu mulai mengalah, melepaskan Trisha dari dekapannya itu.
"Mau lihat kamar kita?" tawar Darrel sambil mengedipkan sebelah matanya, menggoda Trisha.
"Kamar kita?" tanya Trisha mengerutkan kening.
"Iya kamar kita, kalau nanti kita sudah menikah, nanti kan kita pasti bakal tidur satu kamar, bahkan satu ranjang masa begitu saja tidak mengerti," terang Darrel dengan santainya.
Dia tidak menyadari, jika Trisha sudah mulai salah tingkah karena ucapan yang santai darinya itu.
"Udah ayo, cuma lihat saja kamu suka apa tidak sama desainnya atau warnanya, kalau kamu tidak suka nanti aku ganti lagi dengan yang sesuai keinginanmu," sambung Darrel, lalu kembali menarik tangan Trisha menaiki tangga.
Darrel membuka sebuah pintu yang langsung menampilkan sebuah kamar yang sangat luas menurut Trisha, kamar yang empat kali lebih luas dari kamar Trisha di rumah sewanya.
Trisha berdecak kagum melihat ruangan itu, perabotan di kamar itu sudah komplet, setiap furniture yang ada di sana, telah ditata sedemikian rupa hingga kamar itu lebih indah, siap untuk ditempati.
"Ini kamar atau lapangan, besar banget kasurnya juga kayanya cukup untuk enam orang," ucap Trisha dengan mulut menganga, melihat kamar yang begitu luas itu.
"Gimana ada yang harus dirubah tidak?" tanya Darrel.
"Tidak ada, semuanya sudah bagus apanya yang mau dirubah," sahut Trisha yang sudah mulai melangkah, mengitari kamar itu.
Wanita itu benar-benar kagum dengan semua yang ada di kamar itu, dia jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa lagi tentang pria itu yang tidak dia ketahui.
Dia memang belum tahu banyak tentang pria yang menjadi pacarnya itu, dia hanya tahu, pria itu sahabat atasannya, sekaligus seorang presdir dari perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan tempatnya bekerja.
Selebihnya, dia tidak mengetahui apa pun lagi tentangnya, bahkan dia tidak mencoba untuk mencari tahu, karena dia berpikir jika pria itu, pasti akan menceritakan tentang kehidupannya itu, jika memang sudah waktunya.
"Yang paling penting dari kamar ini, ada di balkonnya, ayo ikut ke balkon." Darrel menarik lagi tangan Trisha dengan menuju balkon.
Mau tak mau Trisha pun mengikutinya, membuka sebuah pintu yang menjadi penghubung antara balkon dan rumahnya itu.
"Ini yang paling pentingnya, kamu bisa menyaksikan sunset dari sini sepuasnya," ucap Darrel.
Trisha menatapnya tak percaya, mengapa pria itu melakukan hal sampai sedetail ini untuk membuatnya terkesan, dia benar-benar merasa seperti cinderella.
"Rel kenapa kamu melakukan semua ini untukku, padahal 'kan aku belum tentu jodoh kamu," ucap Trisha menatap Darrel serius.
"Apa pun yang terjadi nanti, kamu akan menjadi jodohku untuk selamanya," sahut Darrel dengan penuh keyakinan.
"Jangan mendahului Tuhan Rel, hari esok di kehidupan kita adalah misteri yang tidak kita tau, apa yang akan terjadi," sahut Trisha lagi, masih menatapnya dengan serius.
"Apa pun yang akan terjadi hari esok atau selamanya, aku hanya berharap Tuhan menjodohkan kita berdua," ucap Darrel yang juga balas menatapnya dengan dalam.
Dia mengambil kedua tangan Trisha yang jauh lebih kecil darinya itu, lalu memberikan beberapa kecupan lembut di punggung tangan yang putih dan lembut itu.
"Aku tidak akan sanggup kehilanganmu Tris, setelah mengenalmu, aku tau apa itu warna kehidupan lagi," ucap Darrel menatapnya dengan lamat.
Darrel berharap apapun yang terjadi, di kehidupan ini nantinya, dia adalah jodoh untuk Trisha begitu pun sebaliknya.
Trisha menatapnya dengan dalam, tidak dapat dipungkiri, jika wanita itu merasa terbuai dengan keseriusan pria di depannya itu.
"Kenapa kamu mencintaiku Rel, aku bukanlah wanita ideal?" Trisha menatap Darrel dengan dalam.
"Tidak ada kenapa dan mengapa dalam cinta, rasa itu hadir tidak perlu dengan alasan, jika rasa itu hadir karena sebuah alasan. Maka ketika alasan itu tidak ada, itu artinya cinta pun akan hilang, seiring dengan hilangnya alasan itu." Darrel menatapnya dengan dalam.
Menunjukkan kesungguhannya, akan rasa yang hadir dalam hatinya itu. Rasa yang memang tidak seharusnya, tapi dia yakin, tidak ada cinta yang salah.
Karena yang salah itu bukanlah cintanya, tapi hadirnya di saat yang kurang tepat.
"Ayo kita berkeliling lagi," ajak Darrel.
Trisha pun mengangguk setuju, akhirnya mereka pun kembali berkeliling, melihat seluruh sudut rumah itu, rumah yang telah Darrel siapkan untuk masa depan mereka.
Masa depan? Apakah itu akan ada pada kehidupan mereka ke depannya, mengingat bagaimana status Darrel sekarang.
*Kamu akan menjadi masa depan untukku Tris*. Batin Darrel dengan yakin.
Dia menatap Trisha yang tengah berjalan di sampingnya dengan senyuman yang terbit di bibirnya, sekuat apa pun dunia menentang mereka, dia sudah beetekad jika dia akan memperjuangkan Trisha, itulah janji Darrel pada dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments