(Perguruan Angin biru)
Ki Warta tampak duduk di kursi kebesarannya yang sudah dia duduki hampir dua puluh tahun lamanya. Dari tempat duduknya itulah dia menancapkan pengaruh perguruan Angin biru di dunia persilatan.
Namun kali ini ada yang sedikit berbeda, Ki Warta tampak gelisah di atas kursi megah itu. Sesekali dia menggebrak meja menahan amarah sambil memejamkan matanya.
"Kemana perginya anak itu, bagaimana dia bisa berfikir untuk mempermalukan ku". Ucap Ki Warta geram.
Tak lama salah satu tetua Angin biru mengetuk ruangannya.
"Ketua, Aku ingin melaporkan sesuatu". Ucap Laksmana pelan.
"Masuklah". Balas Ki Warta sedikit bersemangat. Sejak perginya putri semata wayangnya, ki Warta selalu menunggu kabar keberadaan putrinya diruang kerjanya.
"Apa kau sudah menemukan keberadaan Dewi?". Tanya ki Warta.
Laksmana mengangguk ragu "Mahesa mendapat kabar jika nona Dewi berada di Kadipaten Tuban namun....". Laksmana terlihat ragu melanjutkan ucapannya.
"Apa terjadi sesuatu pada putriku?".
"Beberapa orang melihat nona Dewi diserang oleh beberapa pendekar Tengkorak merah ketua". Laksmana menundukkan kepalanya, dia yakin ketuanya akan murka mengingat hubungan Angin biru dengan Tengkorak merah.
"Apa katamu?". Wartha menggebrak mejanya. "Mereka sudah berani secara terbuka menyerang putriku, jika aku tidak membunuh mereka seumur hidupku tak akan pernah tenang".
"Ketua mohon bersabar, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan nona Dewi. Aku telah mengutus Mahesa untuk menjemput nona, semoga dia cepat menemukan nona Dewi". Laksmana menenangkan Warta.
"Bagaimana aku bisa bersabar ketika putriku diserang". Suara Warta meninggi.
"Jika ketua sendiri yang ingin menjemput nona aku akan menemani anda. Aku juga sudah menulis surat pada tuan Rangga lawe untuk membantu menyisir wayah Tuban".
Warta menarik nafasnya perlahan, dia mencoba menenangkan diri. Meninggalkan perguruan saat Tengkorak merah sedang menebar ancaman bukan pilihan bijak. Tengkorak merah bisa menyerang kapan saja jika mengetahui Warta meninggalkan perguruan.
"Baiklah, aku akan menunggu kabar darimu. Pastikan putriku selamat".
"Aku akan berusaha ketua" . Laksmana menundukkan kepalanya sebelum melangkah keluar.
"Anak itu keras kepala sepertimu Wulan". Warta bergumam dalam hati. Sejak ditinggal ibunya, Arkadewi cenderung menjadi anak yang memberontak. Keinginannya untuk menjadi pendekar wanita seperti ibunya kadang menjadi pemicu pertengkaran mereka berdua.
***
Arkadewi berjalan menjauh dari gua sambil mengumpat, Matanya masih berair namun sudah sedikit tenang setelah mendengar jawaban Arya.
"Ibu, seandainya kau masih hidup mungkin ayah tidak akan berbuat seenaknya". Arkadewi memutuskan duduk di sebuah batu yang terletak tak jauh dari gua.
"Jika aku pergi sekarang sepertinya akan sangat berbahaya, mereka pasti masih mencariku".
Arkadewi kemudian memutuskan kembali masuk gua. Bagaimanapun tetap bersama Arya adalah pilihan yang paling baik mengingat Arya sepertinya mengenal baik hutan ini.
Arya hanya tersenyum melihat tingkah Arkadewi yang seperti anak kecil.
"Makanlah, kau membutuhkannya untuk memulihkan tubuhmu". Arya menyodorkan beberapa buah yang dia ambil saat mencari ramuan racun mawar hitam.
"Apa kau tinggal di hutan ini?". Tanya Arkadewi sambil memakan buah yang tadi diberikan Arya padanya.
"Bisa dikatakan seperti itu".
"Apa kau punya orang tua? atau kau melarikan diri dari kedua orang tuamu kemudian terdampar disini?".
"Hampir tepat, aku memang melarikan diri ketempat ini namun bukan dari kedua orang tuaku. Aku melarikan diri karena muak melihat kalian yang menamakan diri pendekar berbuat seenaknya". Ucap Arya dingin.
"Kau sepertinya sangat membenci dunia persilatan". Arkadewi mengernyitkan dahinya.
Arya tidak menjawab pertanyaan Arkadewi, dia lebih memilih menghabiskan makanannya.
Arkadewi terus menatap Arya heran, Sebagai anak dari ketua perguruan dia diberi perlakuan khusus untuk mempelajari ilmu kanuragan. Arkadewi langsung dibimbing oleh Laksmana, orang kepercayaan ayahnya.
Dia telah menguasai jurus embun perusak hati yang merupakan jurus terkuat milik Angin biru. Hal ini memungkinkan dirinya bisa merasakan tenaga dalam seseorang namun kali ini dia tidak dapat merasakan sama sekali tenaga dalam ditubuh Arya.
"Apa dia menyembunyikan kemampuannya dariku". Gumam Arkadewi dalam hati.
Beberapa saat kemudian Arya tampak menghentikan makannya, raut wajahnya terlihat kesal.
"Ayo kita pergi". Ucap Arya sambil membereskan beberapa pakaiannya.
"Pergi?". Arkadewi mengernyitkan dahinya.
"Kau tidak ingin tertangkap bukan? ada 3 orang pendekar menuju kemari, salah satunya memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi". Setelah membereskan barangnya, Arya bergegas keluar dari gua. "Ayo cepat!". Arya berbicara setengah berbisik.
"Ah baik". Tanpa pikir panjang Arkadewi menyambar pedangnya dan mengikuti kemana Arya melangkah. Dia terus menatap punggung pemuda dihadapannya itu.
"Dia bisa merasakan kehadiran pendekar dari jarak yang sangat jauh? bahkan dengan sangat detail. Apakah dia benar benar pendekar pilih tanding dunia persilatan". Gumam Arkadewi dalam hati, namun dia buru buru membuang jauh pikirannya saat terbayang bagaimana mereka pertama bertemu dipinggir sungai.
"Mana ada pendekar bodoh seperti dirinya".
Langkah Aya terhenti saat beberapa anak panah tiba tiba melesat kearahnya.
"Sial! Kita dikepung, ayo ikuti aku". Arya berlari sedikit memutar kearah kiri untuk mencari jalan pintas lainnya namun sebuah panah yang melesat cepat dan menancap tepat dihadapannya membuat gerakan Arya terhenti. Dia terjatuh dan menjerit kesakitan.
"Gawat! Dia tidak menguasai ilmu kanuragan apapun". Arkadewi melesat kearah Arya dan menangkis serangan serangan panah yang mengarah padanya.
"Hei kau baik baik saja? kita harus cepat pergi dari sini". Ucap Arkadewi sambil berusaha memapah tubuh Arya.
"Apanya yang baik baik saja? kau lihat darah ini terus menetes dari kakiku. Bagaimana jika darahku habis, apa kau mau bertanggung jawab?". Arya berteriak keras.
Ada rasa bersalah dalam diri Arkadewi pada pemuda yang menyelamatkan nyawanya itu. Mereka terus berlari masuk hutan tanpa memperdulikan arah, yang ada dipikiran mereka hanya berlari kedepan demi menghindari kejaran pendekar tengkorak merah itu.
"Hei beristirahatlah sejenak, sepertinya lukaku semakin parah". Arya meringis kesakitan.
Merasa mereka telah berlari cukup jauh dan tidak ada tanda tanda pengejaran lagi, Arkadewi menyetujui permintaan Arya sambil mengobati lukanya. Dia meletakan tubuh Arya dibawah pohon rindang.
"Coba kulihat lukamu". Ucap Arkadewi khawatir, dia merasa sangat bersalah jika pemuda yang tidak ada hubungannya dengan dunia persilatan ikut terluka.
Namun raut wajah Arkadewi berubah seketika saat melihat luka goresan kecil di kaki Arya.
"Hei bodoh, ini hanya luka gores biasa, bagaimana kau bisa berteriak seperti orang terluka parah. Apa kau selemah itu?". Umpat Arkadewi.
"Luka ya tetap luka mau sekecil apapun tetap sakit". Ujar Arya tak mau kalah.
"Dasar bodoh". Arkadewi menginjak luka gores yang di kaki Arya membuat pemuda itu semakin menjerit.
"Kau tidak bisa memperlakukan orang dengan lembut ya? bagaimana jika luka ini semakin parah dan aku kehilangan kakiku?".
"Apa luka sekecil itu bisa membahayakan nyawamu?". Arkadewi tersenyum sinis.
Pertengkaran mereka terhenti saat Aji tiba tiba muncul dihadapan mereka.
"Kalian pikir bisa lari dariku?". Aji mencabut pedangnya dan bersiap menyerang.
Arkadewi mengumpat dalam hati, dengan kondisinya saat ini akan sulit melawan salah satu pendekar kuat Tengkorak merah.
"Hei, ayo kita serang bersamaan, mungkin kita memiliki harapan untuk menang". Arkadewi memutar pedangnya ke depan.
"Kau saja yang urus dia, kakiku sedang terluka". Ucap Arya polos.
"Dasar lemah! Lama lama kupotong kaki tidak berguna itu". Hardik Arkadewi.
"Apa kau sudah gila, seenaknya main potong kaki orang lain".
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Nur Tini
weleh weleh 3x
2023-10-17
2
putra
huhh
2022-11-04
0
Bocah Tua Tampan
MantuLLL 🤣🔥🤣
2022-02-04
0