Istri Pengganti Tuan Presdir
POV Arumi 9 tahun...
Aku disini, berdiri di antara para pelayat yang menangisi jazad Ayahku. Semalam, mendadak Beliau mengalami serangan jantung. Tepat dimana kami sedang merayakan hari ulangtahun-ku.
Hanya hitungan jam, sebelum dokter menyatakan bahwa Ayah sudah tidak lagi bernyawa. Aku berada di dekatnya dengan tatapan tak percaya, tubuhku kaku tanpa ekspresi. Melihat ibu tiri serta dua saudara tiriku menangis tersedu-sedu di sisinya.
Aku tidak heran ketika tangis dan kesedihan mereka hanya bertahan beberapa jam dari usainya proses pemakaman Ayah. Kakak tiri laki-laki, adik tiri perempuan yang usianya sama denganku juga ibu tiri yang cantik sudah melakukan aktivitas mereka masing-masing. Wajah berkabungnya pun berubah menjadi tawa riang ketika beberapa rencana untuk bersenang-senang sudah mereka susun malam itu juga.
"Tetaplah di rumah, dan jangan sekali-kali kau keluar dari rumah ini. Kau tahu kan, apa yang akan Mama lakukan untukmu jika kau tidak menurut?" Ancam wanita cantik di hadapanku. Polosnya aku hanya mengangguk dengan rasa takut. Wanita itu kembali tersenyum sebelum menerima panggilan telepon dan keluar untuk bertemu teman-temannya.
Braaak...! Pintu rumah tertutup.
Kini hanya tinggal aku sendirian berdiri di balik pintu. Tubuhku sedikit terhuyung melangkah dengan pandangan hampa menuju sofa. Tak ada yang bisa ku lakukan selain meraih salah satu foto Ayah yang menggantung di dinding.
Rasanya kaki ini sudah tidak lagi berdaya untuk melangkah. Sebelum tiba di sofa, tubuh mungilku sudah terhempas ke lantai lebih dulu.
Memeluk lutut kemudian, gamang memandangi foto Ayah yang berada di hadapanku. Tangis ku kembali pecah, jiwaku kembali teriris. Aku belum siap, dan aku belum menerimanya.
Memikirkan bagaimana nasib ku setelah ini? Hari-hariku pasti tidaklah mudah, seolah segala kepedihan juga kenestapaan sudah menungguku untuk hari-hari penuh dengan ketidakadilan.
Kenapa Ayah? Kenapa harus Ayah?
Hatiku terus meronta-ronta, merasa tidak terima. Ketika raga yang menjadi satu-satunya tumpuan kasih sayang ku harus pergi lebih dulu.
Tapi, mau beberapa kali aku memanggil namanya. Ayah tetap tidak akan kembali. Semuanya membuatku tersadar bahwa aku semakin jauh dari sebuah kebahagiaan.
Sebab, kepalsuan sikap baik Ibu tiriku pun sepertinya sudah tidak akan nampak lagi. Dan akan berganti dengan kesewenang-wenangan yang semakin menjadi. Sekarang, hanya tinggal menunggu sampai kapan takdir menyedihkan ini berakhir.
.
.
.
tiga belas tahun kemudian...
Pagi datang, Arumi menyapa dengan rasa syukur. Walaupun di luar langit masih nampak gelap, ia harus bergegas terjaga untuk beraktivitas.
Hari ini Kak Sonny berangkat pagi untuk hari pertama bekerja, sementara Maura ada kelas tambahan pagi. Jadilah saat ini menjadi pagi yang lebih sibuk dari biasanya.
Arumi memasak sayur bening bayam, orek tempe, sambal, juga ayam goreng. Sesuai request Nyonya cantik di rumah ini. Emmm... tidak, mungkin maksudnya adalah ibu tirinya.
Ya, semakin kesini kehidupannya semakin jauh dari kata layak. Menjadi pembantu gratisan di rumah ini sudah menjadi hal biasa. Bahkan tendangan juga pukulan ia dapatkan tidak hanya dari ibu tirinya, melainkan dua saudara tirinya juga.
Tapi, ya... Ia hanya perlu bertahan sedikit saja, sampai uang yang ia tabung terkumpul. Barulah ia bisa pergi dari rumah ini dengan tujuan, bahkan kalau bisa melanjutkan sekolahnya.
Arumi memang sangat ingin kuliah, sama seperti saudara tirinya. Namun, untuk saat ini sangat lah sulit. Mama Linda tidak akan pernah memberikannya izin. Dia bilang, kuliah itu biayanya mahal dan ia tidak akan sudi untuk mengeluarkan sepersen pun untuknya.
Pagi yang semakin hangat ketika matahari mulai muncul memberikan penerangan bagi bumi. Seharusnya penuh dengan ketenangan, namun justru menjadi gaduh ketika dua Kakak beradik itu saling berebut sesuatu yang entah apa. Suaranya terdengar sangat keras bahkan sampai ke area dapur.
Bertambah dengan suara pekikan wanita paruh baya yang mulai kesal ketika kedua anaknya tidak bisa tenang di atas meja makan.
Berbeda dengan anak-anak kesayangan Mama Linda yang sudah mengisi perut mereka. Arum justru tengah sibuk mencuci pakaian para penghuni rumah dengan tangan. Sebab, mesin cuci yang ada sedang rusak.
Bruuukkk...
"Aaaa...!" Arum meringis. memegangi kepala bagian belakangnya yang sakit, akibat terhantam sepasang sepatu yang di lemparkan begitu saja secara tiba-tiba.
"Cuci sekalian, tuh! Aku tidak mau tahu, lusa harus sudah siap untuk ku pakai." Tanpa basa-basi lagi, gadis berusia dua puluh dua tahun itu kembali keluar dari tempat Arum mencuci.
Wanita berparas cantik itu menghela nafas, menoleh kearah cucian yang setiap hari menggunung. Belum lagi sepatu-sepatu kakak-kakak tirinya yang lebih dari kesan wajar di gunakan oleh anak kuliahan atau kantoran. Sebab, tanah yang menebal di setiap sisi bawah sepatu mereka. Seperti di sengaja.
"Okay! semangat Arumi. Kita selesaikan ini, sebelum bekerja di toserba." Arumi melamun, memandangi wajahnya yang polos di permukaan air bersih dalam bak. Rasanya sakit, ketika ia harus bekerja dengan upah yang jauh dari kata normal di toserba milik ayahnya sendiri.
Ya, dulunya. Ayah Arumi memiliki lima cabang toserba. Namun sekarang hanya tersisa dua, lainnya sudah di jual oleh Mama Linda tanpa sepengetahuan apalagi izin darinya.
Arumi menyeka keringat di kening, kembali tersenyum walau hatinya tercekak setiap harinya. Kembali dia melanjutkan tugasnya mencuci pakaian dan juga sepatu hingga bersih.
––
Gadis itu telah selesai, ia langsung menjemur pakaiannya. Di bawah sinar matahari yang mulai terik, Arum masih nampak bersemangat. Hingga seember air tiba-tiba menyiram kearahnya dari belakang.
"Kyaaaa!" Arum menjerit kecil, reflek karena terkejut. "Kenapa Mama menyiram Arum?"
Mama Linda melempar ember itu keras hampir mengenai kaki Arum yang reflek menghindari.
"Gadis bodoh! Apakah kau mencuci pakaian yang ku gantung di balik pintu kamar?"
Arum menggeleng, "Aku hanya mencuci pakaian yang ada di ember."
Plaaaak! Sebuah tamparan mendarat bersamaan dengan jeritan kecil Arum.
"Kau pikir aku ini sudah pikun? jelas-jelas aku belum meletakkan baju itu di ember cucian kotor!"
Arum masih memegangi pipinya, menggigit sedikit ujung bibir menahan tangis sebab pedih di pipi dan juga hatinya.
"Mama selalu seperti ini... menudingku melakukan sebuah kesalahan yang sejatinya tidak pernah ku perbuat."
Mendesah kasar, "Apa maksudmu aku sengaja mencari-cari kesalahanmu, padahal sejatinya kau benar-benar gadis bodoh yang tidak berguna dan terus melakukan kesalahan!"
"Kalau aku tidak berguna, kenapa Anda masih membiarkan aku tinggal di rumah ini?"
"Kau semakin pintar berbicara, ya? Siapa yang mengajarkan keberanian ini padamu, HAH!!" Sergahnya dengan tatapan tajam seperti biasa. Sama halnya dengan Mama Linda, pun Arum membalas tatapan itu tak kalah tajam, sementara bibirnya mengatup rapat.
"Apakah seekor semut akan selalu diam saja ketika tubuhnya terus diinjak?"
Mama Linda tersenyum sinis, "pintarnya kau menjawab ucapanku. Aku jadi menyesal, kenapa dulu aku merawat-mu bahkan menyekolahkan-mu hingga SMA. Jika nyatanya, kau akan menjadi gadis yang tidak tahu diri. Sekarang, melihatmu yang bisa bertingkah seperti ini... membuatku teringat, haruskah aku menghentikan pembayaran kontrak makam kedua orang tua mu?"
Deg! Arum mematung. Kedua sudut matanya mendadak menganak sungai. Mama selalu mengancamnya dengan itu. Sebab, jika kontrak makam tak di perpanjang kedua makan orangtuanya akan di bongkar lalu di pakai lagi untuk mengubur jenazah baru.
Sebuah cengkraman kuat di rambutnya membuat Arum terkesiap sebelum meringis sakit.
"Kau sudah ku beri peringatan untuk tidak bertingkah dihadapanku. Bersyukurlah selagi aku masih bersedia memberikanmu makan..."
"Aku bersumpah! akan bekerja keras, dan menjadi orang kaya untuk membayar kebebasanku darimu!"
"Oh, ya...?" Mama menertawakan ucapan Arum tadi, dengan nada meremehkan. "Lakukan saja. Akan ku pastikan, sampai rambut cantik mu ini beruban pun, kau tidak akan bisa membayarnya. Karena kau sudah ditakdirkan menjadi pembantu di rumahmu sendiri seumur hidupmu!"
Arum menitikkan air matanya. Sesaat setelah sang ibu tiri melepaskan cengkeramannya lalu melenggang pergi. Tangannya mengepal kuat, sementara tangan satunya menyeka air matanya kasar. Kepalanya mendongak keatas, menghadap matahari yang menyilaukan.
Aku yakin! Keadilan itu pasti ada... aku pasti akan bahagia... Batinnya memohon dengan sangat, berharap Tuhan mempertemukannya pada takdir yang lebih baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Sitiromlah aja Aja
kasihan /Sob//Sob//Sob/
2024-02-05
0
Nurmalia Irma
ya ampuuun bawangnya banyak kayaknya nihh
2024-01-15
0
Chen Aya
mampir thor
2024-01-04
0