Suara adu mulut Felix dan Cain teredam oleh suara hujan deras. Tenggorokan mereka seperti sudah pada kapasitas maksimal untuk dipakai berteriak tapi tetap terdengar kecil dengan suara hujan deras.
Viviandem dan Anaevivindote masuk berteduh di tempat penyimpanan tapi merasa sangat senang karena tidak perlu lagi repot-repot mengangkat air untuk menyiram tanaman yang baru ditanam. Plaevivindote yang baru ditanam juga menari-nari bahagia terkena hujan. Tiba-tiba juga ukuran mereka menjadi lebih besar dan tinggi dari sebelumnya saat baru ditanam.
"Ow, em ... sepertinya sudah cukup! Kau bisa membuat banjir kalau terus mempertahankan hujan ini." kata Cain melihat keluar jendela.
Pertengkaran Felix dan Cain juga entah bagaimana sudah selesai. Secara otomatis sudah kembali berbaikan lagi seperti biasa.
"Sebentar, ada yang sedang menampung air." kata Felix.
Cain mengeluarkan kepalanya di jendela dan melihat para petani sedang sibuk mengeluarkan banyak wadah untuk menampung air hujan.
...****************...
"Kau sedang apa?!" tanya Cairo melihat Lala sibuk mondar-mandir membawa wadah keluar rumah untuk menampung air hujan, "Untuk dipakai menyiram tanaman kah?!"
"Bisa dipakai untuk mencuci pakaian juga." kata Lala.
"Yang penting sih bukan untuk diminum." kata Cairo.
"Hujan di Mundebris tidak seperti di Mundclariss prosesnya. Di Mundebris, awan bukan terbentuk dari penguapan air. Tapi awan yang dibentuk sendiri oleh Caelvita." kata Camden, "Dalam arti lain air ini sangat bersih, sama seperti salju yang bisa langsung diminum saat di kota sebelumnya." Camden mengingat bagaimana Cairo menatap aneh dirinya saat melakukan itu.
"Mundebris memang sangat memerlukan Caelvita, aku hanya mengenal Caelvita saat mendapatkan misi pertama sebagai Pemburu Iblis. Walau terlihat dia seperti anak kecil pada umumnya tapi karismanya memang sudah terasa berbeda. Saat itu, aku tidak tahu identitasnya tapi aku sudah merasa dia akan menjadi seseorang yang sangat hebat. Tidak pernah terbayangkan kalau anak itu menjadi sosok yang paling penting di Mundebris. Tanpanya, dunia disini tidak bisa berjalan normal rupanya ...." kata Cairo.
"Aku juga mengenal seseorang yang seperti itu sebelumnya, sama seperti penggambaranmu. Saat pertama kali melihatnya aku langsung terintimidasi, padahal dia bahkan tidak menatapku atau menantangku bertarung. Hanya lewat disampingku saja ...." kata Camden.
"Kutebak kalian menjadi teman dekat, dimana dia sekarang?!" tanya Cairo merasakan ada hal manis dari cerita kaku Camden barusan. Seperti ada kenangan indah dan sedih yang bercampur tapi disembunyikan dalam kalimat yang biasa saja.
"Tentu saja, dia adalah sahabat terbaikku. Hanya saja dia sudah tidak ada." kata Camden.
"Bahkan menjadi hantu?!" tanya Cairo.
"Sayangnya dia bukan seseorang yang jika meninggal akan menjadi Zewhit." kata Camden.
"Ternyata ada juga yang seperti itu, kukira di dunia ini tidak ada yang seperti itu. Kematian di dunia ini kuikira hanyalah sebuah awalan hidup baru." kata Cairo merasa sangat kurang pengetahuan tapi malas juga untuk menerima penjelasan.
"Tapi memang benar, kematian adalah sebuah awalan baru bagi yang meninggal dan bagi yang ditinggalkan. Bahkan untuknya dan juga untukku ...." kata Camden.
"Yang kau bicarakan adalah sahabatmu tapi yang aku bicarakan disini adalah Caelvita. Aku bukan sahabatnya, diapun bukan sahabatku ...." kata Cairo memecah suasana sentimental yang dibuat saat hujan sedang turun.
Camden mendengus tertawa, "Walaupun begitu, bukan berarti cerita kita tidak berkaitan. Kau mungkin bukan sahabat Caelvita, tapi kau bisa menjadi sosok yang penting untuknya. Seperti sekarang, kau melakukan segalanya ... mempertaruhkan segalanya hanya untuk menyampaikan satu kalimat."
"Sebenarnya aku jadi terpikirkan, apa yang akan aku katakan kalau bertemu dengannya. Apa langsung kukatakan dengan blak-blakan bahwa musuh besarnya ada diluar berkeliaran sekarang. Seperti menabur garam pada luka yang belum sembuh." kata Cairo.
"Hehe, apa maksudnya?! Garam sangat bagus untuk luka." kata Camden tertawa.
"Ya, kau tidak tahu seberapa mahal garam disini ... sangat sulit didapatkan dan sangat mahal." kata Lala yang lewat membawa wadah baru dari dalam rumah mengomel seperti ibu-ibu yang sering dilihatnya.
"Maksudku ... itu peribahasa yang ada di Mundclariss." kata Cairo tertawa sambil melihat Lala yang sibuk menyusun wadah di tengah hujan deras yang turun.
Akhirnya pertanyaan soal bagian dalam rumah Camden yang tetap terawat terjawabkan. Itu pasti karena Lala yang tinggal disini.
Sama seperti hujan di dunia manapun itu sepertinya selalu berperan pada pengubah suasana hati. Cairo dan Camden juga pasti tidak membayangkan bisa mengobrol santai tanpa harus menggunakan penyangkalan dan teriakan. Hujan seperti musik alami yang tidak terkalahkan untuk mengubah suasana hati.
Sama seperti Cairo dan Camden, Felix dan Cain juga merasakan hal yang sama. Bahkan dengan hujan yang diciptakan oleh Felix sendiri.
"Katanya kau tidak mau mendengar suara seseorang kalau bukan sesuatu yang sudah dikonfirmasi benar-benar penting ...." kata Cain menyindir.
"Aku kadang tidak bisa menahannya kalau yang jaraknya sangat dekat denganku." kata Felix.
"Tandanya, Cairo tidak ada di dekat sini ...." Cain jadi kecewa juga.
"Kalau memang ditakdirkan bertemu, pasti akan bertemu juga pada akhirnya. Bahkan jika berada sangat dekatpun, tapi jika tidak ditakdirkan bertemu ... tidak akan bertemu juga. Jadi, kita tunggu saja. Bagaimana skenario takdir!" kata Felix.
(Skenario author maksudnya🤣, canda! Skip!)
"Kau terdengar seperti Ruleorum saja ...." kata Cain.
"Lebih tepatnya aku ini Aluias dan Sanguiber." kata Felix.
"Makanya kan ...." kata Cain membenarkan ucapannya yang tidak dipahami oleh Felix.
Felix dan Cain melanjutkan perjalanan setelah berpamitan dengan pemilik rumah itu dan para petani yang lainnya kelihatan kembali sibuk hanya bisa memberi hormat dari jauh.
"Jujur, aku rindu matahari ...." kata Cain.
"Lancang sekali kau bilang itu pada saat berada disampingku." kata Felix.
"Kau sih bukan sekedar hanya bulan untuk Mundebris, tapi berfungsi sebagai matahari juga dalam cara yang berbeda. Yang aku maksud disini adalah hari cerah dengan awan putih langit biru muda ...." kata Cain seakan melukis dengan tangannya.
"Ada juga yang tidak suka siang hari tapi tidak masuk kesini yang hanya malam terus. Harusnya kau bersyukur!" kata Felix.
"Kuakui, pemandangan malam di Mundberis memang tidak ada yang mengalahkan. Langit malam dengan warna biru gelap, banyak bintang dan bulan yang terang dan lebih dekat. Tapi aku tetap merindukan hari yang cerah, sinar matahari yang terik, sinar matahari yang menyengat sampai kekulit ...." kata Cain.
"Ow, soal itu bisa disesuaikan ... aku bisa membuat cuaca menjadi panas sampai kulitmu meleleh." kata Felix.
"Haha ... Felix ngambek!" Cain berlari sambil melompat ceria mendahului Felix.
"Tipe yang menyebalkan tapi tidak bisa dibenci ... menyebalkan!" keluh Felix dalam hati.
Bukan hanya Felix yang mendengar suara berisik tanda sudah dekat dengan area kota, bahkan Cain juga sudah mendengar dengan jelas.
"Ow, disini ... ada ayahku." kata Felix.
"Hem?! Raja Aluias ada disini? Apa yang dilakukannya disini?!" tanya Cain.
"Mana aku tahu, kau dan aku sepertinya tidak pernah terpisah selama di perjalanan. Bagaimana bisa aku lebih tahu darimu?!" kata Felix sebal.
"Kan, kau bisa mencari tahu pikiran yang ada disini ...." kata Cai heran.
"Hanya sedikit yang bisa kubaca pikirannya disini. Segel pikiran mereka sangat kuat ...." kata Felix.
...-BERSAMBUNG-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
delete account
semangat
2023-05-07
1
🥑⃟Serina
mantapp
2023-02-09
1
viana
semangat kak 😁😁😁
2022-09-09
2