Cain mulai meredakan emosinya dengan pertama-tama menstabilkan pernapasannya terlebih dahulu. Masih ditempat yang sama tanpa berpindah sedikitpun karena dilarang oleh Ayahnya.
"Kau tahu?! kau itu punya emosi yang sangat buruk sekali!" kata Ayah Cain sambil memunguti bagian rumah yang berserakan. Cain hanya duduk bersila dan bersedekap lengan cemberut mendengar hal itu. Felix ingin membantu tapi dilarang, "Tidak, Yang Mulia baru saja sadar ...."
"Informal saja, saya temannya Cain." kata Felix untuk pertama kalinya merasa sangat canggung disebut dengan gelar itu.
"Bagaimana bisa informal kalau yang menyuruh juga masih formal ...." kata Ayah Cain tersenyum.
"Ah, saya ... aku temannya Cain, kami satu panti dan juga satu sekolah ...." kata Felix masih canggung. Jujur Cain sebenarnya sangat ingin tertawa mendengar itu tapi ditahan sekuat tenaga.
"Aku sudah dengar soal itu, dia tidak berhenti menceritakannya. Bahkan semua kisah kalian sudah bosan kudengar karena dia sudah mengulang-ngulangnya dan akhirnya kehabisan bahan cerita. Bayangkan ... secerewet bagaimana dia sampai kehabisan bahan cerita dan mengulang cerita yang sudah diceritakannya." kata Ayah Cain dengan nada suara tidak beraturan karena sibuk memungut, memindahkan dan mengangkat bagian rumah yang hancur.
"Aku bisa dengar ...." kata Cain melempar pecahan kayu tepat menuju arah kepala Ayahnya tapi ditahan oleh Felix.
"Apa itu murni karena respon yang cepat atau kau sudah melihat ini terjadi?!" tanya Ayah Cain.
"Seharusnya kau menghentikan dirimu sendiri untuk menghancurkan rumah!" kata Cain sarkastik.
"Kekuatanku tidak berlaku seperti itu, hanya berlaku pada makhluk hidup saja yang akan terluka." kata Felix.
"Yang kau hancurkan itu berasal dari makhluk hidup juga tahu?!" Cain masih tidak menurunkan volume suaranya.
"Itu adalah kebiasaan buruk Caelvita, kekuatan itu bisa menguasai diri." kata Ayah Cain.
"Aku tahu, sudah lama aku hanya membiarkan beberapa hal kecelakaan kecil terjadi begitu saja walau aku tahu itu akan terjadi. Tapi, kali ini gerakanku lebih cepat daripada otakku yang melarang." kata Felix.
"Abaikan kekuatan itu! tidak baik menjadikannya kebiasaan dan mengontrol diri seperti mesin penyelamat sehingga teralihkan dan melepas tanggung jawab besar. Biarkan semuanya terjadi apa adanya ... sesuai takdir!" kata Ayah Cain.
Felix memang sudah memutuskan untuk mengabaikan kekuatannya yang terkadang bisa melihat seseorang apalagi yang memakai gelang buatannya yang akan terluka dalam beberapa waktu kedepan. Karena Felix sadar, dia bukanlah dewa yang bisa menyelamatkan semua orang. Sedangkan kali ini rasanya bukan hanya yang memakai gelangnya saja yang bisa dilihat. Bahkan Ayah Cain yang tidak menggunakan gelangnya pun bisa ia lihat masa depannya, "Sepertinya akan lebih merepotkan lagi kali ini ...." kata Felix dalam hati yang bahkan melihat sekilas masa depan seseorang yang tidak dikenalnya.
Terkadang semua hal harus dibiarkan mengalir begitu saja, itu adalah takdir. Membiarkan takdir berjalan sesuai yang diinginkan tidaklah selamanya buruk. Seperti mereka sudah tahu kalau Tan, Teo dan Tom akan meninggal mereka biarkan itu terjadi dan mengaturnya dengan rapi, "Rapi?!" Felix akhirnya tersadar setelah berpikir.
"Dimana Teo, Tan dan Tom?!" tanya Felix.
"Baru kau ingat juga dengan mereka?!" Cain masih tidak bisa diajak berbicara dengan ramah.
"Cain!" Felix menekankan bahwa sedang serius.
"Mereka masih di Rumah Banks, perlu perawatan lebih lagi. Belum sadarkan diri, sedangkan aku membawamu kesini karena Ayahku bilang kau akan cepat sadar kalau di Mundebris." kata Cain setengah hati melaporkan informasi yang Felix perlu tahu, "Kau tahu sulit sekali mencarikanmu tempat yang aman tapi kau malah menghancurkannya!" Cain masih belum berhenti marah, "Awas saja kalau kau membuat hujan sedangkan rumah sedang dalam keadaan seperti itu!" Cain mengancam.
Felix terdiam, bukan hujan yang ditakutkan oleh Cain yang turun tapi ternyata salju yang tiba-tiba turun.
"Anak ini!" Cain melepas sepatunya dan melemparkannya pada Felix.
"Itu juga karenamu! yang kau ucapkan dapat mengubah suasana hati Caelvita dan itu ikut mempengaruhi cuaca di Mundebris." kata Ayah Cain sudah menumpuk banyak bagian rumah yang hancur dalam satu tempat sehingga sudah terlihat lumayan bersih. Padahal hanya berselang berapa menit.
"Hentikan!" Cain bangun dan menggoyangkan tubuh Felix untuk disadarkan tapi masih saja tetap turun salju, "Apa yang harus kulakukan?!" Cain panik melihat salju yang sudah masuk kedalam rumah, Aaaaaa!" Akhirnya Cain memeluk Felix, tidak tahu kenapa tapi terlintas begitu saja kalau itu yang harus dilakukannya.
Salju berhenti turun, suhu dingin berubah menjadi hangat. Bunga bermekaran disekitar sana setelah mengerut karena suhu dingingin, "Okey, kita pertahankan cuaca ini. Ini yang paling pas! tidak dingin tidak panas." Cain melepaskan pelukannya.
Tapi Felix tidak melepas Cain, "Perang benar sudah berakhir melihat bagaimana kau ada disini ...." kata Felix.
"Tunggu sampai mereka bertiga sadar, baru kita bisa merayakannya. Aku tidak bisa membawamu ke Rumah Verlin, bagaimanapun disana adalah Markas Caelvita-118 sebelumnya. Sekarang sudah generasimu, tidak baik terus menumpang ditempat orang lain, Wow!" kata Cain yang kaget karena api tiba-tiba menyala begitu besar disampingnya.
Itu adalah Ayah Cain yang tidak habis pikir mereka baru saja saling adu pukul dan adu suara tinggi tapi Felix dan Cain sudah kelihatan akur. Makanya Ayah Cain langsung membakar bagian rumah yang ditumpuknya itu tanpa peringatan sebelumnya terlebih dahulu.
"Aku hampir saja terbakar!" teriak Cain.
"Kau bisa ke masa depan, kenapa tidak melihat ini terjadi. Yang disampingmu juga bisa melihat hal buruk terjadi, kenapa tidak menghindar." Ayah Cain sewot sendiri dan masuk ke dalam rumah.
"Ck, buat apa aku melihat hal kecil begini! buang-buang waktu saja ...." Cain sebal tapi terhenti dan menoleh pada Felix, "Kau tidak melihat ini terjadi?! atau kau sengaja membiarkannya terjadi?!" Cain menatap curiga.
"Tidak semuanya juga bisa kulihat, hanya acak dan terkadang aku bahkan tidak melihat apa-apa dalam waktu yang lama." kata Felix membela diri.
Cain percaya saja tapi tatapannya masih kelihatan menaruh curiga. Mereka berdua mengikuti Ayah Cain masuk juga ke dalam rumah yang setengah hancur itu, meninggalkan api unggun besar di depan halaman rumah yang bahan api unggun itu berasal dari bagian rumah sendiri yang sedang diinjak saat ini.
"Kenapa tidak menyewa penyihir saja untuk membetulkannya?! bahkan semuanya bisa kembali seperti semula tanpa perlu dibakar seperti itu." kata Cain.
"Kau sendiri yanf mengatakan ingin menjadikan ini sebagai markas Caelvita." kata Ayah Cain.
"Lalu, ada apa dengan itu?!" tanya Cain.
"Menggunakan sihir dengan rumah akan membuat pelindung tidak bisa berfungsi dengan baik. Rumah ini akan dengan mudah ditemukan kalau terus menggunakan sihir di dalamnya. Sehingga segala sesuatunya harus dengan cara biasa. Agar pelindung rumah ini bisa berfungsi dengan baik dan mengacaukan peta sehingga tidak bisa ditemukan oleh siapapun kecuali yang memang diizinkan." kata Ayah Cain.
"Jadi maksudnya ... kita harus memperbaiki ini semua dengan cara kuno?!" Cain kembali menatap tajam Felix penuh kebencian, "Kau sudah sehat kan?! bersiaplah untuk bekerja!" Cain memukul punggung Felix.
"Cara normal." Ayah Cain memperbaiki.
"Sudah berapa hari yang kulewatkan?!" tanya Felix.
"Jangan khawatir soal itu, kau bersama Sang Pemilik Waktu!" jawab Cain sambil mengedipkan mata dengan menyombongkan diri dengan bangga.
...-BERSAMBUNG-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 415 Episodes
Comments
Nona M 𝓐𝔂⃝❥
dah mampir ya..
2023-12-21
3
༄𝑓𝑠𝑝⍟🥀⃞🕊️⃝ᥴͨᏼᷛtrisak⃟K⃠👏
Mampir kak semangat ya☺
2023-07-26
1
Suga-ai✓
mampir di sini dulu
2023-07-12
1