Perjalanan Guntur Samudra
Badai petir yang tersambung dengan lebatnya hujan di daerah terpencil di malam itu. Nampak sebuah gubuk kecil di atas bukit yang lumayan tinggi yang sedang terjadi fenomena umum bagi setiap seorang wanita yang sedang hamil untuk segera melahirkan.
Anjani yang saat itu sedang berjuang untuk melahirkan anak pertamanya. Nampak juga seorang wanita tua yang membantu untuk proses persalinan itu.
" Ayo nduk... Dorong terus nduk.... Dorong.... Sudah terlihat kepalanya, " ucap wanita tua itu.
" Huhhhj.... Huhhh..... Hugggghhhhh..... Hahhhh... Hhhaaaahhhhhhh, " erang Anjani yang terus berjuang untuk melahirkan sesegera mungkin karena rasa sakit yang dia rasakan dan juga mulesnya proses melahirkan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
" Hakkk ciiiinggh... Oooeeeggghhh... Ooeeeekkk, " suara seorang bayi mungil yang sedang bersin dan langsung disusul dengan tangisan keras dan juga disusul oleh suara petir yang menggelegar di atas langit yang mana seolah olah tau kalau bayi yang baru saja terlahir itu adalah bayi yang akan menanggung beban yang sangat berat.
" Alhamdulillah..... Ndukkkk.... Selamat yaaa.... Uhhh... Uhhh..... Laki-laki ndukkk, " ucap wanita tua itu yang langsung menggendong seorang bayi laki-laki yang masih berlumuran darah dari sang ibu.
" Alhamdulillah..... Hikss.... Hikkssss, " ucap Anjani yang sangat bersyukur atas kelahirannya sang putra pertamanya.
Wanita tua itu dikenal dengan nama Mbah Pahing, tidak ada yang tau nama asli beliau kecuali Anjani anak kandungnya.
Setelah itu Mbah Pahing segera membersihkan si jabang bayi itu. Setelah selesai Mbah Pahing langsung memberikannya kepada Anjani selaku ibunya.
" Ini nduk, " ucap Mbah Pahing.
Anjani pun langsung menerima bayi laki-laki itu dan langsung meletakkannya di atas dadanya.
Nampak sang jabang bayi yang sangat lucu, kulit yang kuning langsat, hidung yang mancung dan juga yang membuat Anjani terkejut adalah ditangan kanan sang bayi terdapat sebuah tanda lahir berbentuk segitiga yang sangat jelas.
" Mbok.... Apa simbok tau tanda lahir ini....? " tanya Anjani kepada Mbah Pahing yang duduk di samping kiri Anjani.
Segera Mbah Pahing memegang tangan bayi tersebut dan melihatnya dengan serius.
" I-ini... Ta-tanda aksara.... Nduk.... Anakmu, " ucap Mbah Pahing yang terkejut melihat tanda lahir dari sang bayi.
" Kenapa mbok, " tanya Anjani penasaran.
" Jaga baik-baik anakmu nduk... Kelak anakmu akan menjadi orang yang hebat dimasa depan... Nduk ini adalah tanda lahir aksara... Bapakmu juga punya tanda ini dipunggung nya tapi tanda aksara milik anakmu lebih jelas dan lebih terang.... Nduk kelak anakmu akan menjadi seorang aksara.... Tidak... Sang Hyang Aksara, " jawab Mbah Pahing yakin dengan itu.
" Sang Hyang Aksara? Apa itu mbok, " tanya Anjani.
" Nduk apa kamu lupa bapakmu itu orang hebat dan disegani orang-orang? Itu karena bapakmu adalah seorang aksara nduk.... Seorang aksara bisa melakukan hal yang tidak bisa orang-orang lakukan... Sihir dan pemanggilan... Jika seorang jawara itu bertarung dengan kekuatan fisik tapi untuk seorang aksara bertarung dengan menggunakan spiritualnya atau kebatinannya, " jawab Mbah Pahing.
" Ahhh.... Iya mbok aku ingat sekarang kalau bapak bahkan bisa membentuk suatu sihir dengan tulisan-tulisan jawa, " ucap Anjani.
" Nduk jangan sampai orang-orang tau kalau anakmu memiliki tanda itu, " ucap Mbah Pahing.
" Baik mbok," ucap Anjani.
" Nduk... Siapa nama si kecil ini....? " tanya Mbah Pahing.
Anjani ingat mendiang suaminya sebelum dia berpulang karena tugasnya sebagai seorang aparat yang ditugaskan di perbatasan negara bagian timur yang terjadi pemberontakan. Mendiang suaminya pernah berkata kalau anak itu lahir berilah nama....
" Guntur Samudra, " ucap Anjani dengan tersenyum dan mengeluarkan air matanya.
" Guntur Samudra, "ucap Mbah Pahing sambil memejamkan matanya.
Mbah Pahing langsung tersadar dan sangat tau akan arti nama itu karena bagaimana pun dia juga seorang aksara walaupun tidak sekuat suaminya tapi tidak bisa dipungkiri kalau Mbah Pahing juga seorang aksara.
Tapi sayangnya Mbah Pahing dan suaminya tidak menurunkan semua itu kepada Anjani dan malah menurunkan kepada sang cucu.
" Nduk... Semoga anak ini bisa dan sanggup untuk menanggung semua beban dari nama itu, " ucap Mbah Pahing.
" Iya mbok... Itu adalah nama yang diberikan ayahnya sebelum dia berpulang mbok, " ucap Anjani.
Sebenarnya Mbah Pahing tau kalau suami anaknya itu bukan orang sembarangan.
Suami anaknya itu adalah anak dari salah satu legenda Jawara dan anaknya itu seorang jawara hebat yang berhasil meraih berbagai penghargaan dalam dan luar negeri hanya saja Anjani tidak tau akan hal itu dan itu karena suami anaknya itu tidak mau kalau istrinya tau semuanya tentangnya dan sangat berbahaya jikalau musuh-musuhnya tau kalau dia mempunyai seorang istri.
Mereka pun kembali teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu. Tanpa terasa air mata mereka menetes begitu derasnya.
Anjani memeluk erat si kecil yang mana sedang menyusu kepada ibunya sedangkan Mbah Pahing terduduk di samping kiri mereka sambil mengelus kepala Anjani.
***
Suami Anjani bernama Panji Samudra. Di samping itu Panji seorang aparat akan tetapi Panji juga terlahir dari keluarga yang berada.
Bahkan untuk urusan di bidang bisnis keluarga Panji bisa dibilang sangat sukses yang telah menempati urutan 2 besar di negara ini.
Sebenarnya Panji adalah calon penerus kepala keluarga yang akan menggantikan ayahnya karena Panji sangat mumpuni dalam bidang itu.
Di samping dia sangat pintar dan bijak dalam menyelesaikan suatu permasalahan dia juga mempunyai kharisma dan juga wibawa tersendiri.
Maka dari itu ayahnya menyerahkan semua asetnya kepadanya akan tetapi Panji menolak, di samping dia adalah seorang jawara dia juga tidak minat untuk terjun ke dunia bisnis dan memilih untuk menjadi aparat untuk mengabdikan dirinya kepada Negaranya.
Anjani pun tidak tau banyak tentang suaminya karena pernikahannya yang sangat sederhana dan juga hanya keluarga Anjani saja yang mana hanya Mbah Pahing dan suaminya yang bernama Mugiman sebagai wali.
Yang terpenting sah untuk negara dan juga agama sudah membuat Panji dan Anjani sangat bahagia saat itu.
Setelah sehari mereka menikah, Panji mendapatkan tugas ke daerah ujung timur negaranya untuk melawan para pemberontak.
Sebagai seorang prajurit negara dengan adanya panggilan tugas seperti itu mau tidak mau haruslah mau untuk melaksanakannya.
Anjani sang istri pun tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah atau sekedar mengulur waktunya bersama suami tercintanya.
Akan tetapi siapa sangka kalau itu yang membuat pertemuan terakhir mereka untuk menjadi sepasang kekasih.
Setelah 1 bulan Panji ditugaskan ke bagian ujung timur negaranya, Anjani ternyata hamil yang hanya sekali tusuk saja bersama suaminya.
Sangat subur, itulah yang dipikirkan Mbah Pahing dan juga Mugiman.
Panji yang mendapat surat dari istri tercintanya yang mengatakan kalau dirinya hamil pun tidak bisa membendung air mata kebahagiaannya.
Ingin sekali Panji pulang sebentar untuk sekedar memeluk istrinya akan tetapi semua itu tidak bisa dia lakukan karena tugas dari negaranya dan juga posisi di daerah tempat dia bertugas sedang masa genting.
Panji membalas surat dari istrinya itu yang mana mengungkapkan rasa bahagianya dan kondisinya saat itu dan yang terpenting dia berjanji setelah tugasnya selesai dia akan segera pulang.
Anjani pun sangat bahagia mendapati surat dari suaminya itu kalau akan segera pulang kalau tugasnya sudah selesai.
Akan tetapi angan tetaplah angan, begitulah yang dirasakan Anjani saat usia kandungannya menginjak 5 bulan.
Anjani mendapatkan kabar dari komandan suaminya melalui surat kalau Panji suaminya telah gugur melawan para pemberontak dengan 5 peluru yang tersangkut ditubuhnya guna melindungi kawan seperjuangannya yang terancam bahaya.
Walaupun Panji adalah seorang jawara akan tetapi melawan sekian banyak pemberontak dan rata-rata menggunakan senjata laras panjang tetap saja kalah dan juga mustahil bagi seorang jawara untuk menang melawan senjata-senjata itu.
Walaupun menggunakan ilmu-ilmu jawara mereka terkecuali jika ada seorang aksara yang mendampingi para jawara barulah seimbang untuk melawan senjata mereka karena seorang aksara mampu membuat aray atau pelindung untuk keamanan mereka dan juga partner mereka.
Pecah sudah tangis duka Anjani saat itu mendengar itu semua.
Mbah Pahing dan suaminya pun tidak luput dari rasa duka.
Tiga bulan setelah Panji berpulang Mugiman juga menyusul untuk berpulang.
***
Batavia
Nampak keluarga Samudra yang sedang ditelpon oleh komandan regu dari regu yang Panji menjalankan tugasnya, keluarga Samudra yang mana itu adalah keluarga Panji untuk memberi kabar tentang gugurnya Panji.
Keluarga Panji pun juga tidak luput dari rasa dukanya apalagi sang ayah dan juga sang ibu setelah mendengar kabar gugurnya sang putra mereka.
Komandan regu yang memimpin regu Panji pun juga menceritakan semuanya dan dikuburkan di sana karena ada beberapa hal, dan sang komandan juga menceritakan kalau anaknya Panji sudah menikah dan istrinya sedang mengandung usia 5 bulan.
Seketika itu juga sang ayah dan ibunya sangat terkejut akan kabar itu karena Panji sendiri tidak pernah bercerita tentang hal itu.
Sang ayah mendesak sang komandan untuk menceritakan tentang istrinya guna untuk mencarinya akan tetapi sang komandan pun tutup mulut karena sudah berjanji dengan Panji untuk tidak memberitahukan tentang istrinya karena banyaknya musuh dari keluarganya dan juga para jawara yang tidak terima akan kekalahannya dahulu sebelum menjadi seorang prajurit.
Hanya ingin melindungi keluarga kecilnya dari bahaya Panji sampai berfikir sejauh itu.
Komandan pun akhirnya mengatakan sedikit saja tentang istri Panji karena tidak tega dengan ayah dan ibunya Panji yang sedang dilanda duka yang mendalam.
Komandan menceritakan kalau istrinya Panji itu tinggal disebuah bukit terpencil di daerah kota tengah pulau jawa.
Komandan juga memberi tahu ayah dan ibunya Panji kalau istrinya itu anak dari salah satu Legenda Aksara yaitu Mugiman.
Seketika itu ayah dan ibu Panji sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan karena dulu jika bukan karena beliau keluarga Samudra tidak seperti sekarang ini dan juga sang ayah yang bernama Aji Samudra itu bersahabat dengan Mugiman, begitu juga dengan Lastri istri Aji Samudra dan juga Mbah Pahing.
Mereka tau kalau Mugiman itu sangat terkenal dan disegani semua orang karena dirinya adalah seorang Aksara tersohor pada jamannya dan Aji Samudra sebagai seorang Jawara tersohor pada masanya dan masa tersohornya Aji Dan Mugiman itu sama.
Akan tetapi Mugiman tiba-tiba menghilang tanpa jejak pada saat itu tanpa ada orang yang tau dan tanpa sebab.
Maka seketika itu pun Aji Samudra mengutus semua anak buahnya untuk mencari keluarga sahabatnya itu dengan segera, akan tetapi sampai sekarang dimana cucunya terlahir di dunia ini pun belum ada harapan yang berarti untuk menemukannya.
Walau seperti itu Aji Samudra tidak menyerah sedikitpun untuk tetap mencarinya walau kesempatan bertemu pun hanya sebesar biji sawi.
_***_
20 tahun kemudian...
Di sore hari dimana sang surya memundurkan dirinya untuk berganti dengan sang rembulan, banyaknya hewan dan makhluk hidup lainnya sudah menetap pada rumahnya masing-masing.
Disana nampak seorang pemuda tampan yang sedang duduk di teras gubuknya yang jauh dari kata mewah.
Dengan kulit kuning langsat, rambut lurus panjang yang hampir sepinggang dengan warna hitam legam, hidung mancung, alis yang tebal, mata yang tajam dengan pupil hitamnya, bibir yang tidak tebal maupun tipis serta gigi gingsul dan lesung pipinya serta sedikit berewok menghiasi muka dari sang pemuda itu yang mana menjadikan seorang pemuda itu ibarat seorang pangeran suatu kerajaan dengan tubuh yang tegap berisi.
Karena latihannya bersama sang neneknya yang terus digembleng secara fisik dan spiritualnya serta batinnya untuk menjadikannya seorang laki-laki yang tangguh dan juga seorang Aksara sekaligus Jawara yang hebat.
Sang nenek tidak tanggung-tanggung untuk melatih sang pemuda itu bahkan tidak kenal waktu dan hanya diberikannya waktu 4 jam saja untuknya beristirahat.
Siang hari sang nenek melatih fisiknya agar menjadi kuat untuk menjadi seorang jawara yang hebat sedangkan malam harinya sang nenek melatih spiritual dan batinnya untuk menjadi seorang Aksara yang tangguh.
Sudah hampir semua ilmu yang neneknya kuasai itu diberikan kepada sang cucu.
Dari mulai pondasi sampai pada penyusunan aksara agar bisa terwujud nyata entah itu elemen-elemen di dunia ini sampai pada penggabungan elemen pun diajarkannya bahkan aksara pemanggilan pun ikut diajarkannya hanya tinggal 1 ilmu lagi dimana itu sebagai puncak seorang aksara yaitu kekuatan mata.
Kekuatan mata itu tergantung individu seorang aksara namun sebagai urutan kekuatan mata itu tergantung warna dari perubahan mata dari seorang aksara yaitu...
- Merah
- Kuning
- Hijau
- Ungu
- Biru
- Hitam
- Putih
Jika ada seorang aksara yang sudah bisa merubah pupil matanya menjadi warna-warna tersebut bisa dikatakan kalau orang tersebut sudah menjadi seorang master atau guru aksara.
Mbah Pahing hanya mampu merubah warna pupil nya menjadi merah sedangkan Mugiman berwarna hitam.
Dalam sejarah seorang aksara yang mampu merubah warna pupil nya menjadi warna putih itu hanyalah sang raja pertama kerajaan di kotanya sebagai derajat dan tingkatan kekuatan mata tertinggi yang dimiliki oleh seorang aksara dan itu sudah ratusan tahun yang lalu.
Karena ada campuran darah antara seorang jawara dan juga aksara maka sang nenek tidak nanggung-nanggung untuk melatihnya.
Karena Mbah Pahing seorang aksara maka hanya yang dia ketahui saja yang dia ajarkan kepada cucunya karena tidak tau banyak tentang ilmu-ilmu jawara.
Seorang jawara harus kuat secara fisiknya bahkan naluri dan instingnya serta mentalnya harus kuat beserta refleknya sebagai penyeimbang.
Sedangkan seorang aksara harus kuat dalam spiritual dan batinnya maka dari itu untuk menjadi seorang aksara harus kuat dalam segi tirakatnya dalam hal apapun seperti nafsu, amarah, dendam, iri hati, tamak, sombong, dan angkuh, harus bisa ditekan atau dihilangkan dari dalam diri seorang aksara.
Semua itu adalah syarat untuk menjadi seorang aksara.
Maka dari itu seorang aksara sangatlah susah untuk ditemukan karena syaratnya yang sangat sulit untuk dilakukan dari pada seorang jawara.
Bahkan sang pemuda pun sangat rajin untuk berpuasa daud.
Sebagai seorang yang beragama yang taat sang pemuda dan juga keluarganya tidak pernah melupakan ibadahnya.
" Guntur... Yuk nak kita sujud dulu sebentar lagi maghrib, " ucap sang ibu yaitu Anjani.
" Sendiko ibu, " ucap sang pemuda yaitu Guntur Samudra.
" Guntur jangan lupa setelah itu buat deresan untuk hari ini, " ucap sang nenek yaitu Mbah Pahing.
" Sendiko eyang, " ucap Guntur dengan patuh.
Deresan dalam bahasa jawa adalah setoran berupa hafalan kitab suci alquran jadi di samping semua itu keluarga Guntur sangat taat pada agamanya.
Apalagi sang ibu yang dari kecil usia 5 tahun dirinya sudah dititipkan di suatu pondok pesantren sampai usia 18 tahun untuk menikah dengan Panji.
Karena pertemuannya di suatu majelis ilmu untuk umum yang diselenggarakan pondok pesantren tempat dimana Anjani menimba ilmunya.
Di sanalah Panji yang bertugas untuk menertibkan para tamu yang membeludak.
Saat itu Anjani yang sudah hafal kitab suci alquran dan juga beberapa kitab-kitab kuning yang dia pelajari.
Setelah pertemuan itulah Anjani langsung jatuh cinta pada Panji begitu juga dengan Panji yang saat itu umurnya menginjak 25 tahun.
Sebenarnya Guntur pada usia 7 tahun sudah hafal alquran tetapi untuk menjaga hafalannya guntur tetap setoran kepada ibunya begitupun dengan ibunya pun setoran kepada sang anak guna menjaga hafalannya juga.
Sedangkan sang nenek tidak mampu untuk menghafal semuanya jadi hanya hafal yang mampu dia hafal saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Andalas 476
jauh amat 20 thn...biar manis 15 atau 17 thn..ngono lho..🤔
2023-10-22
0
batik mida
kaya yg di kejar"depkolektor,,,,
2023-06-12
0
Jimmy Chuu
kerja yg bagus Thor. kalau boleh saran, kalimat panjang2 itu bisa di kasih enter pada kalimat yg tepat agar pembaca bisa bernafas dan tidak terburu2 membaca tanpa menarik nafas di Kalimati panjang 👍
2023-01-23
1