“Iwan, tolong masukan file kadaluarsa ke paper shredder ya,” sahut salah seorang karyawan Divisi Legal sambil menunjuk dua kardus besar di depan mejanya.
“Ya, Bu,” Rahwana memeriksa isi kardus dan isinya kertas-kertas dengan logo asli, bahkan ada sertifikat asli segala. “Ini semua mau di hancurkan?” tanya Rahwana.
“Kamu kasihkan ke tukang gorengan juga nggak masalah,mau kamu kiloin juga terserah,” kata si karyawan. “Atau kamu nggak mau?” pandangan matanya dengan sinis mengarah ke Rahwana seakan bilang ‘nggak usah banyak bac0t kau, kerjain aja bawel amat sih!’.
Rahwana menatap ke arah name tag si karyawan. Nisa Viandra.
Lalu ia ingat-ingat nama itu baik-baik.
“Baik, bu,” Rahwana pun tersenyum manis dan mengangkat kardus-kardus besar itu ke troli.
Nisa, si karyawan, tertegun melihat senyum Rahwana.
Seketika ruangan itu hening, tanpa ada suara ketikan dan obrolan.
Rahwana selesai mengangkat kardus itu ke troli dan mendorongnya ke ruangan fotokopi, tempat mesin penghancur kertas berada.
“Gila lo liat senyumnya! Manis buangeeetttt!”
“Meleleh gueeee,”
“Ternyata selain mata coklatnya, bibirnya juga seksiiii,”
“Liat nggak waktu dia angkat kardus?! Bisep-nya jadi banget cuuuy!”
“Oh Gosh, gue deg-degan sampe pusing!”
Dan berikutnya semua mencari alasan agar bisa berinteraksi dengan Rahwana.
Letak paper shredder di ruangan fotokopi agak ke dalam dan tak terlihat dari depan. Dengan penuh keraguan, Rahwana menyalakan mesinnya dan menunggu beberapa saat agar mesin itu siap bekerja, ia membongkar isi kardus.
Isi kardusnya hampir semuanya penting.
Setahu Rahwana, menghancurkannya berarti melanggar hukum. Dan seorang karyawan bagian legal dengan polosnya menyuruh Rahwana menghancurkan semuanya seperti cuci tangan dari dosa dan melimpahkannya ke Rahwana. Mungkin Mbak yang namanya Nisa tadi berpikiran kalau Rahwana hanya seorang Office Boy biasa.
Dan kalau dilihat, semua dokumen mengarah ke lokasi yang sama. Komplek perumahan baru di daerah Cibubur. Namun dengan nama pemilik sertifikat yang berbeda.
Selagi Rahwana melihat-lihat dokumen, ada beberapa orang masuk ke ruangan fotokopi di sebelahnya sambil mengobrol.
Walaupun letak Rahwana agak tersembunyi tapi dia bisa mendengarkan perbincangan orang-orang itu.
“Tapi kan tidak perlu marah sampai berlebihan begitu, Pak. Dia pikir saya ini kacung kayaknya,”
“Saya mengerti Pak Endang. Niat bapak kan hanya membantu tim marketing agar perumahan itu cepat laku. Ya memang caranya agak salah, tapi siapa yang mau menempati tanah bekas makam keluarga yang dibongkar?!”
“Memang dari awal sudah salah sih Pak, makam keluarga kan tidak terdaftar di BPN, jadi tidak ada yang tahu di sana ada makam. Tim peninjau juga terlewat dalam hal ini,”
“Ya makanya saya tempatkan saja saudara-saudara saya di sana, untuk tolak bala, lah. Toh kita sudah potong kambing hitam untuk jaga-jaga,”
“Tapi sebenarnya rumah itu sudah diperuntukkan untuk orang lain kan?”
“Ya sudah, sertifikatnya atas nama orang yang diamanahkan oleh owner. Tapi kan mereka orang lain, kalau tersebar rumor, kan kita-kita juga yang kena. Kadang orang seperti itu kan tidak tahu terima kasih, sudah dibantu dapat rumah bagus, eh malah nyebar-nyebar gosip tak jelas,”
“Jadi Pak Endang mengganti pemilik sebenarnya dengan saudara-saudara Pak Endang sendiri?”
“Ya begitulah,”
“Pemilik yang sebenarnya itu siapa sih pak?”
“Jadi, owner kita itu memberikan rumah gratis ke pemulung-pemulung, pengemis jalanan, yang anaknya banyak. Letaknya di area bagian belakang,”
“Ya mulia sekali dong,”
“Tapi masalahnya...”
“Ada masalah, toh?!”
“Ya iya, mereka kan gelandangan yang nggak ngerti apa-apa, pasti ada masalah lah!”
“Masalahnya apa?”
“Mereka nggak punya NPWP untuk syarat dasar pengalihan hak sertifikat! Kami sudah akan membuatkan, tapi saat mereka tahu kalau memiliki NPWP berarti berhubungan dengan pajak, mereka menolak untuk menerima rumah itu, mereka lebih baik dikasih uang tunai untuk hidup sehari-hari. Sementara sertifikatnya sudah jadi,”
“Jadi bagaimana?”
“Ya saya jual rumahnya dengan harga murah ke saudara-saudara saya, lalu uangnya saya berikan ke gelandangan -gelandangan itu,”
“Sertifikat aslinya bagaimana?”
“Saya sudah serahkan ke Nisa untuk di destroy,”
Rahwana menatap tumpukan sertifikat di depannya. Sepertinya ini dokumen yang dimaksud. Jadi ini termasuk barang bukti.
Sebenarnya perbuatan Pak Endang tidak salah, tapi yang fatalnya, ia bertindak sendirian tanpa sepengetahuan manajemen. Itu berarti, dia hanya akan jadi pahlawan kesiangan.
Pantas Pak Rey marah besar kalau begitu kasusnya.
“Pak Endang, bapak melakukan semua itu untuk siapa sih?”
“Ya untuk membantu Pak Yanto. Kan dia marketing perumahan itu,”
“Oh, pantas tadi dia juga dipanggil,”
“Dia bilang, kalau bulan ini target penjualannya tidak mencukupi, dia akan dimutasi ke area Sumatra. Lah, anak bininya di sini ya dia stress berat. Terus dia datang ke saya, kebetulan kan saya mengurusi legalisasinya,”
“Tapi Pak Endang kan jadi kebawa-bawa,”
“Ya itulah sialnya saya, sekarang kita berdua malah terancam dipecat. Saya sih masih ada usaha laundry dan istri saya masih kerja. Tapi Pak Yanto kan tulang punggung,”
“Belum bini-bininya yang dinikahi siri,”
“Hahahahah! Kamu juga tahu bro?!”
“Ya tau lah, dia kan cerita kemana-mana! Macam Cassanova aja dia. Gajinya habis buat ke spa plus-plus, ya stress lah!”
“Yaaaah, kita liat aja mau gimana, tapi saya masih kesel banget sama Reynaldy Trenggono! Mangkel banget saya! Mentang-mentang orang kepercayaan Sebastian Bataragunadi, dia seenaknya di sini,”
“Orang-orang kaya itu kan nggak melalui hidup susah ya Pak. Dipikiran mereka, kita dikasih rumah aja sudah untung, tapi mereka nggak hitung biaya untuk prosesnya. Mana nggak kasih kita dana untuk membereskan semuanya, terus siapa yang mau menalangi?! Ujung-ujungnya yang susah ya kita, para karyawan,”
“Sssst! Dana untuk itu udah diberikan, dana untuk pembayaran pajak jual-beli dan akta notaris,”
“Loh? Bagus, dong?!”
“Tapi kayaknya dikasih ke Pak Yanto. Ini sih cuma dugaan saya loh ya, masa sih setingkat Bataragunadi tidak memikirkan hal itu?! Nah, pertanyaannya, dana itu dari Pak Yanto, nyampe nggak ke pihak-pihak yang berkepentingan?!”
“Haduh...”
Dan Rahwana mengangkat sebuah memo yang ditandatangani Papanya. Memo itu asli, dengan beberapa duplikat di baliknya. Memo Internal Persetujuan biaya yang timbul akibat pengalihan hak atas rumah tinggal di Cibubur. Untuk mendapatkan tandatangan Papanya, suatu hal yang cukup sulit. Melalui proses yang sangat lama.
Dan memo tu diperintahkan oleh bagian Legal untuk dihancurkan.
Nggak beres ini sih!
Lalu dua orang itu akhirnya selesai memfotocopy dan pergi dari sana. Sepertinya mereka tidak menyadari kalau Rahwana ada di ruangan sebelah.
Rahwana pun penasaran. Siapa sih Pak Yanto yang dimaksud?
Jadi pemuda itu pun keluar dari ruangan, setelah menyimpan dokumen-dokumen penting tadi ke lemari besi, dan mengunci lemari itu.
*
*
Ruangan bagian marketing seperti biasa hiruk pikuk penuh konflik. Beberapa orang wanita memanggilnya untuk pertanyaan tak penting, seperti asalnya dari mana, kenapa bisa ganteng banget, mau makan siang bareng nggak, kosannya di mana, dan remeh temeh lainnya.
Sementara, Rahwana lebih tertarik untuk mengamati, bagaimana sih kinerja Marketing di kantor ini, yang dijuluki sebagai divisi paling repot seperusahaan?!
Sayup-sayup terdengar alunan lagu dangdut karawang di salah satu kubikel. Beberapa pria sedang bercanda sembari mengurus dokumen.
“Kalau itu bagian apa, Mbak?” Rahwana bersandar di salah satu kubikel cewek cantik yang suka heboh, bernama Rosana.
“Oh, itu bagian rumah bersudsidi area Banten. Biasa Pak Yanto kalo kerja sukanya muter lagu dangdut. Ya kita sih fine-fine aja, semua punya cara sendiri untuk melepas stress,” kata Rosana.
“Lagian gue nggak ngerti deh stressnya di mana, mereka kan cuma ngurusin rumah subsidi yang memang sudah ditentukan konsumennya siapa aja, nggak harus cari customer dan ngerayu-rayu buka paha kayak kita,” gerutu Mbak manis yang namanya Fenny.
“Kalau bapak-bapak kan nggak bisa multitasking. Kalau satu kerjaan belum beres udah ditambah kerjaan lain, udah deh otaknya ruwet. Lah kita ngerjain dua-tiga pekerjaan sekaligus masih sempet-sempetin shopping Bestie, hahaha!!”
“Hahaha!” timpal yang lain.
“Iya soalnya mereka kan nggak punya paha mulus, mau ngerayu siapa biar targetnya cepet beres, coba?” sahut Rahwana.
Si Mbak-Mbak marketing diam. Lalu nyengir, sebagai tanda kalau Rahwana ada benarnya.
“Jadi, kamu hari Sabtu bisa diajak keluar nggak nih?” tanya mereka.
Rahwana hanya terkekeh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
🍌 ᷢ ͩ𝐀⃝🥀ρҽNσʋ🎀⁰⁰
ta dai2 dia anak gopar
2025-03-09
0
Sulaiman Efendy
TERKADANG ORG HNY MNILAI GEMERLAPNYA SAJA, MRK TK TAU KLO PERJUANGAN MNUJU KMILAU YG BERGERMELAPAN ITU TDKLH MUDAH.. PNUH AIRMATA, KERINGAT & DARAH..
2023-10-12
0
Sulaiman Efendy
HEMMM, MRK PIKIR DLU KLUARGA DHARMAWANGSA KAYA APA, KLO MRK DLU KAYA, TK MGKIN MAMANG HANSEL PRNIKAHANNYA TDK DIRESTUI PIHAK KLUARGA ISTRI, MAKANYA ISTRI HANSEL PLG KE TURKI SAAT MEI USIA 4 TH...DN ENTAH BRAPA SAAT ITU USIA SI YAN..
2023-10-12
0