Samar-samar aku mendengar keributan kecil disekitarku, mungkin itu suara Zia dan bibi Lynn entah apa yang sedang mereka perdebatkan hingga menyebut namaku berkali-kali. Aku masih berusaha untuk membuka mataku, beberapa kali ku kerjapkan kelopak mataku untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke netraku. Aku mengedarkan penglihatanku, ahh ternyata aku sudah berada di dalam kamarku. Mungkin Gibran dan paman Yohan yang membantuku kembalinke kamar ini. Perlahan aku melenguh sembari memijat kepalaku yang terasa berat,
"Kakak,.." Zia berhambur menghampiriku, jelas dari raut wajahnya aku bisa melihat kekhawatirannya terhadapku, juga bibi Lynn terlihat menyeka air matanya. Aku menghela nafasku seraya mengangguk kecil.
"Tenanglah Zia, kakak mu ini belum mati" ucapku ketus.
"Kakak !!" pekik adik ku cemberut.
"Jangan bicara sembarangan Zehan!" hardik pamanku Yohan memyambungbung ucapan Zia yang terpotong karena hardikannya. Suaranya terdengar kasar dari ambang pintu, aku tahu semua orang begitu mengkhatirkan keadaanku yang sekarang. Sejak kecelakaan itu aku resmi menjadi penyandang disabilitas, aku mengalami kondisi paraplegia mengakibatkan seseorang kehilangan kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuhku, inilah aku si cac*t.
Aku terdiam mendengar hardikan pamanku sembari berusaha memirigkan tubuhku meski sulit karena tubuh bagian bawahku memang tidak bisa ku gerakan sama sekali. Sejujurnya aku memang tengah mengalami depresi karena kondisiku, ditambah lagi Lexa, perempuan yang aku cintai pun meninggalkanku bahkan mengkhianatiku dengan seseorang yang selama ini menjadi temanku selama 10tahun. Aku tersenyum getir mengingat sehari sebelum kecelakaan itu kami adalah pasangan yang paling berbahagia dan serari "katanya" dalam sebuah pesta pertunangan yang ku buat sedemikian rupa sesuai dengan Alexa yang seorang model papan atas, yang tentunya memeliki kehidupan yang serba wah dan glamor, berapapun kocek yang harus ku rogoh aku tak peduli meski keluarga ku tak sepenuhnya menyetujui hubunganku dengan Alexa. Mereka selalu beranggapan jika Alexa tidak benar-benar tulus mencintaiku. Dan harusnya aku mendengarkan mereka daripada hasratku terhadap Alexa. Kemarin ia mencampakanku begitu saja seolah kami bukanlah pasangan yang saling mencintai. Ia mengolok-olok bahkan menghina kondisiku yang sekarang.
Haruskah aku mengartikannya "Sudah jatuh tertimpa tangga"? ahh rasanya itu terlalu berlebih sepertinya, karena semua masih sama saja, yang berbeda hanya kondisi fisik yang tengah sakit, dan psykisku yang sedikit mengalami depresi karena bebepa peristiwa yang aku alami belakangan ini. Sedang untuk urusan yang lainnya masih terbilang masih normal terkendali, meskipun memang aku sempat mendengar ada beberapa klient yang membatalkan kontrkak, ya sudahlah mungkin memang belum rezeki. Untuk sementara perusahaan aku bisa percayakan pada paman dan Gibran suami Zia yang juga merangkap sebagai sekertaris pribadi ku.
Dulu aku sempat tercengang saat Gibran terang-terangan menyatakan perasaannya pada Zia, yang ku kira hanya candaan belaka. Jelas aku terkejut, kepribadian mereka berdua sangat bertolak belakang, Zia selalu terlihat ceria, meloncat ke sana kemari seperti kelinci, orang-orang di sekitarnya pasti akan bisa merasakan vibes positive darinya. Sedang Gibran sifat dan karakternya tidak jauh berbeda dengan ku, dia sosok yang pemikir serius, ulet, Fokus, tepat waktu, cuek, tidak suka basa basi, namun ya harus aku akui dia sosok yang sangat dewasa ketika berhadapan dengan adik ku yang pecicilan.
Hmmm mari kita lupakan sejenak soal dua orang itu, kembali pada keadaanku, ini kan ceritaku bukan story telling tentang percintaan mereka berdua. Author ini masih bab dua lho -_-
"Ze,," seru pamanku, perlahan aku pun merubah kembali posisiku terlentang dibantu pamanku memposisikan bantalku agar aku bisa merasa lebih nyaman, aku menoleh sekilas ke arah paman, lantas kembali netraku mengawang menatap kosong ke bagian lain kamarku.
"Ze, papa tau semua inu berat untukmu, tapi bagaimanapun kamu harus bisa bangkit dari keterpurukan ini Ze," ucap bibi ku lembut, suaranya terdengar serak sesekali ia mengisak sembari membelai lembut rambutku.
"Nak, kami ingin kamu sembuh, tapi dengan kejadian Alexa kemarin malam rasanya akan lebih sulit jika kamu masih tinggal disini dengan segala kenangan bersama perempuan tidak tahu diri itu" timpal pamanku terlihat dari raut wajahnya kebencian mendalam saat ia menyebut nama Alexa. Aku menatap nanar pada ke dua orang tua itu, usia mereka sudah lebih dari setengah abad, namun sisa-sisa ketampanan dan kecantikan mereka di masa lalu masih terlihat meski di beberapa bagian terdapat kerutan rentang usia mereka. Mereka adalah orang yang aku hormati selain mendiang kedua orang tuaku.
Ya kami berdua adalah yatim piatu, kedua orang kami meninggal dalam suatu kecelakaan pesawat sewaktu aku baru berusia 9 tahun dan Zia baru berusia 4tahun. Kami cukup beruntung Paman Yohan dan Bibi Lynn mau merawat kami, mereka memperlakukan kami sama seperti kepada anak-anaknya. Sebelum ada kami mereka sudah memiliki Nathan dan Nathalie sepesang anak kembar yang usianya hanya berbeda 2 tahun di bawahku, meski mereka sudah kerepotan dengan anak-anak mereka namun mereaka berhasil mendidik kami, semua anak-anak paman dan bibi termasuk aku dan Zia mendapatkan prioritas dan kasih sayang yang sama. Tidak ada pilih kasih.
Setelah dewasa kami memilih jalan masing-masing, Nathan sukses menjadi komposer musik, Nathalie menjadi seorang penari balet internasional, Zia baru saja lulus S2 sejarah seni di University of Cambridge. Sedang aku karena masih belum ingin bekerja di perusahaan mendiang ayah, setelah lulus dari UI aku memutuskan untuk melanjutkan program S2 dan S3, di Massachusetts Institute of Technology (MIT) Cambridge, USA.
Sebagai lulusan Cumlaude dari MIT paman terus membujuku agar segera masuk ke perusahaan namun karena aku masih merasa minim pengalaman aku masuk ke perusahaan jalur mandiri, dengan kata lain aku memulainya dari bawah, karyawan biasa, dan selama itu aku merahasiakan identitas asliku. Baru tiga tahun setelahnya terpaksa aku harus segera menggantikan posisi paman sebagai pemimpin perusahaan karena paman sempat mengalami serangan jantung. Pengangkatan tersebut tentu membuat beberapa orang yang menganggapku kacung ketar ketir, namun karena melihat dedikasi mereka pada perusahaan serta tidak adanya bukti KKN dalam bentuk apapun pada mereka mereka tetap bekerja di posisi mereka masing-masing, meski aku sempat melayang "surat cinta" pada mereka sebagai peringat untuk tidak semena-mena terhadap bawahan mereka.
Aku dikenal sebagai seseorang yang lumayan gila kerja, meski terkadang bingung juga heran pada orang-orang yang menganggap dan mengatakan bahwa aku adalah jenis manusia yang sulit didekati, terlalu kaku, selektif,teliti, tegas, dingin, acuh, tapu menurutku itu sikap yang normal seperti orang kebanyakan, tapi entahlah.
Aku menatap wajah bibi yang terlihat sembab dan lelah, kecemasan pada adikku, dan keraguan pada pamanku.
"Kak, kakak mau ya ikut aku dan Kak Gibran ke Hongkong untuk sementara waktu," ucap Zia sembari menarik tanganku dengan wajah penuh mengharapan.
"Iya Ze, kita tinggal di sana sementara waktu sampai kondisimu pulih lagi" bibi Lynn ikut menyahuti. Aku tersenyum getir pada 2 wanita berbeda genre ini, lantas menyentuh punggung tangan mereka secara bergantian.
"Aku baik-baik saja, berobat dimana pun kalo memang cac*t ya cac*t saja" jawabku sarkas tanpa penekanan.
"Ze, kamu harus ingat ada banyak orang yang bergantung pada kesembuhanmu, bukan hanya paman,bibi, adik-adikmu tapi juga ribuan karyawan perusahaan. Apa kamu sudah lupa tanggungjawabmu pada kami Nak?" ungkap paman lirih, dari matanya yang mulai berkantung mulai menggenang air mata yang mulai menganak siap merembes kapan saja. Aku kembali diam membisu. Aku hanya menghela nafas sembari memejakan mataku.
"Nak, mama tahu semua ini sulit, tapi lihatlah papa mu sudah tidak sekuat dulu, adik-adikmu juga bukan orang kompeten untuk mengurus perusahaan, Gibran juga tetap menolak jika harus menggantikanmu selamanya. Papa dan mama mohon padamu Nak, pikirkan lah kami yang sudah renta ini, pikirkan juga orang-orang yang bekerja sejak awal di perusahaan ayah mu, rasanya tidak adil jika mereka harus jadi korban kelakuan Alexa Nak,, hiks.." ucapan bibiku benar, aku memang sedang terpuruk tapi tidak seharusnya aku mengorbankan orang-orang disekitarku. Sekali lagi aku menghembuskan nafasku. Lantas aku mencoba meraih tangan paman dan bibi untuk bisa duduk di atas pembaringanku.
Aku mengenggam tangan hangat kedua orang tua itu,
"Kak, aku mohon" ratap Zia sekali lagi.
"Tuan, saya tidak tau apa tepat atau tidak saya mengatakan hal ini sekarang, tapi..." aku melirik tajam pada Gibran kemudian ia mendekatiku lantas berbisik di telingaku.
"saya mendengar selentingan bahwa kecelekaan yang tuan alami ada kaitannya dengan Deren, karena kecurigaan itulah, saya sedang menyelidikinya." mendengar penuturan Gibran darahku seketika mendidih, sekali lagi aku mendelik tajam pada Gibran yang berdiri diantara adik-adik ku.
"Tuan, jika tuan tidak berusaha bangkit dan sembuh maka sampai kapan tuan tidak akan bisa membalas semua perbuatan culas mereka pada tuan" tambahnya lagi sedikit bergeser dari tempatnya semula. Gerahamku makin mengerat, rahangku mengeras menahan agar emosiku tidak meledak. Aku menatap tajam lurus ke depan.
"Zi, kapan kita berangkat?"
...****************...
********
terima kasih untuk dukungannya kepada author 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments