Hari-hari setelah pertemuan dengan Raffa membawa angin segar dalam hidup Felly, tetapi bayang-bayang masa lalu masih membayangi pikirannya. Perpisahan kedua orang tuanya terus menghantuinya, mengingatkan pada betapa rapuhnya kebahagiaan yang pernah ia rasakan. Hari itu, Felly memutuskan untuk pergi ke taman, tempat yang selalu memberinya ketenangan, meskipun saat ini segala sesuatunya terasa kelam.
Di taman itu, pepohonan berjejer rapi, dan bunga-bunga berwarna cerah bertebaran di sekelilingnya. Namun, semua itu tidak mampu mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang melanda. Felly duduk di bangku kayu yang sedikit lapuk, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang, seolah ingin menyerap kebahagiaan mereka. Tapi semua itu terasa jauh darinya.
Dia merasa terasing, seolah dunia ini tidak lagi memiliki tempat untuknya. Dengan pelan, Felly mengangkat lengan bajunya, memperhatikan bekas luka di pergelangan tangannya. Ketika hatinya terlalu sakit, ia terkadang melakukan hal bodoh seperti ini, menciptakan rasa sakit fisik sebagai pengalihan dari rasa sakit emosional yang lebih dalam.
"Kenapa kamu melakukan ini?" sebuah suara tegas mengejutkan Felly.
Felly menoleh dan melihat Raffa berdiri di depannya, wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk antara khawatir dan marah. “Kak Raffa…,” Felly tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Raffa maju selangkah, melipat tangannya di dada. “Apa kamu tidak mengerti betapa bodohnya ini? Mengapa kamu harus melukai dirimu sendiri?”
Felly merasakan aliran panas di wajahnya. Dia merasa malu dan marah, tetapi juga sangat lemah. “Kak, itu… itu bukan urusanmu,” ucapnya, berusaha menyembunyikan pergelangan tangannya di balik lengan baju.
“Jelas ini urusanku! Karena kamu sahabatku,” balas Raffa dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Dia duduk di samping Felly, berusaha memahami keadaan gadis di sampingnya.
Felly menunduk, merasa tidak berdaya. “Aku hanya… merasa sangat sakit. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kehidupan ini terasa sangat berat,” kata Felly dengan suara bergetar.
Raffa memandang Felly dalam diam. “Kamu tidak perlu melalui semua ini sendirian. Aku ada di sini, dan aku ingin membantumu. Tapi kamu harus mau terbuka. Kenapa kamu merasa seperti ini?”
Felly merasa terombang-ambing antara keinginan untuk menceritakan segalanya dan ketakutan akan penilaian. “Aku… aku hanya merasa terjebak. Orang tuaku… mereka bercerai. Dan semua orang di sekitar tidak berhenti membicarakan itu. Aku merasa seolah aku tidak punya tempat di dunia ini,” ucapnya sambil menahan tangis.
Raffa menepuk bahunya. “Felly, kamu harus ingat bahwa ini bukan salahmu. Kadang orang dewasa membuat keputusan yang sulit dan tidak selalu bisa kita mengerti. Kamu tidak bisa membiarkan perpisahan mereka menghancurkan hidupmu.”
Felly menggelengkan kepala. “Tetapi semuanya terasa sangat nyata bagiku. Seakan aku yang harus menanggung semua beban ini.”
Raffa mendesah, mencari cara untuk membantu Felly merasa lebih baik. “Kamu harus mencari cara untuk menyampaikan perasaanmu. Cobalah berbicara dengan mereka. Kadang kita bisa menemukan penjelasan di balik keputusan yang mereka buat.”
“Aku sudah mencoba, Kak. Tapi mereka selalu terlalu sibuk dengan masalah mereka sendiri,” jawab Felly, suaranya hampir berbisik.
Raffa merasakan betapa sakitnya hati Felly. Dia ingin sekali menggenggam tangan gadis itu dan meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu kata-kata tidak selalu cukup untuk menyembuhkan luka.
“Bagaimana kalau kita lakukan sesuatu yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatianmu? Kita bisa pergi ke tempat yang kamu suka,” saran Raffa, berusaha memberikan alternatif.
Felly mengangkat kepalanya, matanya berbinar. “Seperti apa?”
“Kita bisa pergi ke kafe yang terkenal di dekat sini. Aku dengar mereka punya kue enak dan banyak pilihan minuman. Atau kita bisa pergi ke bioskop, menonton film yang kamu inginkan,” ujar Raffa.
Felly merasa tergerak oleh tawaran itu. Dia memang ingin keluar dari kesedihannya, meskipun masih ada rasa ragu. “Tapi… bagaimana kalau orang lain melihat kita?” tanyanya, khawatir.
“Siapa peduli? Kita hanya berdua, dan ini adalah waktu kita. Tidak ada yang bisa mengatur bagaimana kita menghabiskan waktu,” jawab Raffa dengan tegas.
Setelah berpikir sejenak, Felly akhirnya mengangguk. “Baiklah, Kak. Aku mau mencoba.”
Raffa tersenyum lebar, seolah beban yang dia rasakan sedikit berkurang. “Ayo kita pergi. Dan tidak ada lagi melukai dirimu sendiri, ya?”
Felly mengangguk lagi, kali ini dengan lebih tegas. “Aku berjanji.”
Mereka berjalan menuju kafe dengan langkah yang lebih ringan. Di dalam, suasana hangat dan ramah menyambut mereka. Felly memilih tempat di dekat jendela, sehingga mereka bisa menikmati pemandangan taman yang indah.
Saat menunggu pesanan, Felly tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Kak Raffa, bagaimana denganmu? Apakah kamu pernah merasa kehilangan?”
Raffa terdiam sejenak. Pertanyaannya mengingatkan pada banyak hal yang sudah dilalui. “Tentu saja. Aku juga pernah kehilangan, baik itu teman atau orang yang dekat dengan kita. Tapi aku belajar bahwa hidup harus terus berjalan. Kita harus menemukan cara untuk merayakan kenangan mereka dan melanjutkan hidup.”
Felly merenung, merasakan ketegasan dalam kata-kata Raffa. “Bagaimana kamu bisa begitu kuat?”
Raffa tersenyum lembut. “Aku berusaha untuk tidak menyimpan semua beban itu sendirian. Dukungan dari teman dan keluarga sangat berarti. Dan terkadang, kita harus belajar untuk menerima kenyataan dan beradaptasi.”
Kata-kata Raffa membuat Felly merasa lebih baik. Meskipun perjalanan mereka masih panjang, dia merasa ada harapan baru yang bisa membawanya melewati masa-masa sulit.
Ketika makanan mereka tiba, Felly merasa lapar dan bahagia. Mereka mengobrol tentang banyak hal, dari hobi hingga rencana masa depan. Raffa berusaha mengalihkan perhatian Felly dari kesedihan yang menghantuinya, dan berhasil membuat Felly tersenyum dan tertawa.
Beberapa jam berlalu sebelum mereka selesai dan beranjak dari kafe. Felly merasa jauh lebih baik, dan rasa sakit di hatinya berangsur memudar. Raffa telah membantunya melihat sisi lain dari hidupnya, dan dia mulai merasa bisa beranjak dari bayang-bayang masa lalu.
“Terima kasih, Kak Raffa. Kamu benar-benar membuat hariku lebih baik,” ucap Felly tulus.
“Tidak perlu berterima kasih. Ini adalah hal yang seharusnya aku lakukan sebagai temanmu,” jawab Raffa dengan senyum hangat.
Mereka berjalan kembali ke taman di mana mereka pertama kali bertemu, menikmati sisa-sisa hari yang masih terang. Felly merasa lebih tenang saat melihat bunga-bunga bermekaran di sekitar mereka.
“Taman ini selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih baik,” kata Felly sambil menghirup aroma segar dari bunga yang sedang mekar.
“Lihatlah sekelilingmu. Alam ini indah, dan terkadang kita hanya perlu mengingat untuk melihat keindahan itu, bukan hanya yang terjadi di dalam hati kita,” ujar Raffa.
Felly tersenyum, menyadari bahwa mungkin ada kebenaran dalam kata-kata Raffa. Meskipun hidupnya tidak sempurna, ada keindahan dan harapan yang bisa ditemukan jika dia bersedia mencarinya.
Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai menghiasi langit. Felly merasa lebih kuat dan siap untuk menghadapi tantangan berikutnya. Dalam hati, dia tahu bahwa dengan dukungan Raffa, dia bisa menemukan jalannya kembali menuju kebahagiaan.
Saat mereka berpisah, Felly berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih terbuka dan berusaha lebih keras untuk menemukan kebahagiaan dalam setiap momen, tidak peduli seberapa kecilnya. Raffa telah menjadi cahaya yang menerangi jalannya, dan dia bertekad untuk menghargai setiap kesempatan yang ada di depannya.
Hari itu menjadi titik balik bagi Felly, dan meskipun jalan di depan masih panjang, dia tidak lagi merasa sendiri. Dia memiliki teman yang siap mendukungnya, dan itu memberinya harapan baru untuk masa depan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
manda_
lanjut lagi
2022-09-22
0