Rencana pertama gagal dengan sukses. Berakhir dengan dirawatnya Sinta di rumah sakit.
Dinyatakan keracunan makanan. Mengalami mual dan muntah ekstrim.
Bau ikan yang busuk, amis dan aneh tidak bisa hilang dari ingatan dan rongga hidung, mulut serta perutnya.
Selama tiga hari Sinta dirawat. Karena alergi dan keracunan makanan.
"Kenapa aku sehat-sehat aja ya? Padahal kita memakan makanan yang sama?"
"Mungkin makananku ada racunnya!"
"Hush! Jangan suudzon begitu."
Ketika dokter datang untuk visit. Dean tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya.
"Kenapa saya sehat-sehat aja, dok? Padahal saya juga ikut memakan makanan yang sama?"
"Mungkin ibu ada alergi ikan. Jadi lebih sensitif reaksi tubuhnya terhadap ikan yang kurang segar. Mungkin juga daya tahan bapak lebih kuat dari ibu dalam hal menetralisir racun makanan."
"Jadi reaksi setiap orang gak sama ya, dok?"
"Tidak. Tergantung daya tahan tubuh, faktor alergi dan kemampuan tubuh dalam menetralisir racun."
"Kalau faktor dosa gimana, dok?"
Wajah Sinta tertekuk bete sedangkan Dean dan dokter tertawa.
"Bisa aja! Coba aja timbang kalau beratnya dua kali berat badan normal, sisanya kemungkinan dosa!" Dokter menjawab sambil bercanda.
Hari pernikahan semakin dekat. Sinta kembali memutar otak menyusun rencana berikutnya.
Ayolah! Kau itu selalu juara kelas dan berprestasi. Masak merencanakan hal seperti ini saja, keok?
Menjelang kepulangannya. Ide cemerlang timbul di dalam otaknya.
Dia berpura-pura terkena amnesia. Mereka sedang bersiap-siap pulang ketika Sinta memulai aksinya.
"Kau sudah siap untuk pulang?"
"Kau siapa?"
"Siapa maksudmu? Kau bercanda ya?"
"Bercanda?"
"Masak kau lupa aku? Aku calon suamimu."
"Suami?"
"Iya. Kita akan menikah sebentar lagi."
"Tolong!!!"
"Kau kenapa? Jangan teriak-teriak! Ini rumah sakit!"
"Ada pemerkosa! Tolong! Ada pemer…" Dean menutup mulut Sinta dengan telapak tangannya.
"Kau jangan teriak-teriak!"
Sinta berusaha menyingkirkan tangan Dean dari mulutnya tapi tak berhasil.
"Aku akan melepaskan telapak tanganku dari mulutmu. Asalkan kau berjanji untuk tidak berteriak-teriak!"
Sinta menganggukkan kepalanya.
"Janji?"
Sinta kembali menganggukkan kepalanya.
Dean melaporkan keadaan Sinta kepada dokter jaga. Dokter jaga memeriksa dan berkonsultasi dengan dokter yang merawatnya.
"Keracunan makanan, apa bisa menyebabkan amnesia, dok?" Dokter jaga menelpon dokter yang merawat Sinta melalui gadgetnya.
Terdengar jawaban dari seberang sana,"Keracunan berat bisa.menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran tapi ku rasa bukan amnesia."
"Lalu, bagaimana pasien bisa terkena amnesia?"
"Apakah karena benzodia zepine yang kuresepkan?"
"Apa indikasinya pasien diberikan benzodiazepine, dok?"
"Pasien mengeluh tidak bisa tidur. Kupikir bisa jadi karena shock. Untuk menenangkan pikirannya, kuresepkan obat tersebut."
"Obat tersebut bisa menyebabkan amnesia, dok?"
"Linglung. Aku memberikannya dengan dosis yang rendah. Tapi mungkin pasien sensitif atau memiliki alergi dengan benzodiazepine."
"Baik, dok, saya akan sampaikan pada keluarga pasien. Terima kasih, dok. Maaf mengganggu."
"Sama-sama. Tidak menganggu. Aku senang kau menghubungiku dan mengkonsultasikannya denganku."
Dokter jaga berjalan ke arah Dean dan Sinta.
"Apa kata dokter?"
"Kemungkinan karena obat penenang benzodiazepine yang diresepkan dokter. Mungkin ibu punya alergi terhadap obat tersebut. Sehingga reaksi tubuhnya lebih sensitif."
Yes! Sinta! Kau memang hebat! Hebat dan beruntung!
Sinta menjalani aksinya dengan berpura-pura amnesia.
"Sebentar lagi kita menikah! Kau kehilangan ingatan. Bagaimana ini?"
"Aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak kukenal. Kalau hal itu terjadi padamu. Bagaimana?"
Dean termangu.
"Amnesiamu benar-benar parah. Kau sama sekali tidak mengenalku?"
Sinta menggelengkan kepalanya.
"Kalau kau berani memaksaku menikah denganmu. Aku akan berteriak kau pemerkosa. Aku akan melawanmu."
"Kau sama sekali tidak mengingatku? Malam-malam panas kita?"
"Kau jangan kurang ajar!" Semprot Sinta marah. Wajahnya merah padam menahan amarah.
"Aku bukan kurang ajar! Tapi memang kenyataannya seperti itu. Kau selalu bisa memuaskanku. Melayaniku dengan sangat baik. Kau …."
"Stop!" Sinta menutup kedua kupingnya rapat-rapat.
"Kau benar-benar lupa semuanya?"
Dean memandang Sinta dengan wajah memelas dan putus asa.
"Sebaiknya kau cari wanita lain. Aku benar-benar tidak bisa mengingatmu."
"Aku sudah membayar lunas ke madam Juwita. Tidak mungkin."
"Kau itu kaya raya tapi pelit sekali. Lagian biasanya, bukannya orang banyak memiliki wanita atau isteri?"
"Kau jangan asal bicara! Kau kan sedang amnesia. Nanti kalau sudah kembali ingatanmu dan aku menikah lagi. Kau akan merebusku hidup-hidup."
Sinta tidak hanya berpura-pura lupa kepada Dean tetapi juga kedua calon mertuanya.
"Kalian siapa?" Sinta memulai aktingnya.
"Kami calon mertuamu. Masak kau lupa? Kau tidak ingat calon suamimu. Tidak ingat calon mertuamu? Bagaimana ini Dean?" Sahut ibu Dean resah.
"Bagaimana kalau kau batalkan saja pernikahanmu. Menikah saja dengan pilihan kami."
"Setuju!"
"Tidak!"
Dean dan Sinta menjawab bersamaan dengan jawaban berbeda.
"Sinta sendiri setuju kalau pernikahannya dibatalkan."
"Aku tidak mungkin menikahi dia. Aku tidak bisa mengingat apapun. Kalau dipaksakan bukan pernikahan tapi pemerkosaan."
"Kupikir dia benar, Dean. Kau tidak boleh memaksa orang menikahimu."
"Bisa jadi masalah hukum. Kalau dia melaporkan kau memperkosanya, bagaimana?"
"Sabar dong, ibu dan ayah. Kita masih ada waktu untuk berusaha memulihkan ingatannya."
"Bagaimana caranya?"
"Aku juga belum tau. Tapi mungkin bisa kita membantunya mengingat tanpa memaksa?"
"Ide yang bagus."
"Obatnya kita stop."
Dokter bilang, kalau Sinta sudah tenang dan tidak gelisah. Tidurnya tidak terganggu. Distop saja obatnya."
"Obatnya akan menambah parah amnesianya, kalau kita tidak stop."
"Aku sudah stop obatnya. Tapi belum ada perubahan."
"Kita tunggu beberapa hari. Bagaimana? Sambil kita coba bantu Sinta mengingat tanpa memaksanya?"
"Mudah-mudahan bisa berhasil."
"Kita coba saja dulu. Bagaimana?"
Mereka bergantian membantu memulihkan ingatan Sinta.
"Kau ingat waktu Dean mengenalkan kau pada kami? Ketika itu kau mengenakan baju berwarna krem. Bagus sekali bajunya. Simple and chick."
"Maaf, aku tidak ingat."
"Tidak apa-apa. Jangan dipaksa!"
Dean dengan sangat telaten berusaha mengembalikan ingatan Sinta. Alih-alih Sinta ingat. Tensinya menjadi naik.
"Masak kau lupa waktu kau menggunakan gaya woman on top , di hotel langganan kita? Saat itu aku sedang kelelahan. Kita sudah tiga kali orgasme bersama-sama. Tapi kau masih ingin bercinta denganku. Kau tidak kehabisan akal. Kau menggunakan gaya wo…."
"Stop!"
"Apa salahku?"
"Aku tidak bisa mengingatnya!"
"Maafkan aku! Aku terlalu memaksamu, ya?"
Sinta menganggukkan kepalanya.
"Sangat memaksa. Kepalaku jadi sakit dan pusing."
"Kalau dulu kau mengeluh sakit dan pusing. Biasanya, kau ingin berhubungan intim denganku."
Wajah Sinta merah padam menahan amarah.
"Aku tidak bisa mengingatnya! Bisa tidak kau jangan memaksaku terus. Aku pusing karena tidak mampu mengingat apapun. Bukan piktor sepertimu."
Pernikahan kurang seminggu lagi tetapi Sinta tidak menunjukkan kemajuan apapun.
"Sinta, bagaimana kalau kepalamu kami benturkan ke tembok?" Tanya ibunya Dean hati-hati.
"Bu! Jangan sadis! Nanti Sinta gegar otak."
"Ibu kan hanya berusaha supaya ingatannya kembali."
"Aku punya ide!" Jawab ayahnya Dean.
"Apa idemu, yah?"
"Bagaimana kalau kita bawa ke psikiater dan minta tolong disetrum?"
Wajah Sinta mendadak pucat.
"Ide yang bagus. Kenapa kita tidak berpikir seperti itu dari kemarin-kemarin."
"Aku berpikir spontan. Tercetus begitu saja."
"Baiklah, besok pagi kita bawa dia ke psikiater."
Keesokan paginya terjadi insiden kecil di dalam rumah orang tua Dean.
Sinta tersandung kursi makan. Kepalanya terbentur meja lantai.
"Kau tidak apa-apa, Sinta?"
Dean dan kedua orang tuanya panik.
"Aku tidak apa-apa. Dean, bantu aku berdiri."
"Dean? Kau memanggil namaku?" Kau sudah ingat padaku?"
"Tentu, aku ingat padamu."
"Ini siapa?"
"Ibumu."
"Ini?"
"Ayahmu! Kau kenapa sih?"
"Alhamdulillah, ingatannya sudah pulih."
"Kurasa benturan itu mengembalikan ingatannya. Apa kubilang? Harusnya kita benturkan kepalanya ke tembok."
"Bu, ini kan dia terbentur sendiri. Kalau kita yang membenturkan. Kalau gegar otak bagaimana?"
"Sudahlah, kita tidak usah ribut lagi. Batalkan janji ke psikiater karena ingatan Sinta sudah pulih."
"Alhamdulillah…."
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments