Rasa panas yang membakar hati Revan membuatnya tak sadar diri. Tanpa pikir panjang, Revan yang ada di seberang jalan kontan memutar balikkan mobilnya. Amarah yang seolah meledak di ubun-ubun membuat lelaki itu mengikuti ke mana arah mobil Alvin pergi. Revan tidak sadar seolah mobilnya bergerak sendiri mengikuti mobil di depannya.
Seperti mendapat karma instan dalam waktu yang singkat. Tak menyangka, ia bisa secemburu ini kepada orang yang baru beberapa waktu lalu ia campakkan. Ia juga tak menyangka Daniza langsung mendapatkan yang baru padahal baru beberapa waktu lalu wanita itu memohon kepadanya untuk kembali.
"Kenapa sekarang aku jadi semarah ini?" Revan menggeram layaknya macan saat menyadari tingkahnya yang konyol.
Ingin rasanya ia memaki, tetapi hati tak bisa dibohongi. Ia tidak bisa berpikir jernih saat melihat Daniza dibawa oleh lelaki lain.
"Tidak! Aku tidak bisa begini. Wanita yang aku prioritaskan sekarang harusnya adalah Alina. Dia adalah wanita yang aku cintai sesungguhnya," ucap Revan berusaha sadar diri. Alina pasti akan marah besar jika tahu dirinya sampai mengikuti Daniza. Namun, baru sepersekian detik ia kembali bermonolog.
"Tapi Daniza ... bagaimana kalau laki-laki itu melakukan hal yang tidak senonoh kepadanya? Bagaimanapun juga Daniza masih istriku. Itu artinya dia adalah milikku, bukan?" Revan menatap tajam mobil di depannya. Sisi hati Revan berkata lain.
Lelaki itu melihat ponselnya sekilas. Ada foto Alina yang tersenyum manis. Sejenak Revan teringat hubungannya dengan Alina dan berusaha mensugesti diri bahwa apa yang ia lakukan akan membuat sang kekasih sakit hati.
Revan menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk berhenti mengikuti Daniza. Namun, tiba-tiba mobil di depannya itu berbelok arah ke sebuah hotel. Hal itu membuat Revan merasakan seluruh tubuhnya memanas. Tadinya akan putar balik, akhirnya ikut masuk ke halaman hotel tersebut.
"Apa yang akan Daniza dan pria itu lakukan? Kenapa dia masuk ke hotel ini?"
Pikiran Revan buntu dalam sekejap waktu. Ia menyambar sebuah topi dari dashboard mobil lalu memakainya. Revan ikut turun saat Daniza dan Alvin mulai masuk ke lobi hotel.
"Aku harus mengikuti mereka." Sambil membanting pintu, Revan gagas menyusul mereka berdua.
Ia sudah membayangkan banyak adegan di kepala. Salah satunya menghabisi lelaki itu sebelum mereka masuk ke kamar. Namun, dugaan Revan salah besar karena Daniza dan Alvin malah berbelok ke sebuah restoran steak yang ada di hotel tersebut.
"Ah, ternyata mereka hanya makan!" Lagi-lagi Revan bicara sendiri. Ia memutuskan duduk di sofa lobi yang tak jauh dari restoran tersebut. Dinding yang terbuat dari kaca membuat Revan dapat mengawasi dari jarak aman.
Terus terang saja Revan masih belum bisa berpikir jernih. Bisa saja setelah makan keduanya lanjut memesan kamar. Ia harus benar-benar memastikan dugaannya.
Selesai makan, Alvin dan Daniza langsung pergi dari restaurant itu. Revan hampir saja ketahuan jika tidak segera menyambar koran untuk menutupi wajahnya.
Lelaki itu bisa bernapas lega karena Daniza dan Alvin langsung pergi dari hotel tersebut. Namun, ia tak bisa berhenti mengawasi selama Daniza masih bersama pria itu
Revan masih terus mengikuti hingga mobil Alvin berhenti di sebuah rumah tinggal sederhana. Revan menebak bahwa itu adalah tempat tinggal Daniza sekarang.
Entah dari mana asalnya, kepingan rasa bersalah terasa begitu nyata di hati Revan. Padahal saat Alina mengusirnya, Revan sama sekali tidak mencegah.
****
"Jadi sekarang kamu tinggal di sini?"
Alvin menatap sekeliling rumah yang baginya jauh dari kata layak itu. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat sebagian isi dalam rumah. Hanya ada satu kamar berukuran kecil dan juga dapur sempit. Bahkan di ruang tamu berukuran kecil itu sama sekali tidak ada kursi untuk duduk. Sehingga Alvin memilih berdiri di teras. Lagi pula, Daniza belum mempersilahkan untuk masuk ke rumah.
"Iya, Kak." Daniza mengangguk pelan. "Oh ya, terima kasih sudah mengantar. Sekarang Kak Alvin boleh pulang."
"Ya ampun. Ini namanya diusir secara halus. Ditawari kopi saja tidak," ucap Alvin dalam hati.
Pria tampan itu hanya mengulas senyum tipis. Ia dapat melihat Daniza yang sangat sungkan dan benar-benar membatasi kedekatan mereka.
"Tapi sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sebentar."
"Soal apa?" tanya Daniza.
Baru saja mulut Alvin akan terbuka, tiba-tiba pukulan cukup keras melayang di pipi. Membuat pria itu mundur beberapa langkah.
"Kurangajar! Berani sekali kamu mendekati istri orang!" teriak Revan penuh amarah.
Alvin mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, sementara Daniza tampak sangat terkejut. Bagaimana bisa Revan tahu tempat tinggalnya?
"Mas Revan?" Sepasang mata Daniza membulat menatap pria yang masih berstatus suaminya itu. "Sedang apa di sini?"
"Seharusnya aku yang tanya sedang apa kamu di sini bersama laki-laki ini!" maki Revan penuh amarah. Secepat cahaya kilat, ia mencengkram kuat lengan Daniza dan melesakkan ke tubuhnya. "Apa kamu sedang berselingkuh dengan dia? Dasar perempuan murahan!"
Daniza gemetar ketakutan. Ulu hatinya tiba-tiba merasakan nyeri yang tak tertahankan. Ia pun berusaha menyanggah ucapan Revan.
"Jaga bicaramu! Siapa yang murahan di antara kita, aku apa kamu?" Wanita itu menatap Revan tajam. Rasa takut yang tadi sempat hadir berubah menjadi amarah yang membara.
"Tentu saja kamu Daniza! Kamu membawa laki-laki masuk ke rumah di saat statusmu adalah istriku. Apa namanya kalau bukan wanita murahan? Jangan-jangan kamu menjual diri, ya?"
Hinaan Revan berhasil menyulut kemarahan Alvin. Pria itu menarik Daniza menyembunyikan di belakang punggungnya. Revan sempat berusaha meraih kembali Daniza, namun Alvin tidak memberi celah.
"Hei, jaga omonganmu! Aku dan Daniza tidak melakukan apa-apa. Seharusnya kamu bercermin sebelum memaki orang sembarangan!"
"Jangan ikut campur! Ini bukan urusan kamu!" maki Revan.
Kepalan tinjunya melayang untuk kedua kali. Namun, Alvin tangkas menghindar. Dengan gerakan cepat membalas Revan lebih ganas. Daniza yang melihat kejadian itu hanya terpaku di tempat. Untuk sekedar berteriak pun tidak mampu ia lakukan.
Hingga akhirnya perkelahian berakhir dengan tersungkurnya Revan di atas rerumputan hijau di depan rumah Daniza.
"Awas saja, aku pasti akan membalasmu! Dan kamu Daniza, sepertinya keputusanku memilih Alina memang tepat. Karena kamu tidak lebih dari wanita murahan!"
Revan bangkit dari posisinya. Kemudian berlalu pergi meninggalkan rumah sederhana itu.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Alvin beberapa saat kemudian.
"Tidak apa-apa," lirih Daniza. Sepasang bola matanya tergenang cairan bening. Ucapan Revan tadi benar-benar melukai harga dirinya. "Lebih baik sekarang Kak Alvin pergi dari sini. Tidak enak dilihat orang."
"Tapi Daniza, aku ...."
"Tolong, Kak!" potong Daniza cepat. "Dan lebih baik kita tidak usah sering bertemu."
Sepasang mata Alvin terpejam detik itu juga. Sepenuh hati keberatan dengan permintaan Daniza yang memintanya menjauh.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Dewa Rana
author pelupa ya, kan Alvin sdh pernah ke rumah daniza
2024-07-07
2
flowers city
🤣😂😊🤣😂😂😂😂😂
2023-09-21
2
Denni Malau
laki2 egois
2023-07-10
0