.
.
.
"Daniz, kamu tidak sedang bercanda, kan?" Alvin menatap Daniza secara intens. Separuh hatinya masih menyimpan keraguan terhadap wanita bermata cokelat itu. Bagaimana jika Daniza hanya mengarang cerita untuk mendapatkan simpatinya? Alvin harus semakin waspada. Begitu yang dipikirkan Alvin.
"Kalau aku bercanda untuk apa aku melamar kerja sebagai petugas bersih-bersih?" Daniza menyeka ujung matanya yang basah. Bagaimana pun juga, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Alvin. Cukuplah masa SMA-nya yang penuh tekanan dari siswa lain. Tekanan dan pembullyan itulah yang membuatnya trauma sampai takut untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, meskipun orang tuanya lebih dari mampu untuk membiayai sekolahnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud meragukanmu. Hanya saja ini terlalu mengejutkan. Kamu terlahir dari keluarga kaya raya. Siapapun tidak akan percaya kalau hari ini kamu melamar kerja sebagai petugas kebersihan." Alvin mencoba memberi penjelasan yang masuk akal atas keraguannya.
"Setidaknya aku harus benar-benar waspada. Jangan sampai kamu hanya berkedok sebagai petugas kebersihan tapi sebenarnya hanya ingin tahu rahasia perusahaan. Kan banyak kejadian seperti itu," ucap Alvin dalam hati. Mengingat perusahaan keluarga Daniza juga bergerak dalam bidang yang sama dengan perusahaannya.
"Aku tahu, tapi inilah kenyataannya."
Alvin mengangguk mengerti, lalu menatap hidangan lezat di hadapan Daniza yang sejak tadi belum disentuh oleh wanita itu. "Oh ya, makanlah dulu. Nanti aku akan mencoba bicara dengan bagian HRD. Aku akan bantu kamu sebisaku untuk bisa bekerja di Alamjaya."
Meskipun sebenarnya ragu dengan Alvin, namun Daniza tidak banyak bertanya. Setidaknya, jika tidak bekerja di Alamjaya, ia bisa memasukkan lamaran ke tempat lain. Baru beberapa suap makanan yang masuk ke mulut, perhatian Daniza sudah teralihkan kepada dua orang yang baru saja memasuki restoran. Sepasang mata indah itu kembali tergenang kristal bening. Revan tengah berjalan menuju sebuah meja sambil memeluk pinggang Alina dengan sangat mesra.
"Kamu kenapa?" Alvin menatap Daniza penuh tanya. Pandangannya mengikuti arah yang sedang ditatap Daniza. Melihat pancaran pebuh luka dari mata Daniza, tanpa dijelaskanpun Alvin sudah menebak bahwa pria dan wanita yang baru saja duduk di meja sudut adalah suami dan sepupu Daniza. "Kamu kenal mereka?" tanya Alvin kemudian.
"Itu suamiku dan kekasihnya."
Entah untuk alasan apa, Alvin merasakan tubuhnya ikut terbakar. Apa lagi saat menyadari betapa Daniza sedang berusaha menyembunyikan air matanya. Segenap rasa curiga yang sempat hinggap di pikirannya terhadap Daniza seketika menghilang. Jika saja bisa, ingin sekali Alvin meminjamkan bahunya untuk tempat Daniza bersandar.
"Laki-laki seperti dia tidak pantas kamu tangisi," ucap Alvin.
Daniza mengerti tidak ada gunanya menangisi Revan, pria tidak berguna yang sudah menipunya dengan cinta. Tetapi, untuk melupakan seseorang yang pernah terpatri dengan indah di hati tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, di dalam tubuhnya kini bersemayam benih yang ditinggalkan Revan.
"Aku tahu. Tapi tidak semudah itu melupakan seseorang yang pernah menciptakan rasa sakit, kan? Kak Alvin yang pernah mengurung aku di gudang saja masih teringat jelas sampai hari ini, apalagi dia sudah menjadi suamiku."
Alvin meraba tengkuknya yang terasa meremang. Seperti tertampar sendiri oleh ucapan Daniza.
.
.
.
Alina membaca buku menu dengan sangat antusias. Sejak berhasil menyingkirkan Daniza dari rumahnya, Revan sepenuhnya menjadi miliknya. Terlebih sekarang mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi di belakang Daniza jika ingin bertemu.
"Sayang, kamu mau makan apa?" tanya wanita culas itu.
"Terserah kamu saja." Revan menjawab singkat sambil memainkan ponselnya. Alina memandang kekasihnya itu penuh curiga.
"Kamu kenapa, sih? Beberapa hari ini jadi aneh."
Apa yang diucapkan Alina memang tidak salah. Setelah Alina mengusir Daniza beberapa hari lalu, Revan memang lebih banyak diam, seperti ada sesuatu dalam dirinya yang hilang. Bahkan saat tidurpun Revan sering gelisah dan akhirnya bermimpi buruk. . Ia belum tahu ke mana Daniza pergi. Ponselnya juga sudah tidak aktif.
"Aneh bagaimana? Perasaan biasa saja," bantah Revan, yang perhatiannya masih terfokus dengan layar ponsel.
"Kamu keberatan karena aku usir Daniza dari rumah?" tebak Alina.
Pertanyaan menuntut itu membuat Revan menatap sang kekasih. "Sudahlah, Al. Tidak usah dibahas lagi."
Alina menipiskan bibir dengan kesal. Saat dirinya berencana mengusir Daniza dari rumah, Revan memang kurang setuju dan ingin rumah itu tetap menjadi milik Daniza. Namun, Alina terus memaksa dan menekannya. Sehingga Revan tidak punya pilihan lain.
"Bagaimana aku tidak membahasnya kalau beberapa hari belakang ini kamu jadi aneh dan sering mendiamkan aku! Kamu bahkan memilih tinggal di apartemen."
Alina membuang pandangan ke arah lain. Saat itu juga ia terpaku ketika penglihatannya menangkap sosok tak asing yang duduk tak jauh darinya.
"Bukannya itu Daniza, ya?"
Nama yang baru saja disebut Alina membuat Revan tersentak. Ia menoleh ke arah yang ditunjuk Alina. Seketika bola mata Revan membulat penuh. Daniza sedang duduk bersama seorang pria asing.
Tanpa sadar rahang Revan mengetat. Satu tangannya terkepal sempurna di bawah meja. Betapa tidak, pria asing itu tengah mengusap sisa saus di ujung bibir Daniza dengan ibu jarinya, lalu menjilat jarinya yang tertempel saus dari bibir Daniza.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 175 Episodes
Comments
Dewa Rana
org tua daniza kemana Thor
2024-07-07
1
Katherina Ajawaila
thour Revan di ksh sadar diri udh rampas harta orang sia2 in lg org yg punya harta. mmg suami ngk mutu
2023-09-05
1
tomblok
Heeemmmmm revan kok kamu marah? Kamu mau dijilat juga... Kalo mau bilang sama otornya, karena hanya othor sesat yg bisa membolak balikan kisah kamu.... 😁 😁 😁
2023-07-02
0