"Air galon dateng!! Plus snack tapinya ga bikin takut karena ngga matuk dan ga berbisa, bisanya bikin perut kenyang!" teriaknya mengangkat nampan setinggi dadanya. Telunjuk Ganis berhenti di perut liat Wira saat Indi kembali bergabung.
Indi bukan hanya membawa segelas air putih saja, melainkan sepiring bolu caramel yang sudah dipotong-potong, dan ciki stick balado dalam sebuah toples plastik di nampan kayu.
"Cie, colek-colekan kaya lagi makan sambel aja. Lama-lama ngamar deh!" cibir Indi melengkungkan bibirnya, hampir saja pekikannya meledak saking gemasnya melihat Wira dan Ganis, mungkin lama-lama ia telan juga pot bunga ibu di depan.
Ganis merapatkan dan menggenggam tangannya sendiri, sempat nakal menyentuh perut Wira dan ke gap Indi, rasanya amat kamvret.
"Iya, tangannya nakal! Harus dimasukkin ke kandang," seloroh Ganis mengurai rasa malu, ia berbalik dan duduk di kursi.
"Teh, minum dulu! Biar nanti bisa fokus dengerin cerita 7 tanjakan 7 turunan Indi," lanjutnya menaruh itu semua di meja. Kedatangan Indi membuyarkan lamunan Ganis akan kaos yang dipakai Wira. Wira menghembuskan nafas kasarnya, Indi datang di saat yang tidak tepat.
"Ah iya, makasih Indi!" Ganis tersenyum menampilkan kedua lesung pipinya manis.
"Nih, bolu caramel buatan ibu special buat teh Ganis, dibuat pake cinta, kasih dan sayang, juga kerinduan!" gadis itu seperti spg-spg produk makanan yang sedang promosi membuat Ganis terkikik, "boleh taster ngga? Kalo enak nanti aku borong!"
"Boleh banget kaka, silahkan dicoba!" seloroh Indi.
"Udah cocok ya teh," Indi ikut duduk di kursi single samping Ganis, sementara Wira duduk di satu kursi panjang yang sama dengan Ganis.
"Banget! Cocok lah jadi departemen perlawakan," ujar Ganis.
"Ko perlawakan, pemasaran atuh teh!" Ganis tertawa renyah sambil menatap tergiur bolu di depannya.
"Aku sambil kerja, ngga apa-apa kan Nis? Sebentar," ucapnya meminta ijin.
Ganis melirik ke arah Wira, "kamu kerja?" ia mulai mencomot bolu caramel yang memang ada dalam list favorit foodnya.
Wira mengangguk, tapi Indi yang bersuara. "Ya iya atuh teh, kalo aa ngga kerja Indi sama ibu mau makan apa?"
Alisnya bertaut, Ganis jadi penasaran pekerjaan macam apa yang Wira geluti, takut-takut kalau Wira menafkahi ibu dan adiknya dengan uang haram. Mengingat ia adalah sosok berandal di sekolah.
"Kerja apa?" tatapnya penuh selidik sambil melahap kue.
"Aa punya distro baju teh di Cihampelas," jawab si jubir.
"Iyakah?" serunya tak percaya, tadinya Ganis pikir paling-paling pekerjaan toko atau paruh waktu.
Wira mengambil sebuah laptop dari kamarnya, memang bukan laptop terbaru. Tapi dengan laptop inilah Wira merasa terbantu menyimpan semua data yang berhubung dengan distronya atau mengirimkan email pada customer.
Sebundel map berisi beberapa file ia dekap keluar dari kamar, ada beberapa desain produk pakaian, topi dan semacamnya. Rata-rata bernuansa underground, dan metal. Bagaimana bisa mereka menyatu dalam sebuah ikatan pernikahan, dengan yang satu beraliran cadas yang identik keras, hitam dan begitu bawah tanah, sementara yang satu pecinta kelucuan, pelangi, dan kuda poni. Lantas apa yang membuat Ganis mau menikah dengan Wira? Sudah jelas dari selera saja mereka bertolak belakang. Berbeda aura dan tanah berpijak, yang satu bawah tanah, yang satu atas pelangi. Tidak mungkin kan si unicorn mau jadi anak punkrock? Atau mungkin band metalica sudah berubah haluan jadi pecinta the little pony? Jawabannya hanya satu, karena keduanya saling membutuhkan.
Ganis merasa membutuhkan sosok Wira yang melindungi, memberikan kasih sayang yang tak ia dapat dari kedua orangtuanya, sementara Wira sendiri merasa membutuhkan sosok Ganis yang mampu membuat hari-harinya berwarna layaknya permen gulali, apalagi setelah merasai milik Ganis, seakan menjadi candu yang tak dapat ia hindari meski Wira sudah mencoba sekuat mungkin untuk tak menjamah Ganis. Kemudian rasa itu berubah jadi saling menyayangi dan memiliki...
"Cihampelas?" kembali Ganis mengulang ucapan Indi, sekarang ia mengambil stik balado.
"Iya, teteh biasanya nyusulin kesana kalo a Nata telat pulang, katanya ga bisa bobo kalo belum nyiumin ketek aa!" Indi sampai menyemburkan tawanya bersama Wira yang ikut tertawa kecil.
Wajah imut yang tengah mengunyah kue itu berubah terkejut, "iya gitu, ih meni lebay sampe nyusulin!" ia meringis, wajahnya saja sampai masam karena malu dengan kelakuannya sendiri.
"Iya, kamu suka nangis kaya anak kecil yang nunggu mamahnya pulang, gemesin!" cubit Wira di pipi Ganis.
"Ha?! Ah, kayanya kalian salah orang kali, masa aku sejorok itu ih!" gidiknya menghapus bekas cubitan Wira lalu mengambil minum dan meneguknya, mendadak selera ngemilnya terurai cacing tanah mendengar kata mencium ketek.
"Iya, kamu dulu gitu Nis." Ujar Wira tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop, mengklik dan menggeser-geser kursornya.
Ganis tentu saja tetap menggeleng, ia yakin dirinya tak akan sebucin itu pada laki-laki apalagi modelan Wira.
"Ga mungkin," ia menggeleng.
"Iya, balas Wira datar.
"Enggak," kekeh sumekeh Ganis.
"Iya," jawab Wira lagi tanpa sedikit pun melihat Ganis, Indi sampai berulang kali beralih tatapan dari Wira ke Ganis lalu sebaliknya.
"Gak!" sentak Ganis mulai terpancing kesal.
"Iya Nis, abang Nat cepetan kerjanya. Ganis sama pir ga bisa tidur kalo ga cium ketek abang," ucap Wira merengek dengan maksud hati meniru gaya manja Ganis dulu, membuat Indi tertawa cekikikan. Terang saja wajah si gadis sejuta rasa gengsi ini memerah sambil mencebik. Dibekapnya mulut Wira dengan tangan mungilnya.
"Nggak!"
Masih sempat-sempatnya Wira berkata, "iya, kamu kaya gitu dulu!" meski ucapannya teredam bekapan tangan Ganis.
Plak!
Ganis menampar pa ha Wira yang berada di sampingnya dengan tangan satunya, bukannya sakit pemuda ini malah tertawa.
"Diem nggak?! Rese!" Marahnya begitu galak, macam kak Ros. Karena tak diduga, candaan ini membawa ingatan itu kembali di otak Ganis meski samar.
Mata Ganis melotot berapi-api melihat Wira, inilah Ganisnya yang galak, judes, dan manja. Ingat betul Wira saat pertama ia bertemu dengan gadis manja yang sekarang sangat ia cintai ini.
Flashback on
...' A New Hope '...
Sebuah spanduk dan banner besar ia lewati begitu saja tanpa dilirik lagi, konser yang baru saja berakhir ia tonton bersama teman-temannya, mengantarkan Wira pada kondisi yang berantakan, tak afdol rasanya jika menonton acara seperti ini tak sambil minun dan ngobat. Konser yang mengusung tajuk harapan baru itu, menyatukan band dari berbagai aliran musik cadas, seperti punk, hardcore, heavy metal, rock, dan grunge. Musik-musik yang terbilang rusuh dan teriak-teriak seperti orang kerasukan jin, atau keselek linggis juga segala macam stigma buruk, dan semua stereotip dan prasangka yang dianggap kebenaran mutlak di masyarakat.
Kepalanya kleyengan, obat dan minuman yang ia tenggak hanya separuh, tak sampai tepar betulan membuat kepalanya malah pusing. Sementara teman-teman lainnya ada yang sampai muntah-muntah juga tergeletak di jalanan seperti bank kay kucing.
Di tengah-tengah rasa pusing yang memutar otaknya, Wira masih bisa mendengar suara tangisan seorang gadis. Ia melirik jam di pergelangan tangannya.
"Jam 11, masa cewek mewek jam segini? Kun ti kayanya. Ini gua masih sadar, belun nyampe tepar padahal!" gumamnya menyesap sebatang rokok demi mengatasi rasa cenat-cenut di kepalanya.
"Ra, kalo ngga kuat balik bareng aja! Naik mobil bak!" ajak salah satu temannya, termasuk ada teman-teman satu SMA-nya.
"Nggak usah! Gua bawa motor, kalo gua naik mobil ntar motor gua gimana?!"
"Ga apa-apa lah aman, dititip aja sama Ujang!" teriaknya.
"Gua kuat kok, kaya nggak tau gua aja!" jawabnya tersenyum mendengus seraya mengeluarkan kunci motor di saku celana.
"Percayalah! Wira mah 2 botol juga ngga bikin tepar, besok-besok bawa trama dolnya 5 strip Ra,"
"Sip!" Wira mengepulkan asap rokoknya ke udara.
Seiring kepergian Santoni, suara gadis menangis itu semakin kencang.
"Bang Gem, jemput Ganis atuhlah! Hey, siapa aja weh tolongin Ganis lah ih! Ntar Ganis kasih coklat deh!" ucapnya dengan sesenggukan duduk di bawah pohon.
Awalnya Wira tak peduli, dunia ini kejam nona! Siapa yang kuat dia yang bertahan, jika hanya mengandalkan menangis saja semua bisa di dapat, mungkin anak-anak jalanan jika lapar hanya akan mengandalkan tangisan agar dapat makan enak.
Pandangan Ganis jatuh pada seorang pemuda dengan rambut sedikit berantakan ala-ala harajuku mungkin, tak seperti para pemuda yang sejak tadi melintas di depannya dengan gaya rambut spike menyeramkan setinggi-tinggi tower, juga berwarna-warni kaya warna getuk lindri, tapi badan beraroma neraka. Yang ini gantengan dikit, sama wangian dikit.
Ganis mau mendekat, "hey kamu!" gayanya so bosy tapi sambil mengusap air mata.
"Tolongin Ganis lah!" ucapnya bergetar, tapi tak berhasil membuat tuan antipati ini iba.
"Ganis kecopetan, hape sama uang ga ada. Malahan itu tas hermes baru beli juga ikutan ilang!" ia terpaksa memakai jurus jitu wajah ala-ala telenovela, pasang mata ikan bening-bening berair kaya ga kebagian warisan mamahnya si Fernando.
"Dasar Freak!" umpat Wira menghina. Bukannya memelas agar dikasihani gadis ini tak terima disebut freak.
Ganis melepas sepatu bertali namun memiliki hak setinggi 5 cm dengan label Cahnel.
Tanpa Wira duga, gadis ini memukuli sekujur badannya, "si*@lan!"
"Loe yang freak!"
"Kelakuan minus!"
"Bau badan!"
"Ga ganteng juga!"
"Baju loe jelek, kaya lap kompor!"
"Leher dirantein kaya anj^$*%&!" omelnya puas.
"Udah?!!" Bentak Wira menepis tangan Ganis kasar, membuat Ganis tergelonjak kaget. Berkatnya rokok yang baru saja beberapa hisapan sampai terlempar ke jalanan beraspal.
"Si*@l banget gue ketemu modelan cewek kaya loe, Sana balik ke alam loe!"
Ganis benar-benar melempar sepatunya pada Wira, bukan hanya satu tapi dua-duanya.
"Gue lapor pak Gurbernur biar usir loe dari Bandung! Warga negara kaya loe, cuma menuh-menuhin Bandung doang sama keminusan loe!" tangisnya, kepala yang sudah nyut-nyutan karena obat dan minuman keras malah semakin sakit karena ditimpuk dan dipukuli sepatu, cukup berat.
Gludukkkk!
Makin apes saja keduanya, sekarang Bandung malah diguyur hujan deras.
"Yah..hujan lagi?!" Ganis menengadah. Ia melirik jam di tangannya sudah pukul setengah 12 malam, mau tak mau ia berjalan sendirian tanpa sepatu melewati Wira dengan baju basah kuyup diguyur hujan.
Ada rasa kasihan juga di diri Wira melihat Ganis, Wira tebak Ganis adalah anak rumahan dan manja.
Wira tergerak menyusul langkah Ganis, dengan badan yang sudah sama-sama terguyur hujan, ia meraih tangan Ganis yang lembut meski basah, "gue anter, ambil sepatu lu!"
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
DozkyCrazy
gini tho Awal nya
2024-10-30
0
Yus Ys
/Grin//Grin//Grin//Facepalm//Grin//Facepalm//Grin//Facepalm/
2024-05-04
2
Lia Bagus
wah lucu ya awal ketemu
2024-03-25
0