dua buah buku nikah berada diantara keduanya, berdampingan dengan special menu yang mereka pesan.
Ganis menelan berat sisa cream lemon yang sudah bercampur dengan salivanya di dalam mulut, lalu tangannya dengan so sibuk meraih gelas dan menyedot isinya demi mengatasi rasa tak nyaman di tenggorokan, entah biji kedongdong atau sikat toilet yang nyangkut disana.
Ditatap begitu oleh Wira, jangankan Ganis orang dengan penyakit ayan saja langsung kepengen bungee jumping dari atas gedung lantai 5. Jadi paham kan seberapa menakutkannya sorot mata Wira? 11, 12 lah sama mata nagin.
Jika memang benar apa yang selama ini Wira ucapkan, lantas apa yang membuat si manja Ganis mau menikah dengan si pangeran kegelapan ini? Apa karena diancam bakalan dibantai? Atau disiksa sampai kehabisan darah? Who knows?
"Aku cuma mau kembaliin punya kamu," Wira menarik kembali buku berwarna coklat dan menyimpannya apik di tas bersama barang-barang miliknya.
"Tujuanku bukan mau menyeret kamu untuk pulang, karena percuma kalau kamu pulang tapi 'ga ada aku disana!" tunjuknya ke arah bola mata Ganis.
Sekejap Ganis merasa menjadi orang paling keji di dunia setelah Hittler, bahkan begundal sekelas Wira saja lemah olehnya, definisi manis-manis mematikan.
"Mungkin ini kalimat terpanjang aku ngomong selain masalah pekerjaan sama orang, itu pun dengan kamu. Aku harap kamu buka kebenaran itu setelah rasa itu ada lagi buatku," jelasnya menyalakan sebatang tembakau dan menyesapnya.
Wira memang benar, untuk apa ia tau kebenarannya jika tak ada rasa cinta untuk Wira.
"Udah sore, nanti mama, papa, sama Gem nyariin kamu. Aku anter kamu pulang," Wira tidak sedang meminta ijin pada Ganis karena nyatanya ia sudah mengangkat tas dan bangkit.
Wira senantiasa merangkul Ganis, melindungi bahunya dari orang-orang agar tak tersenggol.
"Wira," panggilnya mendongak.
"Panggil aku Nata, Wira nama bad jinganku. Cuma orang luar yang panggil aku Wira, dan kamu tidak termasuk.."
"Oh," keduanya masih berjalan menyusuri jalanan sore hari di sudut kota Paris Van Java, memperhatikan seniman jalanan beraksi dengan kostum jagoannya, menarik koin atau lembaran simpati pengunjung atas kreativitas mereka, berharap ada sarapan untuk esok pagi.
"Nata,"
"Hm," responnya tanpa menoleh, Ganis mendongak melihat rahang tegas Wira.
"Am i still virgin?"
Wira menghentikkan langkahnya sejenak, lalu menoleh pada Ganis sambil menggeleng, "no, dan aku yang ambil itu."
"Kenapa kita bisa nikah?" begitu banyak pertanyaan yang berdesakan mengantri ingin keluar dari benak Ganis.
"Karena aku sayang kamu, dan kamu sayang aku." Ucapan dan mimik wajah Wira begitu tenang, membuat Ganis percaya jika memang mereka baik-baik saja di masa lalu. Alasan yang begitu sederhana dan tak macam-macam. Tak ingin mengatakan yang sebenarnya, karena Wira tak mau ambil resiko, menjaga agar ingatan Ganis stabil dan tidak dipaksakan.
"Kalo seandainya nanti ingatan Ganis tentang kita 'ga kembali lagi, gimana?" tanya Ganis.
"Aku akan buat kamu jatuh cinta lagi sama aku," jawabnya, disini hanya Ganis yang menatap Wira.
"Cuma Ganis yang jatuh cinta sama kamu?"
"Karena aku udah jatuh cinta duluan," Wira memakai helmnya dan meminta Ganis naik.
Wira memang memiliki kharisma-nya sendiri, padahal yang Ganis pikirkan seorang berandal itu sudah pasti akan memaksakan kehendaknya atau mungkin mengancam sampai ia merasa kehabisan pasokan oksigen di bumi. Bahkan di sekolah Wira tak pernah terlihat mengintimidasi ataupun berusaha mendominasi Ganis, hanya seperti biasa menjadi mata pengawas untuk Ganis.
Gadis itu langsung masuk ke dalam kamar, menaruh tas setelah sebelumnya memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci.
Ganis menarik kursi belajarnya, dan mengeluarkan sebuah buku berwarna hijau, berkali-kali ia membolak-balikkan buku tipis itu tanpa berani membukanya, Ganis lebih memilih menyimpannya di dalam laci meja belajar.
...----------------...
"Ganis!!! Udah siang!" jerit mama dari bawah, efek berenang kemarin badannya terasa amat lelah, alhasil ia bangun kesiangan, untung saja hari ini adalah minggu.
Kelopak matanya masih senantiasa tertutup menghalangi sinar mentari yang menerobos dari celah-celah gorden jendela.
Ganis terpaksa mengangkat kepalanya dari bantal jika tak mau gendang telinganya pecah karena teriakan mama.
"Ini sunday morning mah," gumamnya.
"Hoamm!" Kaos kuning bergambar tweety hampir menutupi celana pendek putih sepa ha menjadi baju tidur Ganis, gadis ini sudah menghentikan pemakaian piyama sejak smp, karena katanya lebih cozy menggunakan kain berbahan kaos.
Kakinya beringsut dari kasur dengan wajah bantal dan rambut panjang menggulung kusut layaknya kun ti lanak ia turun ke lantai bawah.
"Ma, masak apa sih wangi banget ya ampun!" ujarnya masih menyesuaikan dan memilah-milah cahaya yang masuk ke retina mata. Alhasil matanya hanya terbuka sedikit hanya untuk meresapi betapa enak aroma dari dapur.
Gemilang dan papa melongo melihat makhluk jejadian turun dengan tanpa malu pada tamu mereka di meja makan.
"Kun ti nyasar darimana nih?!" seru Gem.
"Dari Alas Roban! Gue hantu perawan yang lagi nyari cowok, tapi ga mau modelan bang Gem, takut keracunan! Eh emang masih perawan ya?!" ia mendengus tersenyum mengejek.
"Wah frustasi nih anak, awas nanti gantung diri di jemuran mama," jawab Gemilang memakai sepatunya.
"Kamu jalan sambil tidur Nis?" tanya papa menyesap kopi miliknya.
"Engga pa, udah bangun kok udah!" jawabnya tapi kelopak matanya begitu berat untuk sekedar naik ke atas, seperti digelantungi beban begitu berat.
Dug!
Ganis menaruh kepalanya di lipatan tangan diatas meja.
"Idih, ngigo nih anak! Heh! Mau ikut ngga, gue mau ke Gasibu sama Nata?!" ujarnya.
Jederrr!
Matanya seketika melotot, dibawah sana apalagi saat mendengar suara berat lain, sudah pasti bukan mama.
"Nat, mau ikut sarapan dulu engga?"
"Udah tadi ma,"
Njimm dong, ada Wira! Ganis apa-apaan ini?!
"Ganis! Cepet ke air dulu, ga malu apa sama tamu!"
"Ha-ha-ha!" tawa Gemilang puas.
"Mati kutu kan kamu, ada temen sekolah kamu disini. Di bully-di bully deh tuh!"
Ganis masih membatu di tempatnya dengan posisi yang sama, ia memikirkan caranya lari dari sana secepat kapten america, merangkai dan menghitung jarak, kecepatan dan gaya yang dikeluarkan. Ngapain juga nih cowok pagi-pagi nyatronin rumah orang, kalo mau maling kesiangan, kalo kamu ngapel kepagian. Eh...ko ngapel?!
"Nis, mandi sana. Aturan anak gadis pagi-pagi tuh udah cantik, wangi jadi kalo ada pemuda yang mau lamar ga malu-maluin." Ucap mama menaruh satu persatu piring berisi masakan. Wajahnya semakin memerah saja dibawah sana.
1, 2, 3...
Ganis langsung beranjak mendorong kursi dengan pan tatnya dan berbalik secepat kilat tapi naas perhitungannya salah.
Dughh!
"Aduh!"
"Bwahahahaha!" Gemilang sampai memuntahkan kembali air minum dari mulutnya.
Ganis mengusap-usap keningnya, dan segera berlari naik ke lantai atas. Sementara Wira menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Ganis yang ceroboh.
"Ampun da! Kalakuan si bungsu," decak mamah.
(Ampun deh! Kelakuan si bungsu,)
"Nis!!! Mau ikut engga?!" pekik Gemilang.
"Enggak!!!" jawab Ganis. Ngapain juga tumben-tumbenan nih laki-laki datang ke rumah, pake so akrab sama keluarga. Ganis menghelas nafasnya singkat, melirik ke arah luar rumah, sedikit menyingkab gorden jendela dimana Gemilang dan Wira keluar dari rumah berlari dengan stelan ala orang berolahraga. Jika dipikir-pikir sejak dulu keluarganya sangat selektif memilah milih teman Ganis, apalagi jika itu lelaki. Ucapan Wira sedikit-sedikit mulai dipercayai Ganis.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
lestari saja💕
masih ga percaya bitter sweet end
2024-06-28
0
Lia Bagus
astaga
2024-03-24
0
Ismi Azizah
🤣🤣🤣🤣 sikat toilet 🤣🤣🤣🤣🤣
2023-05-27
0