"Ganis, aku anter!"
Ganis yang tengah mengobrol dengan Rindu pun mengatupkan mulutnya menoleh ke arah Wira, dengan otomatis tatapan mata tajam dan jijik sekaligus terpancar dari Ganis untuknya.
Bagi Ganis, Wira adalah modelan pemuda yang sangat--sangat--sangat amat harus ia hindari, hitung tuh sampe berapa saking ga maunya Ganis.
"Ngga salah?! Otak loe jalan ngga sih, baru main sama cewek lain terus yang dikejar gue?!" bagi Ganis sudah tak ada lagi kata halus untuk Wira, meskipun tampan pemuda ini tak patut untuk ia lembuti.
"Nis," tegur Rindu lembut di lengan Ganis. Tak tau kenapa, melihat Wira bawaannya Ganis selalu emosi, apalagi sejak kejadian barusan, rasa takut Ganis pada Wira tercerai berai terinjak di lantai warung slebor tadi.
"Ndu, ingetin gue! Kalo gue harus menghindari orang ini!" telunjuk Ganis bahkan sudah menunjuk wajah Wira.
"Rengganis!" sentaknya.
"Dari dulu kamu emang gini, suka sewot duluan sebelum orang kasih penjelasan. Dengerin dulu aku tadi abis ngapain.."
Ganis semakin melotot dibuatnya, "apa-apaan?" kenapa kesannya jadi ia yang seperti mergokin pacar sendiri lagi main di belakang dengan wanita lain.
"Itu terserah loe ya! Mau loe main sama berapa cewek pun, gue ga peduli! Asal jangan sama gue, jangan pernah sapa, liat, perhatiin, atau kenal gue lagi, mau itu di sekolah, di jalan, atau dimanapun!" cerocos Ganis, lumayan capek juga ia nyeroscos berapa tuh kecepatannya, apakah bisa mengalahkan kecepatan banteng terbangnya avatar? Rindu dan Damar diam melongo, tak enak sebenarnya hanya jadi pendengar saja tanpa mengompori, tapi ini bukan saat yang tepat untuk itu.
Wira mencengkram tangan Ganis keras hingga gadis itu sedikit mengaduh, "Dimanapun bumi tempatmu berpijak, disitulah aku bernafas. Bencilah diriku, agar aku tau seberapa besar kamu mengingatku. Kan ku kumpulkan semua kepingan jingga bersamamu."
"Berusahalah semampumu, hingga kamu sendiri ingin berhenti dan menyerah!" jawab Ganis penuh penekanan.
"Ga ada kata menyerah di kamusku, karena kamu ISTRIKU!"
"Apa?!" Rindu menutup mulutnya yang menganga, sementara Ganis sendiri sudah kesal sekaligus malu, ia berusaha keras melepaskan cengkraman tangan Wira.
"Ini gimana sih Nis?!" Rindu menggaruk-garuk kepalanya mendadak kulit kepalanya terasa gatal seperti sengaja dikasih peliharaan kutu seabrek-abrek. Damar menghampiri mereka dan menarik gadis penengah itu agar tak semakin kebingungan, ddngan drama suami istri yang tak diakui ini.
"Otak lu ga akan nyampe, sini! Liatin aja, nanti gue jelasin!" ajak Damar.
Sebuah motor bebek berhenti di depan mereka, menyuguhkan seorang bapak driver dengan jaket kebangaannya, "mbak Rengganis bukan ya?" ia setengah melirik-lirik foto profil Ganis di aplikasinya.
"Iya pak," Wira belum jua melepaskan cengkraman di tangan Ganis.
"Lepas!" desisnya penuh benci.
"Ndu, Damar gue pamit ya."
"Ati-ati Nis,"
"Pa," tahan Wira, raut wajah Ganis layaknya ibu tiri si Cinderella, murka dan nyinyir, bahkan Ganis sudah siap dengan kepalannya jika seandainya Wira macam-macam.
"Ngendarainnya hati-hati, ga usah ngebut," pintanya. Belum pernah Damar dan Rindu melihat Wira selembut ini memperlakukan perempuan, bahkan ia tak melawan saat Ganis gencar mencercanya. Wira seakan sudah bertekuk lutut pada Ganis. Bukankah memang begitu, sebandel dan segarang-garangnya seorang lelaki ia akan takluk pada wanita di rumahnya? entah itu ibu, istri, ataupun anak gadisnya. Membuat keyakinan Damar akan kalimat menohok Wira semakin bertambah.
Ganis memalingkan wajahnya ke sisi lain sambil mendekap kedua jaketnya, "jalan pak, buru!!"
"Ga akan pamit dulu sama pacarnya neng?"
Njrittt! Ganis bukan lagi membelalak, "bapak ih! Jalan atau saya turun?!" manyunnya, marah manja ciri khas Ganis. Akhirnya motor melaju meninggalkan area warung slebor. Ganis pulang membawa oleh-oleh perasaan dongkol, kesal, marah, dan wajah ngambeknya.
Wira masuk melewati Rindu dan Damar dengan stelan awalnya, wajah datar juga dingin. Ia menyambar tas dari dalam warung slebor tanpa berkata-kata lalu menaiki motor dan memakai helmnya, pergi tanpa pamit. Memang begitulah Wira, selalu membuat semua orang penasaran dengan apa yang terjadi padanya.
...----------------...
"Mama!" Ganis menghambur memeluk mama dari belakang ketika perempuan itu sedang menginteruksi papa mengambil tanaman serai di halaman belakang.
"Eh, kalo dateng tuh ucapin salam dulu!" wajah lembut nan teduh itu tersenyum masam pada anak perempuannya.
"Assalamualaikum," bisik Ganis lirih.
"Waalaikumsalam,"
"Segini cukup ngga mah?" tanya papa sudah berpeluh dan bernodakan tanah merah, matanya menyipit karena silau mentari padahal kepala papa dilindungi topi, tangannya yang terbalit sarung tangan menggenggam beberapa batang serai demi keperluan memasak sang istri, apalagi yang akan ia lakukan di masa-masa pensiun begini selain menghabiskan waktu dengan keluarga, dan memenuhi permintaan ratu di rumahnya.
"Papa, ngapain?!" sekejap wajah muram itu sudah berubah lagi, Ganis memang begitu, sikapnya selalu meledak-ledak tapi mudah mereda juga.
"Lagi manjain istri!" kekehnya menaik turunkan alisnya di tengah peluh yang membanjiri.
"Cie elah!!! co cweet, anak muda mah lewatttt!" seru Ganis, mendapatkan kerlingan mata genit mama, "iya dong! Anak-anak udah pada gede juga, pa! honeymoon yuk!"
"Idih! Idih mama!" Ganis memekik tertahan, hingga mencengkram tangannya sendiri saking gemas.
"Ganis gimana ma? Mau ikut!"
"Ngapain bawa-bawa anak ah! Bukan honeymoon dong namanya,"
"Udah ngga cocok atuh tua gini bulan madu, cocoknya pergi haji ma!" Ganis duduk di kursi, seperti kursi pantai, memang tak cocok sih berjemur di terik matahari pukul 2 siang, tapi biarlah mau coba bikin kulitnya eksotis.
"Aamiin! Do'ain, semoga anak-anak mama sama papa bisa berangkatin mama sama papa haji," jawab mama menyerahkan segelas sirup sirsak dingin pada lelaki yang sudah menemaninya 23 tahun.
"Ganis mau deh ma, punya pasangan se sweet mama papa. Masa tua Ganis berduaan terus," ia tersenyum-senyum sendiri membayangkannya. Mama Reni dan papa Yudi saling menatap getir mengingat menantu mereka NATA PRAWIRA ADIWANGSA.
"Pengen lelaki kaya apa? Yang tampangnya kaya cowok-cowok Korea di poster binder mu?" tebak papa.
Ganis tertawa, "kalo bisa! Do'ain ya pa!"
"Mama liat tuh kemarin ada temen kamu disekolah yang ganteng!" tembak mama.
"Siapa? Damar?" tanya Ganis.
"Bukanlah, kalo Damar mah tau!"
"Damar? Damar yang mukanya hinyai? Kaya cuci muka pake minyak goreng?" tanya papa membuat Ganis tertawa. (berminyak)
Mama sontak menepis perut buncit papa, "ih si papa mah!"
"Papa nih! Damar gitu-gitu baik, banyak yang suka juga lah!" jawab Ganis ikut menuangkan sirup sirsak dari teko.
"Bukan! Ada tuh dari kelas sebelah Ganis kayanya, cakep orangnya, dingin-dingin gimana gitu?!" Wajah Ganis mulai meredup, alisnya menukik.
"Siapa?" tanya nya dengan wajah keruh karena feelingnya, sang mama akan menyebutkan nama dia yang tak boleh disebut.
"Ada, ganteng, tinggi, putih banget sih engga, tapi kulit cowok gentle lah, rambutnya emang aga semrawut sih tapi keren, pendiem ga banyak senyum sama orang!" mata mama berbinar.
"Kemarin tuh siapa ya namanya? Sempet denger Rindu nyebutin. Wira gitu kalo ga salah,"
Brak!
Gelas ditaruh dengan kasar oleh Ganis di meja bundar berwarna putih. Gadis itu beranjak menghentak masuk melalui pintu tengah rumah.
"Ganis!"
Dilihat oleh keduanya, Ganis berjalan tergesa menuju kamarnya tanpa menoleh, dengan punggung naik turun pertanda emosi yang meluap-luap.
"Ganis kenapa bisa sebenci itu sama Nata, ma?"
Mama menggeleng tak mengerti, "semuanya berubah untuk Ganis dan Nata gara-gara kecelakaan itu,"
"Papa sudah minta Nata untuk ikut tinggal disini, tapi dia menolak. Dengan alasan takut khilaf lagi, dia juga ngga mau maksa ingatan Ganis atas saran dokter Burhan," Ingat betul mereka saat Ganis terpuruk karena aib itu.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Vivo Smart
🤣🤣🤣🤣😆
2024-06-22
1
Vivo Smart
, 🤣🤣🤣😂
2024-06-22
0
disda
🤣🤣🤣🤣 voldemort lah
2023-07-19
0