Ganis yakin jika otaknya sekarang sudah kelewat ngebul, memikirkan caranya untuk mengembalikan jaket itu. Sesekali ia melirik sebuah jaket yang sudah terlipat rapi, bersih dan wangi.
Tak ingin berlama-lama dengan apapun yang bersangkutan dengan Wira. Otaknya dipenuhi dengan kengerian reputasi anak-anak slebor. Apa harus, ia membekali diri dengan senjata tajam, bom, granat, atau mungkin bom asap? Jika dalam proses pengembalian ia di bully atau di le ceh kan anak-anak slebor.
"Harus kayanya!" angguk Ganis mantap. Setidaknya Ganis ngga bodo-bodo amat lah, kalo cuma buat mukul orang dan melarikan diri.
...----------------...
Ganis turun dari kamar, dengan memakai beberapa lembar jaket miliknya.
Mata Gemilang sampai tak berkedip melihat kelakuan adiknya ini, sudah seperti orang gila yang tinggal di kutub.
"Ganis, itu..." tunjuk mama nampak terkejut melihat anaknya memakai jaket berlapis-lapis, apa cuaca di luar sangat dingin. Rasanya Indonesia tak memiliki musim salju.
Pffttt, ha-ha-ha...
Gemilang tertawa puas setelah menyeruput mie miliknya, "mau dipaketin ke antartika ya neng?"
Ganis berdecih mendengar ledekan Gemilang, anggap saja ini bentuk pertahanan dirinya. Malah ia rasa 3 lapis jaket tebal yang dipakainya ini terasa kurang.
"Nis, yakin mau sekolah? Ga mau istirahat aja di rumah?" Ganis mengiyakan pertanyaan pria yang sedang menyeruput kopi hitam pekatnya. Papa nya memang pecinta kopi apalagi jika sudah mengobrol dengan om Arka suami tante Sha di sambungan telfon, udah mirip emak-emak ngomongin arisan presto. Papanya ini memang kelewat cerewet untuk ukuran seorang bapak-bapak, tak seperti ayahnya Galexia, yang lebih banyak diam.
"Yakin pa, Ganis ngga apa-apa kok, mamahnya aja yang khawatir berlebihan. Ganis cuma sakit kepala, kaya halusinasi gitu kemaren," gadis itu mengganti sarapan paginya dengan sosis dan telur, berharap menadapatkan energi ekstra untuk menghadapi beban hidup. Sontak, ucapan Ganis yang setenang air itu membuat ketiga manusia di meja makan ini tersentak kaget.
"Ha?! Kamu emang halu apa?" tanya Gemilang secepat guntur, mewakili pertanyaan kedua orangtuanya.
"Biasa aja dong, tuh mie di mulut masih gelantungan gitu! Jorok!" tunjuk Ganis dengan garpunya pada Gemilang dengan raut wajah jijik.
Slurrppp!
Helaian mie itu tersedot masuk ke dalam mulut Gemilang.
"Apa yang Ganis liat, apa Ganis inget?" tanya papa hati-hati, jemari di telinga cangkirnya pun mengerat saking tak sabar mendengar cerita sang putri.
"Mukanya tegang-tegang banget sih!" tawa Ganis.
"Ganis," tegur mama menghela nafas karena Ganis malah cengengesan di tengah suasana harap-harap cemas pagi ini.
"Yang Ganis liat sih Ganis kaya minta ijin, minta pergi gitu! Ga tau mau kemana, ga tau sama siapa, cuma Ganis manggilnya bang Nat-nat, geli banget kan?!" ucapnya nyengir sambil menggidikkan bahu geli.
"Ganis kaya lagi di kamar, tapi ga tau kamar siapa, nyubitin si abang-abangan ini yang lagi pake kaos tengkorak, mana lagunya heavy metal gitu, abis itu...." Ganis bingung apa harus ia menceritakan kejadian selanjutnya pada keluarganya, sungguh memalukan, ia sampai menggelengkan kepala dan menutup wajahnya malu.
"Abis itu apa?! Geje banget!" tanya Gemilang semakin tak sabar, lama-lama ia cemil juga sisa mie beserta piring-piringnya sekalian.
"Abis itu anu..."
Mama dan papa sampai menautkan alisnya saking tak mengerti dengan kosa kata ambigu yang Ganis ucapkan.
"Allahu! Pake ada bahasa anu lagi!" gemas Gemilang, rambut yang sudah rapi dengan diolesi pomade itu sedikit acak-acakan karena ia mencengkramnya saking gemas.
"Ganis sama tuh orang ciuman..." Ganis meringis merasa malu, ia mengusapi tengkuknya.
Mama dan Papa mengatupkan bibirnya ingin tertawa, sementara Gemilang sudah benar-benar menggigit sendok yang dipegangnya.
"Abang kira kamu bakalan inget siapa dia, taunya malah cipo*kan yang diinget!!" gerutunya, bisa kali kalo itu di skip, sudah lama ia putus dari Tiara jadi kangen rasanya dengan bibir seksi mantannya itu.
"Makanya kan, apa Ganis bilang! Ya udah lah, Ganis berangkat."
"Buruan pa, Ganis telat!"
"Yu--yu, bentar papa abisin dulu sisa kopinya," papany ikut beranjak seraya menyambar cangkir dan menyeruput kopi menyisakkan ampas hitam pekatnya.
"Ma, Ganis berangkat dulu!" meraih punggung tangan sang mama.
"Iya hati-hati," kecupan sang mama di kening Ganis menutup acara pamitan pagi ini.
Gemilang menatap nyalang kepergian Ganis bersama papa-nya.
"Mama kasian sama Nata, Gem. Ganis kayanya malah benci sama Nata." Ucap mama berdadah ria di ambang pintu pada Ganis.
"Biarkan aja ma, Gem pengen tau usaha dia dapetin lagi Ganis. Setidaknya kejadian ini jadi pelajaran buat kita semua," Gemilang ikut menyambar tas miliknya dan pamit pada mama.
...****************...
"Belajar yang bener! Jangan pacar-pacaran!" pesan Papa, bukan pesan mama.
"Siap komandan!" Ganis berlagak seperti prajurit sambil tertawa.
"Ga usah kebanyakan gaul yang ga penting-penting,"
"Siap, ndan!"
"Pulang sekolah langsung pulang!"
"86!"
Papa tertawa, putri bungsunya ini memang selalu membuat suasana jadi hidup. Bahkan sejak dulu, hal yang patut disyukuri karena tidak hilang dari diri seorang Rengganis Kamania. Ia beserta istri terkadang menyesal jika mengingat sikap mereka dulu, yang sering meninggalkan Ganis hanya untuk sebuah pekerjaan, karena nyatanya uang tak dapat membeli sebuah kenangan, uang yang mereka hasilkan pun nyatanya tetap akan habis.
"Dah papa!!!"
Pria itu membalas lambaian tangan Ganis yang masuk ke dalam sekolah, ditatapnya sang putri dengan tatapan nanar hanya sebuah sedan tua yang dipakai untuk mengantarkan Ganis, semenjak pabrik kertasnya kebakaran, papa Ganis mengalami kebangkrutan, yang tersisa dari harta miliknya hanya rumah di Bandung yang ditempati sekarang, dan sebuah sedan tua itu. Rumah di Jakarta sudah mereka jual untuk cadangan tabungan pendidikan Gemilang dan sebagian biaya simpanan lainnya, biaya hidup mengandalkan pensiunan sebagai pegawai Dishub, lalu hidup Ganis? sebenarnya biaya hidup Ganis di tanggung orang lain.
"Papa?" sebuah motor trail berwarna hitam dengan aksen hijau lumutnya berhenti tepat di samping mobil papa Ganis.
Pria paruh baya ini menoleh, "Nata?"
"Pa," ia langsung turun membuka helmnya, dan salim takzim pada papa Ganis.
"Apa kabar kamu Nat?" ia menepuk-nepuk bahu kekar pemuda itu seraya tersenyum hangat.
"Baik pa, maaf jadi papa yang harus repot-repot anterin Ganis," ucapnya.
"Siapa bilang, Nat? Papa masih kuat! Umur saja yang sepuh, tapi jiwa dan raga ga beda jauh sama kamu!" tawanya ciri khas papa yang ramah.
"Kapan-kapan kita ngopi?! Janga sekarang, kan kamu sekolah!" ajaknya.
Nata tertawa tanpa suara hingga jakunnya naik turun, "boleh pa boleh,"
"Ganis..." raut wajah papa Ganis mulai serius memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, sementara Nata tengah menunggu apa yang akan dikatakan papa Ganis.
"Mulai mengingat satu persatu kejadian lalu. Tadi katanya dia cerita, kemarin inget waktu minta ijin ke Pangalengan di kamar kamu, dia inget kaos yang kamu pakai malam itu, sayangnya ga inget muka si abang Nat-nat ini. Well, kayanya kamu harus sedikit lebih bersabar lagi Nata, karena Ganis belum bisa mengingat kamu."
Nata hanya tersenyum tipis, setidaknya ia ingat bang Nat-nat adalah panggilan sayang untuknya dari Ganis.
"Makasih pa, maaf kemarin Nata sedikit emosi sama Ganis. Mungkin mama udah cerita?"
"Ya, ga apa-apa." tepukan intens mendarat di lengannya.
"Yang penting Ganis baik-baik saja,"
"Kapan jadwal ketemu dokter Burhan, pa? Biar Nata transfer uangnya,"
Papa tersenyum getir, ia salut atas tanggung jawab pemuda di hadapannya itu, meskipun dulu ia sekeluarga sempat melarang hubungannya dengan Ganis.
"Dokter Burhan bilang selama Ganis baik-baik saja tak perlu sampai masuk rumah sakit."
Papa melihat arloji di tangannya, "kalo gitu kamu masuk, sudah jam 7! Papa pulang dulu," papa mengangguk.
"Iya pa, hati-hati!"
...----------------...
"Nis, loe sehat kan?" kernyitan di dahi menandakan jika gadis ini tak mengerti kenapa temannya ini begitu amsyong bin kacroet.
"I'm totally healthy!" angguk Ganis memakai berlapis-lapis jaket tebal udah kaya maling pakaian di mall.
"Maksud dia otak lu Nis, masih sehat wal'afiat kan?" tanya Damar meralat pertanyaan Rindu.
"Ck, diem! Ga usah pada nanya deh. Kebanyakan nanya kaya dora!" sungutnya berdecak.
"Kan mau masuk zona hitam! Jadi pakaian mesti safety dong!" Damar dan Rindu tertawa.
"Lu dikasih sarapan apa sih hari ini, sama tante Reni?" tanya Rindu mengerutkan dahi, memakai jaket jeansnya, di jam pulang.
"Campuran sekam padi sama arang! Cabut yu!" tarik Ganis di tangan Rindu.
"Mar! Jangan lupa balok kayu! Takutnya ga ada gencatan senjata!" pekik Ganis yang sudah berjalan di depan bersama Rindu dengan paper bag hijau.
Damar menggelengkan kepalanya, "ampun si Ganis! Dipikir anak slebor pasukan pemberontak,"
"Kira-kira si Raja bakalan bela loe berdua yang temennya atau mereka?" tanya Ganis.
"Auu! Kayanya mereka deh," jawab Rindu.
"Fix kalian berarti teman ga berharga!" tawa Ganis.
"Ck, si*@lan!"
.
.
Noted :
Kacroet : kacau
Totally healthy : sehat sepenuhnya.
Safety : aman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Land19
owalah pantesan dari awal baca , kok ada gemilang .
ga asing gitu
rupanya masih setali Ama sha sha n arka
2024-10-16
0
Vivo Smart
😂😂😂😂iya nih si Ganis, gelo dewek🤣🤣
Wira nggak ngapa ngapain dia yang heboh sendirik🤣🤣
nethink banget sama bang Nat nat
2024-06-22
1
Vivo Smart
yang mau lu balokin itu suami lu Nis😆
2024-06-22
0