"Nis, dasi loe mana?" bisik Rindu.
"Iya, gue lupa Ndu. Gimana dong?" alisnya bertaut. Gara-gara obrolan uang rokok papa jadinya ia lupa kalau hari ini ada pelajaran PKN, pak Surya. Boleh dikatakan pak Surya ini sangatlah loyal, tegas, dan disiplin. Setiap razia sekolah dipelopori olehnya, di setiap pelajarannya para siswa diwajibkan memakai atribut lengkap dengan kondisi seragam dan rambut rapi. Untung saja tidak diminta diplastikin kaya buku paket biar siswa pada ga lecek.
"Auto dijemur Nis, ini mah!" sahut Damar.
"Ga apa-apalah Nis, gue juga lupa pake seragam yang ada name tag-nya!" kikik Damar menunjukkan dada kanannya yang kosong tanpa ada tanda pengenal, sontak saja kedua padang mata gadis itu melirik pada kemeja seragam Damar.
"Dih! 2 in, loe berdua fix jadi ikan asin!" tunjuk Rindu dengan tampang nyinyir.
"Ga apa-apa, itung-itung berjemur Nis, biar anget. Bule aja jauh-jauh ke Kuta cuma buat berjemur, sehat!" terang Damar.
"Bukan anget, ini udah kelewat panas be*go! Mau dikata orang kena paru-paru basah?!" suara 8 oktaf Rindu mencerca penuh hinaan.
"Ya udah gue ikut juga kalo gitu biar disebut kompak!" Rindu hampir menarik dasi di lehernya jika Damar tak menahan.
"Jangan! Loe peak dipelihara, di luar panas, loe di kelas aja!" Ganis tersenyum lebar, "cie sweet banget papa sama mama gue!"
"Sweet banget lu gemblong!" ketus Rindu, padahal hatinya sudah ditaburi serbuk micin, karena terasa gurih-gurih nyoy.
Benar saja, gendang telinga Ganis dan Damar seperti dijatuhi bom molotov, mendengar amukan pak Surya. Rentetan kalimat nasionalisme dan materi pelajar yang cemerlang mengalahkan pembacaan pembukaan UUD 1945. Alhasil 6 orang termasuk Ganis dan Damar dijemur layaknya kerupuk jengkol di depan tiang bendera sekolah biar merekah waktu di goreng.
"Cuma gara-gara dasi aja udah kaya terduga pele ceh an lambang negara!" gerutu Damar, wajah sawo kematengannya tak terlalu kentara, beda dengan Ganis yang sudah memerah dan mandi peluh.
"Panas uyy!" Matanya menyipit nyengir menatap ke atas, seolah partikel-partikel udara bergelombang. Sejak tadi Ganis sudah menyeka keringatnya beberapa kali demi menghilangkan peluh. Namun sia-sia, lelehan keringat itu kembali turun deras membawa pasukannya satu kampung.
"Loe kalo sayang sama Rindu, kenapa ga loe tembak aja Mar?" selalu ada kejadian di balik hikmah, bukankah begitu? Ini dia hikmahnya bisa ngobrol tanpa harus repot-repot mikirin pelajaran, besok kalo dihukum lagi mereka mesti nyediain payung pantai sekalian sama tiker dan kelapa muda.
"Mati dong dia!" selorohnya basi.
"Cih," decih Ganis bibirnya terangkat sebelah.
"Udah gue tembak, tapi Rindu masih gantungin gue. Sampe-sampe gue apek kaya jemuran ibu di rumah," jawabnya menatap nyalang tiang besi di depan, apa mungkin Damar menganggap tiang ini adalah Rindu?
"Lu nya kurang agresif kali, makanya Rindu masih mikir-mikir. Padahal dia juga suka sama lu," gadis ini yakin jika Damar ada usaha sedikit lebih keras ditambah modal dikit, bawa limosin terus bawa Rindu ke restoran mahal kaya CEO di drama korea yang sering ia tonton, tidak mungkin Rindu masih menggantungnya seperti bendera merah putih di hadapan mereka.
Meskipun tak yakin jas Ralph Laurent dapat menyelamatkan aura nyablak Damar, tapi justru itu lah kelebihan Damar. Karena dari atas sampai ujung kaki, Damar tetaplah seorang siswa SMA yang perawakannya masih kaya anak layangan, tapi kalau dilihat-lihat Damar cukup oke! Circle pertemanannya pun sana sini jalan.
Rasanya Ganis sudah tak kuat lagi menahan panas yang menyerang pucuk kepalanya.
"Kalo gue pingsan bakalan ada yang nolongin kan?" tanya nya pada Damar, membuat pemuda ini melirik Ganis, Ganis memang bisa dikatakan anak manja tak terbiasa dengan segala bentuk hukuman, bungsu dari 2 bersaudara ini memang selalu di manjakan oleh kedua orangtua dan kakaknya, bahkan abangnya ini sangat overprotektif pada Ganis, tapi taukah kamu anak remaja seusia Ganis jika dikekang maka suatu saat mereka akan membangkang? Baru kali ini ia dihukum begini, tak macam Damar yang bermental baja dan bertubuh samsak.
"Ya Allah meni mentrang kieu panasna!" bisiknya dengan nada kesal.
(Ya Allah nyengat gini panasnya)
Tapi tiba-tiba saja kepalanya terasa teduh, ternyata sebuah payung jaket sepaket dengan tiang orang kini sedang memayunginya menggeser anak lain di sebelah Ganis.
"Kalo loe ping..." Damar sampai tak melanjutkan ucapannya, ketika melihat pemuda dengan rambut bisa dikatakan panjang untuk ukuran siswa sekolah karena menyentuh alis, dan tentunya acak-acakan ini memayungi Ganis dengan jaket miliknya. Ganis jauh lebih terkejut, ia sampai menganga karena perlakuan Wira.
Mata keduanya bertemu saling menatap lama, hanyut dalam pikiran masing-masing dan seolah sedang bicara melalui tatapan, mendalami hati masing-masing.
Apa ini Vanilla? Citrus? Sedikit maskulin dan woody?!
Ngapain juga kaya gini? Ya Allah tolongin gue, lutut gue tremor!
Sementara tatapan dingin itu seakan menatap setengah memohon dan memaksa pada Ganis.
Ganis mengakhiri tatapannya saat dirasa matanya sudah perih, ia menunduk dan mengerjap, meraup nafas rakus-rakus karena sejak kontes tatap menatap barusan ia sampai harus menahan nafasnya.
Lama Ganis memilah milih kosakata yang tepat agar Wira tak tersinggung, "thanks, tapi ga perlu repot-repot," tapi kenapa hanya itu yang bisa ia katakan. Terlihat sombong kah? Atau justru tak tau diri? Aduh Ganis!!!!
"Kamu ga akan tahan panas kaya gini, lain kali jangan so-so'an ngelanggar aturan sekolah gini, bisa?!" sentaknya bertanya sengak, nada bicaranya bertolak belakang dengan ekspresi wajahnya yang terlihat dingin, semakin menambah kesan menyebalkan. Ganis mengernyitkan dahinya, aneh.
Kebingungannya terpecah oleh suara bel akhir jam pelajaran sekaligus istirahat.
Wira menyingkirkan tangannya dan memakai kembali jaket lalu pergi berlalu meninggalkan Ganis dengan Damar.
"Aneh tau ngga! Yang freak itu dia bukan gue!" sungut Ganis, berani? Tentu saja karena Wira sudah tak disana.
"Ude lah! Ga usah dibahas, yok balik kelas, mata gue udah silau nih!" ajak Damar.
Ganis melihat penuh kebencian ke arah hilangnya Wira. Setelah menyebutnya freak, lalu so so'an memayunginya biar dikata pahlawan, lelaki gentle gitu? Terus malah marah-marahin. Kayanya orangtuanya salah nyekolahin, anak ga waras gitu harusnya masuk rumah sakit jiwa. Belum lagi sikapnya selama ini. Jangan kira ia tak tau kalau dari pertama Ganis masuk saja pemuda ga waras itu selalu memperhatikannya seperti seorang psikopat ngincer target, belum lagi kemanapun Ganis pergi seperti sedang diawasi. Apakah secara kebetulan dimana ada Ganis maka Wira ada disana, apakah dunia ini sangat sempit?
Blugh!
"Huffttt!"
Ganis menjatuhkan dan menyenderkan badannya di bangku kayu miliknya, sementara Damar merebahkan badannya tepat di meja Ganis dengan wajah menghadap Rindu.
"Kipasin dong Ndu! Panas banget nih, mana mata gue masuk ke kelas jadi gelap lagi!"
"Loe berdua bauu ih! Bau angus tau ngga?!" sewot Rindu dengan wajah merengut.
Ganis menyambar tumbler minum dari tas bagian samping lalu meneguknya.
"Buru Ndu!" pinta Damar.
"Idih, loe yang kena hukuman, gue yang kena getahnya!" omel Rindu, tapi menurut dan meraih salah satu bukunya mengipasi si cowok hitam manis ini.
"Ekhem, neng Rengganis Kamania?" Ketiganya menoleh ke asal suara.
"Teh Irma?!" alis ketiganya kompak mengangkat sebelah.
"Iya kenapa teh?" Ganis pun melakukan hal yang sama mengipasi wajahnya dengan buku catatan.
Teh Irma membawa nampan dengan segelas es teh manis diatasnya.
"Ieu pesenanna bade disimpen di palih mana, tapi ngke gelasna punteun di ka kantinkeun deui nya neng," pemilik kantin sekolah berusia sekitar 29 tahunan ini menyerahkan segelas besar es teh manis di bubuhi sedotan hitam ke tangan Ganis, meskipun gadis ini tampak ragu, lihatlah embun yang dihasilkan di gelasnya melambai-lambai minta ditempelin ke pipi.
(Ini pesenannya mau ditaro di sebelah mana, tapi nanti gelasnya tolong dikembaliin lagi ke kantin ya neng,)
Tenggorokan Ganis, bahkan sudah kering dan meronta minta segera disiram es teh manis itu. Padahal ia baru saja minum.
"Maneh (Kamu) mesen es teh manis Ganis, iraha (kapan)?" tanya Rindu penuh keheranan.
Terang saja Ganis menggidikkan bahunya, "Henteu!" (enggak)
"Kanggo Ganis, teh? Tapi Ganis teu pesen?!"
(Buat Ganis, teh? Tapi Ganis ngga pesen?!) kernyitan dahinya semakin jelas.
"Ti a Wira," (dari a Wira)senyumnya, pergi meninggalkan kelas Ganis.
"Ha?!! Seriusan, njritt!" Rindu terjengkat dan melihat-lihat gelas berisi es teh manis di tangan Ganis, seperti memandang suatu barang aneh yang patut di curigai, sementara Ganis sendiri semakin bingung dibuatnya, semakin tak suka, dan semakin argghhh!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Land19
ada apa dg Wira dan ganis
2024-10-16
0
Lia Bagus
ahayyy
2024-03-22
3
Lia Bagus
hahaa
2024-03-22
0