Tujuh hari adalah waktu yang harus dimanfaatkan oleh Dinda semaksimal mungkin. Minggu depan Arya sudah kembali dan dia harus mengatur strategi. Sampai saat ini Dinda belum berhasil membaca apa yang ada di pikiran Arya.
Entah pria itu hanya menganggapnya sebagai gadis untuk menemaninya tidur atau hanya pajangan. Pernahkah laki - laki itu menganggapnya sebagai istri?
Tujuh hari akan berlalu sia - sia kalau Dinda begitu tenggelam dengan pikiran - pikiran itu. Dia baru bertemu Arya sebulanan ini. Dinda baru berinteraksi dengannya dalam hitungan jari. Bagaimana dia bisa mengetahui apa yang akan terjadi kedepannya.
‘Lebih baik aku menikmati tujuh hari ini semaksimal mungkin’, begitu akhirnya pikir Dinda.
Daripada pusing memikirkan sesuatu yang belum terjadi, lebih baik menikmati apa yang ada.
Dinda baru sadar bahwa kamar Arya dilengkapi WiFi yang koneksinya sangat kencang. Dinda bisa menikmati beberapa seri drama korea di dalam kamarnya di akhir pekan dan malam hari.
Selain itu, kamar Arya juga dilengkapi dengan balkon yang indah dan sebuah kursi gantung. Biasanya Dinda hanya menemukan itu di rumah teman - teman perempuannya, ia tidak menyangka pak Arya juga memiliki kursi gantung seperti ini.
Kalau sudah lelah menonton di atas kasur, Dinda mengambil ponselnya dan streaming drakor di kursi gantung itu sambil menikmati satu tumblr jus buatan Bi Rumi. Kebetulan, tante Inggit …. (sekarang mama) sedang sibuk mengurusi anak - anak mba Andin. Jadi, Dinda dibiarkan saja tenggelam dengan aktivitasnya.
Seperti hari ini. Sepulangnya Dinda dari kantor, dia langsung mandi dan duduk diatas kasur sambil menikmati tontonan drakor. Bi Rumi baru saja membuat satu botol besar sambal rujak. Kebiasaan keluarga ini yang paling dinda sukai adalah mereka menyetok banyak sekali cemilan tradisional yang dibuat sendiri.
Bahkan semuanya ditempatkan di kulkas sendiri. Ada satu botol besar bumbu rujak, bumbu pempek, dan pecel. Setidaknya itu untuk minggu ini. Selain itu ada beberapa botol jus, salad, pudding, dan cake.
Menu - menu ini biasanya diganti setiap dua minggu. Tapi khusus sekarang, biasanya sudah habis hanya dalam beberapa hari. Mama (tante Inggit) tidak memperbolehkan anak - anaknya jajan di luar.
Beberapa hari terakhir terutama setelah pernikahan Arya dan Dinda, isi kulkas lebih cepat habis karena banyak anak - anak kecil dari saudara - saudara pak Arya yang masih menginap disini. Hal - hal seperti ini sudah diberitahu mama (tante Inggit) beberapa hari yang lalu.
Tidak hanya WiFi dan cemilan saja, rumah pak Arya juga penuh tanaman - tanaman mulai dari tanaman hias sampai buah - buahan. Sebenarnya Dinda dari dulu suka sekali berkebun tetapi karena rumah mereka tidak punya halaman yang luas, Dinda hanya bisa berandai - andai.
Di rumah Arya, Dinda bisa berkebun sepuasnya, mama sudah memberikan lampu hijau untuk Dinda bisa menambah tanamannya sendiri. Mama juga menyediakan lahan 2 meter x 2 meter untuk Dinda bereksperimen sayur - sayuran. Nanti kalau sudah bagus, katanya baru boleh ditambah lagi. Untuk berkebun, Dinda mengambil waktu akhir pekan. Tepat sehari setelah Pak Arya berangkat ke luar negeri, Dinda langsung membeli online benih - benih yang ingin ia tanam.
Untuk medianya, Dinda meminta bantuan pak Kuncoro, tukang kebun langganan mama. Karena minggu ini dia sibuk, Pak Kuncoro akan datang membuatkan tempat - tempat berkebun minggu depan.
Dinda benar - benar menikmati waktunya tanpa Arya. Kamar Arya yang begitu luas menjadi ruangan favoritnya di rumah itu. Kembali pada prinsip tadi, Dinda ingin menikmati kebebasannya selagi ia bisa menikmatinya.
Dinda masih belum bisa membayangkan bagaimana nanti dia melewati hari bersama pria super dingin, arogan, dan random seperti pak Arya.
“Din, kamu di dalam? Boleh mama masuk?”, tiba - tiba mama muncul saat Dinda masih asik dengan tontonan drama koreanya.
“Iya. Silahkan, ma. Masuk aja, gak Dinda kunci.”, jawab Dinda yang sudah di depan pintu sambil tersenyum.
“Kamu lagi ngapain?”, kata Inggit basa basi sebelum melontarkan maksudnya datang kemari.
“Cuma baring - baring aja ma.”, jawab Dinda lagi. Ia sudah menutup laptopnya dan menaruhnya di bawah tempat tidur sebelum Inggit masuk.
“Arya sudah mengabari kamu, belum?”, kata Inggit sambil duduk di kasur bersama Dinda.
“Oh.. belum ma. Pak Arya belum info apa - apa lagi sejak pergi kemarin.”, Deg! Dinda seketika sadar bahwa ada yang salah di kalimatnya. Tidak seharusnya dia sejujur itu. Dan benar, reaksi Inggit langsung membuatnya menyesali jawaban tadi.
“Loh, Arya belum telpon kamu lagi? Ini kan sudah seminggu lebih, kok belum telpon?”, Inggit terheran - heran sekaligus kecewa.
“Jangan - jangan kamu belum punya nomor Arya lagi?”, tentu saja Dinda tidak bisa berbohong. Jika dia jawab ‘Iya’, Inggit pasti sudah menyuruhnya untuk menelepon Arya dan saat itu juga kebohongannya pasti ketahuan.
Alhasil, Dinda hanya bisa mengangguk malu. Sebenarnya Dinda tidak keberatan Arya tidak menghubunginya. Justri dia senang. Tapi berbeda dengan Inggit, dia sangat kecewa.
“Arya ini akan mama marahin kalo sudah pulang.”, kata Inggit gemes pada anaknya yang sudah lewat 30 tahun itu.
“Jangan tante, eh maksudnya ma. Mungkin Pak Arya lupa harus kasih nomornya. Apalagi klien yang sedang ditangani pak Arya sekarang memang klien penting.
“Iya mama paham. Ya sudah. Tpai, mama tetap akan marahin dia.”, jawab Inggit tapi sambil tersenyum.
“Arya akan pulang lebih cepat. Harusnya kan seminggu lagi. Ternyata dipercepat. Jadi, tiga hari lagi Arya sudah bisa pulang.
“Oh?”, kata Dinda refleks tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Bak disambar petir, Dinda langsung kaget. Buat mama ini berita baik, tapi buat Dinda.. ‘RIP Kebebasan’.
Dinda berharap Arya bisa lebih lama di luar negeri, tapi kenapa dia malah kembali lebih cepat. ‘Bagaimana ini?’, Dinda sudah panik bukan kepalang. Meski di depan Inggit dia tersenyum, tetapi hatinya sudah cemas.
“Besok malam ikut mama, yuk!”, kata Inggit tiba - tiba memecah lamunan Dinda.
“Kemana ma?”, sahut Dinda.
“Kita ke Mall sama temen mama. Kita beli lingerie, ya. Jadi temen mama itu juga punya anak yang sudah menikah setahun yang lalu. Tapi katanya belum dapat momongan. Jadi dia mau beli lingerie untuk memotivasi……”, bla bla bla Inggit terus mengoceh sementara dia tidak sadar kalau Dinda sudah terkena serangan mental.
‘Apa? Lingerie? Ini otak aku yang error karena kebanyakan makan ato gimana, ya?’, tapi Dinda tidak enak bertanya atau membantah.
“Kamu besok pulang jam berapa?”, kata Inggit melanjutkan. Dia sudah turun dari kasur dan berjalan ke arah ruang pakaian Arya dan Dinda.
“Jam 5 sore, Ma.”, kata Dinda terpaksa mengikuti.
“Ibarat perang, kita harus sedia amunisi dulu. Untung ada temen mama yang ngajakin. Kalau dilihat - lihat, kamu memang belum punya baju - baju tidur seksi. Kita beli berapa pasang ya.”, Inggit mengangkat tangannya ke bawah dagu seolah ingin memperlihatkan bahwa ia sedang berpikir.
“Hehe… kayanya gak perlu, Ma. Gaun tidur yang mama udah beliin kemarin aja menurut aku udah seksi, ma. Tipis banget lagi.”, Dinda masih berusaha untuk membatalkan ide gila ini.
“Din, Arya itu umurnya udah 34 tahun, udah gak mempan gaun - gaun tidur kaya gitu. Mama tuh baru baca, ya. Katanya justru bagus punya lingerie, itu bisa mendekatkan hubungan suami dan istri.”, Dinda sudah mulai mual mendengarkan omongan Inggit yang terlalu vulgar dan dewasa
‘Ma, jangankan ke tahap itu, memikirkan skinship aja aku belum sampai, Ma. Ini masih mau berusaha gimana caranya biar bisa ngomong dulu sama Pak Arya.’, jeritan hati Dinda seolah tertutup oleh dinding tebal. Ia hanya mampu tersenyum pada setiap kata - kata Inggit.
“Tapi ma, kayanya lingerie agak ekstrim, ma.”, Dinda masih berusaha menolak ide gila itu dengan cara halus.
“Ekstrim gimana Din? Justru bagus buat magnet untuk menarik Arya.”, sebaliknya, Inggit sangat bersemangat membicarakannya.
“Tapi…. Masih belum satu bulan, ma. Gak enak sama mas Arya.”, kata Dinda ragu - ragu mengatakannya.
“Loh? Ko malah ga enak sama Arya? Dia kan suami kamu. Ga perlu gak enak. Arya pasti suka kok. Din, mungkin karena kamu masih muda, ya.”, ujar Inggit menangkis semua perlawanan menantunya.
“Sini mama kasih tips. Suami itu perlu dimanjakan supaya hubungan semakin lengket.”, kata Inggit menambahkan sambil menunjuk ke arah kasur.
Meski Dinda masih muda, tapi dia tahu maksud Inggit dengan jelas. Dia sudah tidak bisa membantah lagi. Saat ini, sepertinya tersenyum tipis adalah cara paling ampuh agar mama mertuanya berhenti membahasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
abdan syakura
Tuh turutin nasihat org tua,Din...
Jgn lembek bgt deh .....
pelakor dah merajalela,elo msh betah diam....
Ayok.... semangat!!😉🤔🥰
2023-04-01
0
Devi Handayani
bagus maa... beliin aja yg banyak biar sering sering hihihi😆😁😄🤭
2022-10-11
0
Siti Asmaulhusna
jangan2 si Arya nya suka dtng ke Club seneng clup sana sini lagi trus ngapain si Sarah nya mau balikan lagi
2022-08-29
1