Tidak pernah sekalipun terpikirkan untuk menjadi istri seorang Arya Pradana. Jangankan menjadi istri, berada di dekatnya saja tidak pernah terlintas di benak Dinda.
Dinda hanya seorang anak intern yang baru masuk. Pengalaman pertama meeting di ruang besar itu, Pak Arya sudah menunjukkan pesona sekaligus auranya yang kuat.
Di kantor, bahkan anak management assosiate yang dikenal cerdas saja belum tentu bisa berbicara dengan santai pada Arya. Untuk berbicara dengannya, lawan bicara harus mengerti dengan tren - tren bisnis masa kini, berpikir cepat, kritis, dan penuh dengan ide - ide cemerlang. Apalagi seorang intern, remah - remah roti yang bahkan manajerial keatas tidak akan pernah melirik mereka.
Pekerjaan seorang intern dianggap tidak penting padahal memusingkan. Dianggap hanya pekerjaan hari - hari yang siapapun bisa mengerjakannya. Setiap meeting hanya bisa duduk dan mendengarkan. Tak pernah ditanya pendapat.
Sekarang, Dinda masih tidak bisa percaya bahwa orang itu, pria yang dia tidak pernah mau bersinggungan dengannya, saat ini sudah menjadi suaminya. Itu artinya, setiap hari Dinda akan menghadapinya, berbicara dengannya, memenuhi kebutuhannya, dan …. tidur dengannya.
‘Ah tidak - tidak. Aku gak mau memikirkan ini. Jangan. Sudah, Dinda. Gak usah berpikir apa - apa. Jalani saja.’, batin Dinda berteriak pada dirinya sendiri.
‘Eh..’, Dinda terkejut, tatkala sebuah tangan sudah merangkulnya.
Tangan itu berusaha memperkecil jarak antara mereka. Dinda melirik ke arah samping dengan sedikit mendongak ke atas. Benar, itu adalah tangan Arya.
“Oke, iya bagus mas. Pertahankan, ya. Satu, dua, tiga. Oke, sekali lagi..”, ternyata Dito, sepupu Arya yang menyebabkan tangan pria sudah kemana - mana.
Dinda terlihat sangat risih, badannya berusaha menghindar dari cengkraman tangan Arya yang dengan tekunnya mengikuti arahan dari Dito.
“Sebelum ijab kabul, saya sudah pernah tanyakan apakah kamu yakin menikah dengan saya. Dan kamu jawab iya.”, bisik Arya sedikit menunduk ke telinga Dinda agar tidak ada yang mendengar.
Tadinya, dia membiarkan Dinda yang terus bergerak menghindarinya. Meski Dinda sudah berusaha se-natural mungkin menghindarinya, tetap saja Arya tidak terima.
“Sekarang, ijab kabul sudah selesai. Kamu adalah istri saya. Terserah saya mau saya pegang dimana.’, ucap Arya dengan lugas, namun pandangannya mengarah ke sekitar sambil tersenyum. Seolah mereka adalah pasangan yang sangat berbahagia hari itu.
“Ohiya, satu lagi. Jangan lupa, nanti malam kamu juga harus melayani saya.”, kata Arya kali ini dengan sorotan mata yang tajam setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka.
“Tapi, Pak Arya. Bapak kan gak cinta sama saya.”, kata Dinda juga ikut berbisik namun tidak ke telinga Arya.
Jaraknya terlalu jauh. Tapi gumamannya tetap bisa didengar Arya dengan jelas.
“Saya gak cinta sama kamu, bukan berarti saya gak mau tidurin kamu. Kamu punya wajah yang lumayan, masih muda, dan kabarnya belum pernah pacaran, kan? Menarik. Mungkin saya harus bayar sekian juta runtuk mendapatkan wanita seperti kamu di klub malam. Sekarang, ada gratis di depan saya. Kenapa harus saya lewatkan?”, kata Arya masih dengan wajah serius namun mulutnya mengeluarkan kalimat sarkas.
Dinda tidak tahu pria ini hanya sedang menakut - nakutinya saja, bercanda atau memang benar - benar serius dengan perkataannya. Dinda masih sangat risih saat tangan Arya kembali memegang bahunya. Kemudian bergerak merangkul pinggulnya.
Saat ini kami saling berhadapan. Awalnya Dito menyuruh kami untuk menyatukan kening dan berfoto diatas pelaminan. Beberapa kali take selesai, Arya segera menarik wajah Dinda masuk dalam jangkauannya. Ia mencium bibir Dinda singkat.
Dito langsung bersemangat mengambil foto. Ia sebenarnya ingin meminta mereka melakukan pose ini tetapi merasa tidak enak dengan Arya. Sekarang, justru orangnya sendiri yang inisiatif melakukan. Tentu, Dito langsung dengan senang hatii mengambil beberapa gambar.
Sontak wajah Dinda langsung merah padam setelah Arya melepaskan ciumannya. Tidak hanya jantungnya yang seolah berhenti, tetapi tubuhnya juga sulit untuk digerakkan. Di sisi lain, Arya justru merasa menang.
***
Dinda saat ini sudah memasuki ruang ganti. Baju akad sudah dia lepaskan dan dia ganti dengan sebuah jubah berbentuk kimono tradisional. Inggit membawa Dinda menuju kamarnya. Tentu saja, bukan lagi kamar tamu. Tetapi, kamar Dinda berdua dengan Arya.
“Din, ini sekarang jadi kamar kamu sama Arya, ya. Mulai sekarang kamu tidur disini. Istirahat aja. Mama sudah minta tolong Ibas mengambilkan makanan. Kamu bisa makan disini dulu lalu istirahat. Kamu pasti capek. Acaranya akan dimulai lagi malam nanti. Jadi masih lama.
“Ma, Ibu mana?”, kata Dinda masih merasa asing sekali di ruangan ini. Sedari tadi dia tidak terlalu banyak berbicara dengan ibunya. Hanya beberapa sapaan ringan di sela - sela hiruk pikuk saudara yang ingin berkenalan.
“Ibu ada, sedang bercengkrama dengan keluarga papa. Jangan khawatir, nanti juga ibu akan kesini. Semua laki - laki sedang bersiap untuk shalat Jum’at. Arya akan kembali selepas dari Masjid bersama yang lain. Kamu disini dulu, ya.”
Mendengar nama itu, jantung Dinda kembali berdegup. Setelah apa yang dilakukan Pak Arya selama sesi foto tadi, Dinda tidak yakin jika malam ini dia bisa selamat. Apalagi, jika memikirkan kata - kata pak Arya.
‘Bagaimana ini? Bagaimana jika pak Arya benar - benar meniduriku lalu mencampakkanku seperti wanita - wanita di klub malam?’
‘Tidak. Dia laki - laki berprinsip dan bermartabat. Dia juga masih mengingat mantan istrinya. Meskipun perkataannya begitu, aku tidak yakin dia akan benar - benar meniduriku. Dia pasti hanya mengancamku saja. Iya, dia pasti hanya menakut - nakutiku saja.’, pikir Dinda dalam hati.
Disaat seperti ini, berpikir positif adalah teman terbaik menurutnya.
Dinda tenggelam dalam lamunannya diatas sofa kamar. Kamar Arya sangat luas. Begitu masuk, kamu akan langsung melihat tempat tidur, kemudian berbelok kekiri sedikit, ada area sofa. Susunannya dibuat seperti ruang tamu. Mungkin jika ada tamu yang masuk ke kamar, bisa duduk disitu.
Lurus dari arah sofa, ada sebuah ruangan. Pintunya masih tertutup. Dinda belum bisa melihat ke dalamnya. Di sebelah kanan ruangan tersebut adalah kamar mandi. Dinda bisa melihatnya karena ruangan tersebut terbuka sedikit. Di depannya ada sebuah ruangan besar yang sepertinya adalah tempat pakaian.
Sebagian ruangan itu terbuat dari kaca bening dan sebagian lagi dari kayu. Sehingga, mudah untuk melihat isinya dari luar. Dinda bahkan juga bisa melihat beberapa bajunya sudah tergantung disana.
Baju miliknya hanya sedikit saja, sisanya adalah baju - baju baru yang dibelikan oleh tante Inggit dan beberapa hibahan dari koleksi butik tante Meri. Edisi lama sudah gak laku katanya, jadi diberikan pada Dinda.
Maju sedikit ada balkon. Saat ini pintunya masih tertutup, tetapi kalau dilihat dari arahnya, sepertinya balkon itu langsung mengarah ke taman. Dinda tidak berani membukanya.
Lebih tepatnya, Dinda belum berani mengusik apa - apa yang ada disini. Meskipun ini adalah kamar Arya dan dia sekarang adalah istrinya, tapi tetap saja Dinda merasa tidak enak.
Tidak lama ada suara ketukan pintu. Ternyata Fams yang sedang membawakan makanan. Sepertinya tante Inggit yang menyuruhnya.
“Halo mba Dinda, ini aku disuruh tante Inggit untuk bawa makanan ke kamar mba. Aku taruh sofa aja ya.”, tutur Fams yang langsung berlalu masuk sebelum disuruh.
Sepertinya dia sudah sering ke kamar ini, jadi sangat familiar dengan susunannya.
Dinda masih saja berdiri kikuk di dekat kasur sambil menatap arah jalan Fams yang sudah menaruh dua piring nasi lengkap dengan lauknya di atas meja.
“Minumnya nanti Bi Rumi yang bawakan ya, mba. Maaf loh, kalo aku langsung nyelonong masuk. Berat banget soalnya.”, kata Fams yang merasa tidak enak sudah langsung main masuk sebelum disuruh oleh yang punya kamar.
Dinda juga sebenarnya agak aneh mengapa Fams langsung nyelonong masuk. Meskipun dia baru pertama disini, tapi di rumahnya, Dinda selalu diajarkan untuk tidak masuk ke kamar orang lain sembarangan, walaupun itu Ibu atau adiknya. Tapi mendengar penjelasan Fams membuat Dinda lega.
“Aku dulu sering nginep disini mba. Tapi bukan di kamar ini ya, hehe.”, Fams buru - buru memperjelas kalimatnya agar Dinda tidak salah paham.
“Kamar tante Inggit kan di bawah, di atas cuma ada kamar anak - anak tante Inggit termasuk Ibas dan Mba Andin. Jadi kalo tante butuh panggil yang lain, pasti aku yang disuruh.”, jawab Fams sambil menggaruk kepalanya. Dia masih merasa kikuk dengan kehadiran Dinda sebagai anggota keluarga baru.
“Iya gapapa, makasih banyak ya Fams.”, Dinda hanya bisa menjawab singkat. Dia juga masih sangat kaku.
Sebenarnya, Dinda masih ingin memperpanjang percakapan atau sekedar memulai obrolan ringan. Tetapi sepertinya hari ini bukan hari yang tepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments