Dua minggu setelah pertemuan malam itu, semua kembali seperti sedia kala. Setidaknya di kantor. Dinda kembali bekerja seperti biasa. Dia justru lebih sibuk dari sebelumnya dan sering pulang diatas jam 6 sore. Ternyata, pekerjaannya bertambah setelah lolos review semester pertama sebagai karyawan magang.
Dia tidak pernah lagi terlibat langsung dengan Pak Arya sejauh ini kecuali hanya beberapa kali berpapasan di jalan, lift, atau pantry. Hal yang biasa karena memang mereka satu kantor. Justru aneh jika keduanya tidak pernah berpapasan sama sekali.
Pak Arya bersikap sama saja seperti sebelumnya. Sama sekali tidak ada yang berbeda. Seolah Dinda adalah invisible woman. Jangankan menyapa, menoleh saja tidak. Padahal jelas - jelas mereka beberapa kali bertemu atau berdekatan. Semua persis saat pertama kali mereka bertemu. Tidak saling kenal. Dan tipikal Arya yang menganggap orang - orang yang tidak berkepentingan dengannya invisible.
Bukan hal aneh kalo Pak Arya tidak memperhatikannya. Tapi tidak setelah apa yang terjadi diantara mereka. Kalau sebelum perjodohan itu terjadi Pak Arya tidak menatapnya, It’s okay. Memang dia begitu. Tapi sekarang, mereka mau menikah.
‘Apa aku kembali ke masa lalu? Atau kepala Pak Arya terbentur dan dia tiba - tiba lupa ingatan? Apa sebenarnya aku sedang berhalusinasi?’, Dinda mengeluh sejadi - jadinya meskipun hanya dalam hati.
Dia membenturkan kepalanya di atas meja pantry setelah lima menit yang lalu berpapasan lagi dengan Pak Arya. Dinda memberikan senyum terbaiknya. Senyum bawahan kepada atasan. Tetapi lelaki itu hanya pergi saja melewatinya.
Bukan tidak melihat. Jelas - jelas Arya bertemu pandang dengannya. Mata mereka bersitatap. Tapi Arya malah seperti orang yang benar - benar tidak saling mengenal.
‘Setidaknya ini adalah sopan santun bawahan, kenapa pak Arya tidak membalasnya. Setidaknya menoleh?’, Pertanyaan itu terus saja muncul di pikiran Dinda.
Dinda bukan meradang dan mengaitkan sikap pak Arya dengan perjodohan mereka. Tetapi ini tentang sikap Pak Arya di kantor. Ada atau tidak ada perjodohan, dia memang dikenal sangat cuek.
Tapi apa salahnya membalas sedikit dengan anggukan. Toh, mereka bukannya tidak saling kenal. Jika hal yang berhubungan dengan perjodohan kita hilangkan, Pak Arya sudah kenal dengan Dinda.
Mereka sudah bertemu beberapa kali dan terlibat dalam satu ruangan yang sama. Meskipun pertemuan yang kurang menyenangkan karena Dinda terlibat masalah.
‘Apakah sesulit itu untuk tersenyum kepada bawahannya. Dia punya dendam apa denganku? Dengan beberapa karyawan lain dia tersenyum. Kenapa denganku tidak pernah satu kalipun?’, Dinda kembali membatin dalam hati.
Tidak ada hal yang lebih menyakitkan dalam hubungan manusia selain tidak dianggap. Setiap kali Dinda merasa tidak dianggap, ia kembali mengingat segala kecemasan tentang perjodohan mereka.
‘Apa mungkin nantinya setelah menikah dia juga akan begitu di rumah?’, pertanyaan ini sekelebat menghampiri kepala Dinda.
“Lo kenapa Din?”, Albert bertanya. Albert adalah karyawan intern yang masuk ke kantor ini pada batch yang sama dengan Dinda. Bedanya, Albert sangat cekatan. Dia melihat ada kesempatan di divisi lain dan melamar lowongan itu. Dia sekarang menjadi karyawan tetap.
Dari 10 intern yang diterima saat itu, hanya 6 yang tersisa di kantor ini. Dua orang tidak melanjutkan menjadi karyawan kontrak mesti sudah ditawari. Dua lagi kabur sebelum masa intern mereka berakhir karena tidak kuat. Satunya menempati divisi di bawah Pak Arya dan satunya menempati divisi Erica. Orang yang beberapa bulan lalu memarahi Dinda habis - habisan.
‘Bagaimana mereka tidak melarikan diri jika bos nya saja bar - bar seperti Erika dan Pak Arya. Seharusnya yang menjadi istri pak Arya adalah Erika. Bukan aku. Kan cocok, sama - sama killer.’, hal itu selalu terbesit dalam hati Dinda saat dia kesal pada para bos - bos itu.
“Engga. Cuma capek aja.”, jawab Dinda singkat.
“Abis diomelin lagi?”, kata Albert. Biasanya Dinda frustasi karena dimarahi divisi lain.
Dinda tidak pernah dimarahi Erick. Tapi divisi lain yang biasa memarahinya. Dinda memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Albert.
“Ingat, cari kerja gak gampang, Din. Jadi, harus lo nikmatin. Ya udah, gue balik duluan, ya.”, kata Albert.
“Kok lo udah balik? “, kata Dinda kaget. Dia membangunkan kepalanya yang sedari tadi ditekuk di atas meja.
“Udah jam 5. Waktunya pulang. Sorry ya, gue gak ambis kaya, lo.” sindir Albert.
“Lagian siapa yang ambis. Kalo kerjaannya belum kelar, gue harus gimana?”, kata Dinda gusar. Sedangkan Albert, dia sudah menghilang dalam hitungan detik.
Albert memiliki prinsip yang sudah ia pegang sejak pertama kali masuk. Bekerja sebanyak gaji yang ia peroleh. Jadi, mustahil bisa menemukan Albert setelah jam 5, karena dia sudah pasti menghilang.
Ponsel Dinda tiba - tiba berbunyi. Tertulis nama ‘Tante Inggit’. Dinda sedikit kaget tetapi ia langsung mengangkatnya.
“Waalaikumsalam, iya tante.”, saat Inggit mengucapkan salam padanya.
“Din, tante udah booking baju lamarannya. Weekend ini ke rumah, ya. Kita kesana bareng. Sekalian nanti kamu fitting baju nikahnya. Jarak tanggalnya kan gak jauh. Biar gak ribet cuti, kita barengin aja. Biar cutinya kamu simpan untuk bulan madu, ya.”, Inggit terkekeh di seberang sana. Memikirkannya saja sudah membuat hati Inggit merasa sangat senang.
“Iya tante.”, Dinda bingung harus jawab apa. Akhirnya dia hanya mengiyakan.
Dinda selalu menjawab pasrah dengan semua yang tante Inggit, om Kuswan dan ibunya rencanakan.
Menurut Dinda, sudah tidak mungkin lagi untuk putar balik. Mungkin dia tidak punya kendali pada perjodohan dan pernikahan ini.
Jadi. dia hanya ingin mengikuti alur saja. Siapa tahu ada hal baik yang akan menyapanya. Saat ini dia hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Ia ingin membangun karir yang bagus sehingga bisa menjadi wanita yang mandiri.
“Oiya, Arya lagi ngapain?”, kata Inggit mengagetkan lamunan Dinda. Inggit sebenarnya hanya basa basi dan menggoda Dinda saja dengan bertanya keberadaan Arya.
“A..aaa ku gak lihat tante, hehehe.”, jawab Dinda kaku dan bingung.
Padahal dia baru saja melihat pak Arya tengah bergegas membawa laptopnya menuju ruang meeting.
“Jauh ya tempat duduknya. Hm…ya udah, jangan lupa ya. Ke rumah tante jam 10 pagi.”, kata Inggit kembali mengingatkan.
“Iya tante.”, jawab Dinda lagi.
“Fuhhhh”, Dinda kembali menghela nafasnya setelah menutup sambungan ponselnya.
Sampai sekarang kepalanya tidak bisa memikirkan bagaimana masa depannya nanti bersama Pak Arya.
Semua masih terlihat abu - abu. Dia tidak tahu Arya orang seperti apa. Dia sukanya apa. Tutur katanya di luar kantor bagaimana. Benar - benar 0 besar yang Dinda tahu soal calon suaminya itu.
Laki - laki itu juga tidak pernah mengambil inisiatif untuk mencoba berbicara kepadanya. Membicarakan tentang perjodohan ini, misalnya. Dinda juga bukan tipe yang bisa mengambil inisiatif lebih dulu.
‘Bukankah persoalan seperti ini harus inisiatif dari laki - laki dulu, ya?’, begitu pikir Dinda.
'Setidaknya dari segi umur, dia lebih tua. Harusnya dia yang inisiatif. Apalagi kalau nanti sudah menikah, bukankah dia yang akan jadi imamnya?', Dinda melanjutkan lamunannya.
Mungkin akan lebih mudah untuk Dinda mengambil inisiatif terlebih dahulu jika sebelumnya dia tidak pernah mengenal pak Arya. Tapi, mereka bertemu sebagai bos dan bawahan.
Bukan bawah lagi. Paling bawah malah. Dia hanya intern alias anak magang. Bukan siapa - siapa. Siapapun juga di posisinya saat ini tidak mungkin bisa mengambil inisiatif.
Sehingga, sulit bagi Dinda untuk melihat pak Arya sebagai seseorang yang lain di luar kantor. Apalagi dengan auranya yang sangat menakutkan. Dia bahkan belum sekalipun melihat Arya sebagai seorang pria.
Meskipun pak Arya terlihat tenang, tetapi berpapasan dengannya di jalan saja, bisa membuat bulu kuduk Dinda merinding.
Apalagi, parfum pak Arya yang sangat khas. Jadi, saat Dinda sudah mencium bau parfum pak Arya, maka Dinda seperti mencium bau racun yang berbahaya. Bulu kuduknya langsung berdiri.
Pernikahan mereka sebentar lagi. Bahkan tidak sampai sebulan. Mereka akan melangsungkan lamaran dalam waktu dekat ini. Dua minggu kemudian, prosesi akad nikah pun digelar. Sesuai dengan rencana malam itu, semua proses dibatasi hanya untuk keluarga saja.
Lagipula mereka tinggal di perumahan yang tergolong mewah. Tidak banyak tetangga yang akan hadir meskipun diundang. Mayoritas penghuninya adalah artis dan pengusaha. Jadi, mereka tidak terlalu tahu satu sama lain. Pagar rumah selalu ditutup. Hanya para pembantunya saja yang akrab.
‘Gak sampai dua bulan lagi aku nikah. Aku harus gimana? Aku masih mau tinggal sama Ibu dan Arga.’, bathin Dinda sedih setiap kali dia menyadari akan tinggal terpisah dengan keluarga yang ia cintai.
Tidak lama lagi. Entah mengapa, hari berganti begitu cepat.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
Juri Ana
A simpel strory but feel good and assssikk
2023-05-12
0