Sementara itu di rumah sakit.
“Arya mana ma?”, Kuswan sudah selesai operasi dan pindah ke ruang perawatan sejak jam 9 tadi. Karena itu, Arya sudah bisa ke kantori.
“Sudah istirahat dulu, Pa. Papa tu baru aja selesai operasi. Jangan bikin mama khawatir lagi deh.”, kata Inggit memohon.
Kuswan belum boleh makan. Dia sudah tidur beberapa jam dan sudah merasa bosan. Dia kembali teringat penyebab dia dibawa ke rumah sakit. Batang hidung Arya tidak terlihat.
“Gimana rencana mama yang katanya mau jodohin Arya?”, Inggit menoleh sedikit kaget pada Kuswan.
Ia baru saja memasukkan baju Kuswan ke dalam lemari. Suaminya itu akan dirawat seminggu di rumah sakit ini.
“Kenapa papa tiba - tiba nanyain itu?”, kata Inggit.
Ia merasa Kuswan sepertinya setuju dengan rencananya. Sebulan yang lalu Inggit menyampaikan niat itu, Kuswan masih tidak menyetujuinya sama sekali.
“Setelah papa pikir - pikir, walaupun terdengar konyol, tapi mungkin ini bisa jadi solusi untuk Arya. Anak itu harus diberi tanggung jawab supaya alur hidupnya lebih jelas. Di kantor dia seperti manusia, tapi di luar kantor dia sudah seperti orang gila.”, Inggit masih terus memperhatikan Kuswan.
“Mama belum kontak Ratna lagi sih, pa.”, jawab Inggit sambil memijit - mijit kaki Kuswan.
“Mama coba tolong kontak Ratna. Papa mau bicara.”, kata Kuswan sambil menunjuk ke arah ponsel di atas nakas.
“Sekarang pa? Papa mau ngomong apa?”, Inggit senang jika Kuswan setuju. Tapi kalau tiba - tiba dia telpon sekarang, apa gak aneh, pikir Inggit.
“Udah.. pokoknya mama tinggal pencetin nomornya. Biar papa yang ngomong.”, kata Kuswan.
Inggit segera mengambil ponsel dan mencari nomor Ratna lalu menekan tombol Dial. Tak disangka, telepon itu langsung diangkat oleh Ratna.
“Assalamu’alaikum mbak yu.”, terdengar suara dari seberang telepon.
“Kamu apa kabar? Ah sebentar, suamiku mau ngomong, boleh ya.”, Padahal Inggit ingin berbasa - basi dulu, tetapi Kuswan sudah menunjuk - nunjuk tangan memberikan kode agar segera memberikan ponsel itu padanya.
“Ratna, apa kabar? Ini saya Kuswan, suami Inggit. Sudah lama tidak ngobrol.”, kata Kuswan langsung membuka pembicaraan. Dia tidak tahu, Ratna di seberang telepon langsung kaget dan bingung.
“Ah iya mas. Kabar baik, Alhamdulillah. Mas Kuswan sendiri bagaimana?”, Ratna balik bertanya.
“Minggu depan kamu ada di rumah? Saya sama Inggit mau berkunjung. Sudah lama rasanya sejak lebaran beberapa tahun lalu kami ke situ. Inggit sudah sering. Tapi saya belum.”, kata Kuswan langsung masuk pada intinya.
Di seberang sana, Ratna sudah tahu arah pembicaraan Kuswan. Dia kira mereka hanya basa - basi saja karena sudah sebulan lebih sejak Inggit mengatakan tentang perjodohan, dia tidak pernah lagi memberikan kabar.
“Iya ada di rumah mas. Silahkan mampir. Nanti sekalian makan malam disini juga. Saya akan masak yang spesial.”, kata Ratna menawarkan.
“Tidak usah repot - repot. Kalo bisa Dinda juga ada di rumah, ya. Terakhir saya jumpa sepertinya masih SD, ya.”, kata Kuswan tertawan.
“Ah iya mas. Setiap kemari, Dinda dan Arga sedang tidak di rumah.”, lanjut Ratna.
Sekitar 10 menit mereka mengobrol basa basi sedikit sebelum Kuswan menutup ponselnya. Dia memberikan ponsel itu segera pada Inggit.
“Ma, tolong WhatsApp Arya. Kalau sudah pulang kerja, langsung kesini. Papa mau bicara.”, Inggit sudah tahu kemana arah Kuswan. Sebenarnya dia sedikit khawatir. Inggit masih termasuk sabar kalau berbicara dengan puteranya itu.
Inggit sudah berkali - kali menyampaikan hal ini pada Arya. Tapi anak itu tetap menganggapnya seperti angin lalu saja. Inggit tahu Arya pasti menganggap dirinya tidak serius. Tapi Inggit juga tidak terlalu memaksa dan terbawa emosi jika sudah berbicara perihal ini dengan Arya.
Tapi Kuswan berbeda. Dia takut kejadian dini hari tadi terjadi lagi. Inggit tahu hal itu sudah pasti akan terjadi jika Arya langsung bertemu Kuswan malam ini. Akhirnya Inggit menyuruh Kuswan untuk istirahat agar dia bisa keluar sebentar.
Alih - alih mengirimkan WhatsApp seperti kata Kuswan, begitu sampai di lobi rumah sakit, Inggit langsung menghubungi Arya. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 4.30 sore.
“Arya, ini mama. Kamu kapan pulang kantor?”, kata Inggit.
“Sejam lagi Arya pulang, Ma. Ada yang harus Arya ambil di rumah, sebelum ke rumah sakit?”, tanya Arya. Dia baru saja selesai meeting tapi masih duduk di ruang meeting. Erick sudah 10 menit yang lalu keluar.
“Arya, mama mau bicara sebentar sama kamu.”, kata Inggit.
“Nanti aja ma, Arya masih di kantor. Bentar lagi Arya pulang, kok.”, kata Arya santai sambil menyeruput sisa Americano-nya.
“Papa minta pulang kerja kamu langsung ke rumah sakit. Papa mau bicara serius katanya.”, kata Inggit lagi.
“Iya, Arya ke rumah sakit.”, belum sempat Inggit menyelesaikan kalimatnya, Arya memotong lagi.
“Kamu dengerin mama dulu. Papa mau bicarain soal ide perjodohan yang mama bilang ke kamu.”, kata Inggit to the point. Dia harus mengatakan ini dulu ke Arya, sebelum Kuswan bicara pada Arya dan keributan terjadi lagi.
“Ma…”, Arya baru akan berbicara untuk memberikan seribu alasan penolakan terhadap ide itu. Tetapi seseorang membuka pintu ruang meeting. Terlihat Dinda meminta izin untuk masuk.
“Pak.. maaf mau ambil dokumen Pak Erick.”, Dinda berbicara sepelan mungkin sambil memberikan kode. Dia tahu si bos sedang menerima telpon. Awalnya dia kaget kenapa orang ini masih ada di ruang meeting. Padahal kata Pak Erick tadi meetingnya sudah selesai.
Dinda sudah terlanjur masuk. Berbalik arah malah membuatnya terlihat semakin aneh.
‘Siapa sih yang bikin ruang meeting invisible dari luar gini. Kan orang jadi ga tahu di dalam itu ada siapa.’, bathin Dinda kesal.
Arya menolehkan kepalanya ke arah dokumen yang dimaksud Dinda. Memberikan kode bahwa gadis itu bisa mengambil dokumen itu dan pergi. Entah bodoh atau kurang cekatan, Dinda malah salah mengambil dokumen.
Arya yang melihatnya langsung menghentikan tangan Dinda.
“Dokumen yang merah, Din.”, kata Arya.
Dinda terkejut. Bukan karena Pak Arya memegang tangannya, tapi karena untuk kedua kalinya sejak bertanya siapa dia, Dinda mendengar laki - laki itu menyebut namanya. Orang yang selama ini menganggap dia invisible ternyata ingat juga dengan namanya.
Arya langsung melambaikan tangannya berusaha mengusir gadis itu pergi dari ruang meeting segera karena dia sedang menerima telpon.
“Iya ma, sampai dimana tadi?”, kata Arya malas.
“Mama udah gak bisa lagi ngikutin alur kamu Arya. Kalo kamu mau papa kamu sehat, kamu ikutin maunya dia apa. Kamu udah gak ada pilihan. Kita udah kasih kamu kesempatan. Kamu pernah pilih wanita yang kamu mau meski mama kurang setuju. Hidup sama dia 5 tahun dan menyia nyiakan hidup kamu selama 3 tahun.”, kata Inggit dengan suara bergetar.
“Umur gak ada yang tahu Arya, tapi mama gak bisa maafin kamu kalau karna kamu kondisi papa makin parah. Kita cuma mau kasih yang terbaik buat kamu. Sekarang terserah kamu maunya gimana. Mama juga capek drama - drama lagi. Mama sekarang cuma fokus sama papa.”, kata Inggit, dia sudah tidak bisa lagi membendung tangisnya. Bayangan pertengkaran hebat tadi pagi kembali bergulir di kepalanya.
Tanpa mendengar jawaban Arya, Inggit menutup ponselnya. Sekarang dia hanya bisa menyerahkan semuanya pada tuhan. Entah bagaimana nanti dia harus siap.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments