Akhir pekan menjadi waktu yang sangat ditunggu - tunggu oleh semua orang. Keluarga yang ingin makan malam bersama, pasangan kekasih yang ingin melepas rindu, kolega yang ingin mempererat hubungan bisnis, dan sohib - sohib yang ingin melepas penat dengan kumpul bareng di tempat - tempat hits.
Malam minggu sudah berganti hari. Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Suara mobil berderu dari depan gerbang kediaman Pak Kuswan. Suara pagar besi berbunyi pertanda ada yang masuk. Sebuah mobil melambat ke arah rumah tetapi tidak masuk.
Seorang laki - laki tampak mengantar Arya yang malam itu kembali pulang dalam keadaan mabuk. Hari ini lebih berat dan lebih pagi lagi dia pulang. Dari dalam rumah, Inggit bersikeras untuk melarang Kuswan keluar. Ia takut kejadian beberapa minggu lalu terjadi lagi.
Pertengkaran yang tidak berguna dan berlarut ini bisa semakin mengganggu kesehatan Kuswan yang memang belakangan sudah di wanti - wanti dokter untuk tidak boleh stress dan banyak pikiran.
“Pa, mama mohon biar mama aja. Papa udah lanjut tidur aja. Papa gak boleh marah - marah atau banyak pikiran dulu, pa. Mama mohon.”, Inggit berusaha keras melarang Kuswan. Tapi sudah terlambat.
Kuswan sudah mengenakan sendalnya. Mukanya merah padam.
Kuswan berjalan menuju pintu. Sorot matanya tajam. Dia mengambil sebuah vas bunga diatas meja nakas menuju ruang tamu depan. Begitu Arya masuk, Kuswan langsung melempar vas bunga itu ke arahnya.
Beruntung benda itu hanya mengenai tangan kirinya dan berlalu ke arah pintu lalu pecah berkeping - keping. Tidak hanya Arya yang sudah mabuk terkejut, tetapi juga seisi rumah. Bi Rumi, Pak Asep yang berdiri di belakang Arya, dan tentunya inggit yang langsung berlari ke depan.
“Pa..”, Inggit setengah berteriak.
Kuswan sudah menampar dan menarik kerah baju Arya.
“Kamu saya besarkan dari kecil. Saya kasih makan, saya sekolahkan, tapi apa yang kamu kasih sama saya? Cuma karena satu wanita tidak beradab, kamu jadi mau menyiksa saya di rumah ini. Mau bikin malu saya, kamu?.”, Kuswan tak bisa menahan lagi emosinya.
Arya sudah keterlaluan. Sudah berbulan - bulan dia menahan tingkahnya yang semakin mundur dari standar hidup yang sudah dia ajarkan.
Arya tidak kalah terkejutnya. Dia tidak menyangka papanya akan bertindak berlebihan seperti ini. Ya, menurut Arya, papanya malam ini sangat berlebihan. Mereka cukup berpura - pura tidak tahu atau menyuruhnya kembali ke rumahnya agar tidak melihat Arya begini.
“Papa kenapa sih? Ini hidup aku pa, ngapain sih pake diurus - urus. Aku cuma minum, ga ngapa - ngapain. Papa juga tahu kok kalo di kerjaan juga pasti ketemu klien bakal begini.”, Arya merasakan sedikit perih di tangan kanannya. Tapi dia masih mengoceh tak karuan. Malam ini dia membantah papanya dengan lantang.
“Kamu…. gak ada sadar - sadarnya, kamu…”, kata - kata Kuswan terhenti. Kuswan memegang dadanya. Mulutnya menganga dan wajahnya nampak menahan sakit. Inggit langsung berlari dan mengarahkan Arya untuk membawa Kuswan ke kursi tamu.
“Pa.. tenang pa… mana yang sakit? Bi Rumi!!! Ambilin minum tolong Bi.”, Bi Rumi yang sedari tadi sudah bangun sejak keributan dimulai, langsung sigap mengambilkan minum.
“Bi, sekalian sama obat yang di botol, di laci nakas kamar, ya Bi.”, Inggit langsung memerintahkan Bi Rumi mengambil obat penenang yang sudah diresepkan dokter.
“Pak Asep, kayanya gak bisa, Pak. Bapak keluarin mobil cepetan, Pak. Kita ke rumah sakit. Ayok Pak Asep cepetan.”, Bi Rumi membantu memapah Pak Kuswan.
****
“Bu, hari ini aku terima review dari SPV untuk masa intern aku yang sudah selesai semester pertama. Katanya semua bagus, Bu. Kalau masa intern aku lancar, kemungkinan aku bisa diangkat jadi karyawan tetap.”, kata Dinda menghampiri ibunya di dapur.
“Oh, yang benar kamu? Mulai kapan?”, kata Ratna sangat antusias.
“Reviewnya baru tadi Bu. Enam bulan lagi akan direview lagi, Bu. Semoga aja bisa jadi karyawan tetap, supaya gajinya gak ada yang kepotong dan aku juga bisa dapat tunjangan yang lain.”, kata Dinda menjelaskan sambil membuka kulkas dan mengambil ayam.
“Berapa lama lagi itu? Trus abis itu bisa jadi karyawan tetap?”, kata Ratna melanjutkan. Dia menyambut ayam dari Dinda dan membersihkannya di bak cuci piring.
“Biasanya enam bulan aja cukup. Masa tunggu satu bulan, tapi nanti dievaluasi lagi. Kalau bagus terus performanya bisa diangkat jadi staf permanen. “, kata Dinda kembali menjelaskan.
“Selamat ya nak. Ibu bangga sama kamu. Gak sia - sia kamu kuliah pulang - kuliah pulang terus.”, kata Ratna.
“Haha itu gak ada hubungannya, Bu. Yang penting setidaknya sampai 1 tahun kedepan aku gak perlu pusing lagi cari kerjaan.”, kata Dinda sambil menyeruput teh panas yang sudah disiapkan ibunya.
“Tentang tawaran perjodohan dari tante Inggit, kamu benar tidak masalah?”, Ratna mulai membuka omongan sensitif itu lagi.
Dinda melamun sebentar dan menyeruput kembali tehnya sebelum menjawab.
“Tante Inggit orang yang baik. Jadi Dinda berusaha meyakinkan diri kalau anaknya juga baik buat Dinda. Oiya Bu, tante Inggit nawarin itu, apa atas persetujuan anaknya juga?”, tanya Dinda.
Belakangan pertanyaan itu muncul di kepalanya. Mungkin saja tante Inggit hanya basa - basi saja dan bisa jadi harapan bagus buat Dinda.
“Ibu gak tanya, Din. Lagi pula sudah hampir sebulan sejak dia ke rumah menyampaikan perihal perjodohan itu. Tapi tante Inggit belum menghubungi Ibu lagi.”, ungkap Ratna.
Dalam hati dia berharap Inggit lupa dengan percakapan waktu itu. Sama seperti Dinda, dia juga berharap Inggit lupa dan mungkin hanya terbawa perasaan saja saat mengungkapkan ide itu.
“Hm.. semoga saja tante Inggit hanya basa basi, Bu.”, tanpa sengaja Dinda jujur pada Ibunya.
“Kamu sebenarnya yakin atau tidak?”, kata Ratna sambil duduk di kursi, ikut menyeruput teh setelah menaruh ayam tadi di atas kompor untuk direbus.
Dinda menghela nafas pelan. “Kata orang, meski sudah pacaran, pasangan juga punya keraguan, Bu untuk menikah. Gimana aku yang gak pernah ketemu.”, jawab Dinda jujur.
****
Suasana pagi itu di rumah keluarga Kuswan sendu dan sepi. Inggit, Bi Rumi, dan Pak Asep di rumah sakit sejak tadi malam mengantarkan Kuswan. Arya berangkat subuh tadi menyusul ke rumah sakit menggunakan taksi setelah rasa mabuknya sedikit menghilang. Meski kepalanya masih berat, tapi setidaknya dia dalam kondisi sadar.
“Gimana papa, ma?”, tanya Arya begitu sampai di rumah sakit.
“Kalau ada apa - apa sama papa, mama gak akan pernah maafin kamu, Arya.”, Inggit masih emosi begitu melihat anak laki - lakinya itu sampai di rumah sakit.
“Harus berapa kali mama bilang, mama peringatkan, kamu bisa lebih dewasa sedikit gak sih, Arya.”, kata Inggit kembali memecah keheningan.
“Maafin, Ma. Arya tadi gak sepenuhnya sadar. Arya bahkan gak ingat apa yang udah Arya ucapin ke papa.”, kata Arya sambil menatap nanar mamanya.
“Terus kenapa kamu minum? Sampai jam 3 lagi. Kamu itu sebenarnya kenapa sih? Apa sebelum di rumah kamu juga minum - minum?.”, tanya Inggit lagi.
Arya cuma bisa menatap kosong. Kepalanya masih sangat berat. Dia tidak tahu jawaban apa yang ingin didengar mamanya. Tak lama telepon Inggit berdering.
“Iya Andin. Papa masih ditangani dokter.”, kata Inggit lemas.
“Papa jadi pasang ring, ma?”, tanya Andin..
Andini Larasati adalah kakak perempuan Arya. Dia sudah lama tinggal di Amerika sejak menikah 6 tahun yang lalu. Lebih tepatnya terpaksa menikah karena sudah terlanjur hamil.
Sekarang dia sudah bercerai dari suami pertama yang menghamilinya dulu dan tinggal bersama suami kedua di Portland. Dia sudah dikaruniai 2 anak. Satu dari suami pertama, dan satu lagi dari suami kedua.
Kondisi Andien juga tidak lebih baik dari Arya. Sekitar sebulan yang lalu dia juga sudah melempar bom lagi di keluarga Kuswan. Dia berniat cerai dari suami keduanya dan pulang ke Indonesia. Dia sedang mengurus surat - surat perceraiannya. Tidak mudah mengurusnya karena administrasi dan lain - lain.
Setelah menjelaskan kondisi Kuswan yang tengah dioperasi, Andin menutup ponselnya. Inggit kembali bersandar di kursi. Tatapannya lagi - lagi kosong. Tak terasa air matanya turun. Ia menyekanya dengan cepat.
“Maafin Arya, ma.”, Arya tiba - tiba memegang tangan mamanya, menatapnya tajam, dan menunjukkan penyesalannya. Selama beberapa kali pertengkaran hebat terjadi, hari ini adalah yang terburuk.
****
“Din, kamu bisa booking meeting room Australia, ga? Saya mau meeting sama Pak Arya siang ini. Kamu booking 2 jam, ya.”, kata Pak Erick.
“Oke, baik Pak. Perlu aku minta OB buat nyiapin kopi?”, tanya Dinda.
“Ga usah, kamu tolong pesen aja di cafe bawah. Americano dua, ya. Bayar pake kartu kredit ini. Trus antar ke ruang meeting nya ya.”, Pak Erick buru - buru merapikan dokumennya sambil memberikan kartu kredit.
Dinda langsung tancap gas untuk booking ruang meeting dan meluncur ke kafe bawah. Di jalan keluar lift, dia bertemu dengan Pak Arya. Tidak seperti biasanya, auranya berbeda. Jauh lebih menyeramkan dan suram.
Dia mengenakan kemeja putih dengan dua kerah kancing terbuka. Dia tidak mengenakan jam dan hanya membawa ponsel di tangan. Dia juga tidak membawa tumblr kopi seperti biasanya. Padahal dia sepertinya baru saja datang.
‘Gimana nih. Kayanya aura dia lebih gelap dari biasanya. Approval review semester pertama karyawan intern pake tanda tangan dia ga, ya.”, Dinda jadi memikirkan proses administrasinya sebagai karyawan magang.
‘Lagian dia juga gak pernah anggap aku ada. Dia gak bakal ingat. Walaupun pakai tanda tangan dia, pasti dia main sign - sign aja.’, pikir Dinda meyakinkan diri.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan dua Americano. Dia bergerak dengan cepat ke atas, berusaha secepat mungkin sampai di ruang meeting dan meletakkan kopi itu disana, supaya tidak berpapasan dengan Pak Erick maupun Pak Arya. Suasananya pasti canggung luar biasa.
Tapi sayang, ketika Dinda masuk mengantarkan kopi, Pak Arya sudah duduk disana sambil menandatangani beberapa dokumen. Ruang meeting ini tidak tembus pandang. Dia sudah keburu membuka pintu dan memasukkan setengah badannya ke dalam. Tidak mungkin dia mundur lagi.
“Maaf Pak, saya diminta Pak Erick untuk menaruh kopinya langsung di sini.”, kata Dinda.
Arya tidak menjawab. Bergeming pun tidak. Dia fokus menandatangani, membolak - balik dokumen dan menandatanganinya.
“Kalau begitu saya permisi, ya Pak.”, kata Dinda cepat. Dia harus segera kabur dari sini.
“Sebentar. Dinda itu kamu ya?”, Pak Arya menolehkan wajahnya pada Dinda. Sontak Dinda langsung terkejut. Dia baru saja akan tancap gas menghilang dari sana. Tapi orang ini malah memanggilnya.
“Aa.. i..iya Pak saya Dinda.”, jawab Dinda gugup.
“Hm.. dulu kuliah jurusan apa?”, padahal pertanyaan yang sangat mudah. Tapi kepala Dinda sudah pusing. Dia merasakan kecemasan yang berlebihan.
“Sistem Informasi, Pak.”, Dinda menjawab singkat, padat, dan jelas.
“Hm.. Oke.”, Arya kembali menoleh ke dokumennya. Dia menutup dokumen yang tadi dia lihat, dan kembali mengambil dokumen yang lain.
‘Apa itu tadi? Aduh aku yang terlalu berlebihan atau gimana. Tapi dia menyeramkan sekali. Keren banget anak - anak MT yang dibawah dia. Bisa diskusi sama orang ini dalam satu ruangan yang sama berjam - jam. Kalo aku pasti sudah mati.’
MT (Management Trainee) adalah semacam intern tetapi versi high level. Mereka biasanya lulusan S2 universitas ternama di dalam negeri atau luar negeri. Berbeda dengan intern, mereka sudah termasuk permanent staff begitu masuk kantor dan bisa menaiki jenjang karir lebih cepat.
Di ruang meeting Australia setelah Dinda pergi
“Itu yang ngantar kopi, Dinda yang kemaren bikin masalah? Gapapa kamu kasih dia review bagus di semester pertama?.”, ini adalah pertanyaan pertama Arya saat Erick masuk ke ruangan.
“Masalah kemarin kalau dilihat - lihat bukan sepenuhnya salah dia. Divisi sebelah kasih deadline terlalu singkat dan tidak ada follow-up. Siapapun juga kemungkinan besar bisa lupa. Dia kalau kerja bagus, kok. Patuh dan gak ribet juga.”, kata Erick.
“Oke.. udah gue tanda tangan, tinggal proses ke HR. Kalo gitu, kita lanjut meeting.”, lanjut Arya sambil mengangguk.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
bieb
alur ceritanya bagus.....👍👍
2023-03-16
1
Erik Kurnianto
gemescma Arya
pengen nampol pakai permen kaki☹
2023-02-17
0