“Saya gak mau tahu ya, Din. Kamu pokoknya harus selesaikan itu sekarang. Saya sudah di tanya Regional. Mereka nagih - nagih terus. Saya sudah kasih tahu ya berkali - kali. Harusnya tuh kamu gak miss untuk masalah ini.”, geram Erica, Manager Planning di tempat Dinda bekerja.
Erica adalah wanita karir yang terkenal sangat kaku. Dia tidak peduli siapa yang sedang dia hadapi. Apakah seorang intern, permanent staff, atau kepala bagian sekalipun. Jika pekerjaannya jadi terbengkalai karena orang lain, dia tidak akan tinggal diam. Sudah bukan sekali dua kali lagi dia mengajak ribut orang di kantor.
Hal ini sudah dia lakukan berkali - kali sampai dirinya terkenal di antara para karyawan se-lantai.
“Ya udah balik sana, beresin semua yang udah kacau ini. Gimana sih dulu interview nya. Orang bego, kok bisa keterima kerja. Penasaran saya.”, ujar Erica sekali lagi sambil melengos pergi.
Tatapannya ketus dan seolah tidak mempedulikan bagaimana orang yang berhadapan dengannya.
Selain terkenal kaku, dia juga judes. Ekspresinya datar pada orang - orang yang tidak akrab dengannya. Terbukti setiap perkataan yang keluar dari mulutnya saat marah pasti akan melukai orang. Perlakuannya sangat berbeda jika itu adalah orang - orang yang ada di circle-nya.
Dinda kembali dengan wajah yang pucat dan lesu. Dia tidak menyangka rencana makan dengan teman - temannya malam kemarin bisa menjadikan pekerjaannya kacau seperti ini.
Dinda termasuk yang paling jarang kumpul - kumpul dengan teman sesama internnya. Hari itu dia diajak dan tidak enak untuk menolak karena sudah sering mangkir. Dinda juga ingin merasakan bagaimana kalau teman - teman sebaya di kantor berkumpul. Terlebih, jika dia tidak ikut, dia pasti akan ketinggalan berita di kantor, tidak bonding dengan karyawan lain, dan lama - kelamaan bisa dikucilkan.
Hal yang paling Dinda takuti adalah dikucilkan. Dia sudah pernah merasakannya saat SMP dulu. Hanya karena kedua orang tuanya bercerai dan papanya kabur, satu sekolahan menggosipkannya. Hal yang aneh. Tapi, begitulah anak - anak.
Dia harus mengerjakan semua pekerjaan dan pulang cepat supaya bisa gabung dengan teman - temannya. Tanpa sengaja dia melewatkan satu email dari bagian Planning. Client mereka akan datang besok. Semua persiapan sudah diinformasikan seminggu sebelumnya, tetapi Dinda melewatkan email itu.
Satu hari tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua ini. Apalagi sistem yang dipakai juga baru. Approvalnya juga harus sampai atas. Satu atasan saja perlu satu hari. Bagaimana approval tiga atasan bisa dia selesaikan dalam satu hari.
‘Mati aku!’, pikir Dinda. Dia sudah ingin menangis tapi ini masih di kantor. Dinda termasuk orang yang sangat anti menangis di depan orang, meski hanya satu orang saja.
“Kenapa Din? Saya dengar kamu dipanggil Erica? Suaranya sampai sini, loh. Itu kamu yang diomelin?”, SPV Dinda yang baru saja selesai meeting kebingungan karena ada ribut - ribut di divisi sebelah.
“Mba, maaf saya kelewat email Bu Erica yang tentang Project B. Harusnya semua sudah tinggal jalan hari ini, supaya besok bisa dieksekusi, kliennya mau datang.”, jawab Dinda takut - takut.
Gara - gara kesalahan dia, SPV dia juga pasti ikut dipanggil oleh Erica. Mana Pak Erick baru saja selesai meeting.
“Erica kirim email nya kapan?”, tanya pak Erick yang ternyata sudah muncul saja dari ruang meeting.
“Seminggu yang lalu Pak, beliau minta urgent. Tapi kelewat di saya, pak. Saya minta maaf.”, Dinda kembali menunduk.
“Ya udah, request nya gimana? Dinda, Rini, sini kita duduk bareng di meja saya. Dinda, coba uraikan poin - poinnya satu persatu ke saya. Plus, next to do-nya apa aja.”, Dinda langsung tercengang. Pak Erick langsung mengajaknya berdiskusi tanpa ada marah - marah. Dia juga memanggil mas Azis, staff permanen 1 tahun lebih senior dari Dinda untuk ikut duduk bergabung.
Dinda mengikuti apa yang disampaikan Pak Erick. Dia memperlihatkan isi emailnya. Kemudian menjabarkannya dalam bentuk poin - poin. Setelah itu, dia menarik panah untuk menuliskan apa yang harus dilakukan di setiap poin.
Pak Erick mencoret - coret sedikit untuk menunjukkan flow penyelesaian masalah.
“Kamu siapin dari poin sini sampai sini. Harusnya butuh waktu 2 jam-an. Azis, kamu bantu masukin dokumen - dokumen dari poin sini sampai sini. Kita kumpul lagi jam 3 untuk minta approval. Saya akan tanya jadwal pak Arya, semoga aja dia lowong, jadi approval Pak Robert bisa langsung kita minta sekarang.”, kata Pak Erick.
Dinda terpana. Dia tidak pernah langsung terlibat dengan pak Erik terlalu banyak sebelumnya. Meskipun dia SVP, tetapi biasanya dia hanya tanda - tangan saja lalu selesai. Pekerjaan Dinda sebenarnya lebih ke operasional yang sama setiap hari nya. Hanya sedikit perbedaan mengenai approval dan konten kontrak kerja serta sistem.
Berbeda dengan bos pada umumnya yang pasti sudah marah besar, Pak Erik justru tidak langsung memarahinya dan fokus pada penyelesaian. Dinda dan Azis mulai sibuk menyiapkan sesuai dengan arahan pak Erick. Rini sebagai SPV hanya memantau. Jika ada yang memerlukan bantuan, dia baru bergerak. Dinda bahkan melewatkan makan siangnya karena dia pikir pasti tidak sempat kalau dia harus makan siang dulu.
****
Sesuai dengan hasil diskusi pagi tadi, mereka berkumpul lagi jam 3 Sore. Dinda sudah menyiapkan semuanya, begitu juga dengan Azis. Dari kejauhan, Dinda bisa melihat Pak Erick dan Pak Arya berjalan berdampingan sambil membawa segelas kopi di masing - masing tangan kanan mereka.
Sesekali Dinda melihat mereka tertawa kecil tidak tahu sedang membahas apa. Pak Arya tampak menunjuk - nunjuk beberapa bagian kantor. Mungkin dia sedang menunjuk divisi - divisi. Kemudian dia menyeruput kembali kopi dan masuk ke ruang meeting.
Pak Erick langsung memberikan isyarat pada Dinda dan Azis untuk mengikuti mereka ke ruang meeting.
“Gimana, udah disiapin semuanya? Di sistem sudah di masukkan juga?”, Pak Erick langsung to the point bertanya.
“Iya sudah pak.”, mas Azis menjawab lebih dulu sambil menunjuk tumpukan dokumen di meja, dan laptopnya, tanda dokumen sudah di upload.
“Oke, Din, mana aja yang harus saya tanda tangani? Kamu yakin udah bener semua ya?”, lanjut Pak Erick sambil mengeluarkan ballpoint nya dari saku.
“Ee.. Iya Pak sudah semua. Seharusnya sudah benar, Pak. Tadi saya sudah cek dua kali. Bapak tanda tangan di bagian ini, ini terus yang ini. Nanti di dua dokumen ini di belakangnya dikasih paraf juga ya, Pak.
Erick langsung menandatangani sesuai petunjuk Dinda. Dia juga memasukkan beberapa kode pin pada sistem di laptop sesuai arahan Azis.
“Oke. Sekarang giliran bos.”, Pak Erick memberikan ballpoint nya pada Pak Arya yang sudah mengambil duduk di seberang meja.
Mas Azis langsung keluar begitu urusannya sudah selesai, sedangkan Dinda tetap berada di dalam karena ada beberapa hal yang perlu dia jelaskan.
Baru sekali ini Dinda berada satu ruangan dengan Pak Arya. Waktu masuk tadi, auranya yang mematikan itu langsung membuat ruangan ber-AC itu tiba - tiba panas. Telapak tangan Dinda langsung berkeringat. Dia juga sedikit salah tingkah, karena bingung harus bagaimana.
Dia tidak pernah meminta tanda tangan Pak Arya secara langsung. Biasanya semua dokumen yang membutuhkan tanda tangannya ditandai dengan sticky notes ‘Sign Here’ dan diberikan ke sekretarisnya, Mba Siska.
Hari itu jelas pengecualian. Karena semua kekacauan ini harus selesai hari itu juga.
“Saya mau hal kaya gini gak terjadi lagi, ya. Saya harus cancel meeting dan spare waktu 1 jam untuk beresin ini. Saya tahu kamu intern, tapi saya harap kedepannya kamu lebih hati - hati. Beruntung saya hanya ‘acting as Head Digital’ alias sementara. Kalau saya bos kamu, sudah habis kamu tadi pagi sama saya.”, kata - kata yang membuat kaki Dinda sangat lemas.
Dia hampir tidak sanggup berdiri. Keringat di tangannya semakin banyak, dan senyumnya kecut.
Dinda bahkan tidak tahu ekspresi apa yang harus dipasang sekarang.
“Iya Pak. Saya mohon maaf.”, Dinda akhirnya cuma bisa kembali meminta maaf sambil menunduk.
‘Gak papa, Din. Yang paling penting masalah ini selesai dulu. Mau nanti diomelin, dibentak, pikirin nanti lagi.’, bathin Dinda.
“Oke, Rik. Berkasnya aku bawa, ya. Bos bilang dia lagi diatas. Sepuluh menit lagi udah bisa diganggu.”, jawab Arya sambil membuka pintu untuk keluar dari ruang meeting dan membawa dua berkas penting.
“Ntar, kamu ambil di ruangan saya jam setengah lima.”, tambah Arya pada Dinda sebelum pergi.
Masalah hari itu adalah masalah terbesar yang pernah dialami sepanjang 5 bulan menjadi intern di perusahaan ini. Bukan hanya masalah kecil yang bisa dia selesaikan sendiri. Tapi melibatkan Pak Arya.
‘Sekarang gimana dia harus berhadapan dengan Pak Arya kalau papasan. Selama ini, orang itu juga pasti tidak tahu kalau dia intern atau bukan dan divisi mana. Sekarang, dia pasti sudah dicap jelek. Mana tadi kata - katanya seram, lagi.’
****
Sudah hampir jam 5 sore. Dinda sudah mengintip - intip ruangan pak Arya sejak 30 menit yang lalu. Pria itu bilang bisa mengambil berkas jam 4.30. Tapi sampai sekarang batang hidungnya belum kelihatan.
Entah berkas yang sudah di tanda tangani ada di dalam atau tidak. Tadi Dinda dipanggil lagi oleh Erica. Jadi, tidak sempat melihat apa dia sudah kembali atau belum. Dinda juga ragu untuk masuk. Akhirnya dia memilih untuk menunggu.
Tak selang berapa menit, Arya mulai terlihat memasuki ruangan dari arah yang berlawanan. Dinda langsung berjalan menuju ruangannya dengan takut.
“Permisi, Pak. Saya mau ambil dokumen yang tadi.”, kata Dinda dengan suara kecil.
“Ambil di meja belakang.”, kata Arya singkat tanpa menoleh sama sekali.
Dinda mematuhinya. Dia mengambil berkas dengan amplop merah. Di bawahnya masih ada beberapa dokumen lagi tapi bukan milik Dinda. Dia hanya mengambil 2 berkas, memeriksanya, lalu pamit.
“Terima kasih, Pak.”, jawab Dinda lagi.
Arya tidak menjawab dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Batasan antara Dinda dan Arya terlihat sangat jelas. Arya tidak mempedulikannya sama sekali karena gadis itu hanyalah seorang intern. Besok, dia juga pasti sudah lupa gadis itu.
Sedangkan Dinda berharap dia besok pindah divisi saja, supaya tidak bertemu lagi dengan Arya.
‘Berada di dekatnya sebentar saja bisa bikin sesak napas, bagaimana kalau tiap hari harus bekerja sama dengan orang ini.’, bathin Dinda.
****
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Pak Erick tidak pernah lagi menyinggungnya. Dinda juga berusaha keras untuk lebih teliti membaca email. Jika ada email yang tidak sempat dia baca, dia akan pasang reminder agar di follow-up sebelum deadlinenya. Dia juga lebih rajin membuat to-do-list supaya tidak terlewat. Kejadian seperti itu cukup terjadi sekali saja.
Dan untuk Pak Arya, sesuai dugaan, dia mungkin sudah lupa dengan Dinda. Beberapa kali mereka berpapasan di lift. Dinda biasanya sedikit menunduk dan melirik bermaksud untuk menyapa. Tetapi, Pak Arya tidak menghiraukannya. Pria itu tidak pernah sama sekali melihat ke arahnya.
“Din, bisa bicara sebentar?”, Pak Erick mencolek bahu Dinda dan mengajaknya ke ruang meeting. Dinda langsung mengintil di belakangnya. Menjelang ke ruang meeting, mereka berpapasan dengan Pak Arya.
“Bos, gimana project yang di Bali? Gue denger project gede tapi kliennya ribet, ya?”, sahut Pak Erick terdengar sangat akrab pada Pak Arya.
Dinda tidak tahu apa hubungan mereka. Sejak masalah dua minggu yang lalu, Dinda mengambil kesimpulan, mereka ini sepertinya lumayan kenal dekat di luar urusan kantor.
“Biasalah, klien berasa tahu semua. Padahal sendirinya gak punya ide perusahaannya mo dibawa kemana. Ya udah gue ke atas dulu, ya.”, jawab Pak Arya sambil mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang tumbler kopi.
Hari itu setelannya rapi sekali. Biasanya dia tidak pernah menggunakan dasi. Tapi, hari itu dia memakai dasi di kemejanya dan membawa jas di lengan kirinya. Lagi - lagi dia menganggap Dinda tidak ada. Jangankan diajak berbicara. Dia seperti remah roti di jalanan yang dilirik pun tidak.
Di ruang meeting
“Jadi Din, kalo kamu ingat, sebelum memasuki bulan ke enam masa intern, ada namanya review. Kira - kira kamu gimana? Betah kerja disini?”, sesuai dengan karakternya, Pak Erick langsung to the point. Begitu duduk di ruang meeting, dia langsung menyampaikan maksudnya membawa Dinda kesini.
Dinda mengangguk mantap.
“Menurut saya, pekerjaan kamu overall bagus. Tidak ada masalah. Jadi review tengah semester sepertinya akan oke.”, kata Pak Erick kembali melanjutkan.
Wajah Dinda langsung berbinar. Beberapa pekan ini kepalanya dipenuhi oleh tawaran perjodohan dari tante Inggit sehingga tidak menyangka jika waktu internnya sudah akan berakhir.
Dia sudah pasrah karena masalah dua minggu kemarin. Dia kira sudah tidak ada harapan baginya. Ternyata Pak Erick memberikan review positif untuk laporan tengah semesternya sebagai intern disini.
‘Ibu pasti sangat senang mendengar hal ini.’, bathin Dinda. Dia tidak bisa menyembunyikan wajah senangnya.
Pak Erick kemudian memberitahunya proses Administrasi yang harus dipenuhi. Sekedar pengumpulan kembali surat - surat yang diperlukan dan menyerahkannya pada HRD. Dinda diminta untuk segera memberikannya dalam minggu ini supaya bisa segera diproses.
Sembari Pak Erick menerangkan beberapa tugas tambahan yang mungkin nanti akan diemban Dinda pada semester berikutnya, Pak Arya tiba - tiba lewat. Dia memberikan kode menggunakan tangannya pada Pak Erick.
Pak Erick menggelengkan kepalanya dan bergumam kecil.
“Gila si Arya, tiap weekend ke klub terus. Dia udah gila apa.”, meskipun hanya gumaman kecil, tetapi Dinda tetap saja bisa mendengar apa yang diucapkan Pak Erick.
Begitu sadar ucapannya bisa didengar oleh Dinda, Pak Erick lalu segera menyudahi kalimatnya.
“Oke. Saya rasa itu saja dari saya. Semoga semester depan juga menjadi pengalaman berharga buat masa intern kamu, ya. Semoga kamu semakin betah kerja disini. Oiya masalah yang kemarin, plis jangan diulangi lagi, ya.”, Dinda kira Pak Erick sudah melupakan masalah kemarin.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
dite
berarti di sini dinda udah mau jalan 6bulan intern ya
2023-02-18
0